Selasa, 26 Januari 2010

NASIB ILMU KOMUNIKASI

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua pihak, namun hal berikut ini adalah sebuah pemikiran ilmiah yang sungguh menjadi pertanyaan besar, yang mungkin saja kurang berkenan bagi sebagian orang.

Berawal dari diskusi virtual sebuah kelompok profesional di bidang ilmu komunikasi, yang kurang lebihnya mempertanyakan masih perlukah keberadaan ilmu komunikasi bila pada kenyataannya dunia empiris atau dunia usaha/kerja dan berbagai profesi yang merupakan turunan ilmu komunikasi seringkali tidak mensyaratkan kompetensi akademis di bidang ilmu komunikasi secara ketat terhadap profesi ini ?

Akhirnya, ada juga ilmuwan komunikasi yang menyadari bahaya laten yang sesungguhnya bukan saja mengancam, tapi sudah menggerogoti ilmu komunikasi selama bertahun-tahun tidak saja di Indonesia, tapi mungkin di banyak negara di dunia. Berbagai profesi di bidang komunikasi seperti Humas (Public Relations), Wartawan (Jurnalists), Periklanan (Advertising), Penyiaran (Broadcasting), dll. selama ini memang dikenal sebagai profesi yang multi entry. Artinya, profesi ini dapat diisi oleh SDM dengan kualifikasi akademis apapun selain ilmu komunikasi. Secara ideal, tentu ... kenyataan ini merupakan sesuatu hal yang ... salah, tidak ideal, atau apa ya ... ? Tidak menyenangkan atau kontra produktif terhadap keberadaan ilmu komunikasi dan perkembangannya kemudian.

Sebagai sebuah produk ilmu sosial, ilmu komunikasi tentu menanggung 'resiko' multi entry itu. Apalagi, pada kenyataannnya, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak profesional yang bekerja di turunan ilmu komunikasi terbukti berhasil membangun karir secara menakjubkan dan mendapatkan apresiasi atas ke-profesionalis-annya secara lebih menakjubkan lagi, walaupun tidak memliki kompetensi ilmu komunikasi. Akibatnya, profesi terapan ilmu komunikasi semakin banyak terisi oleh SDM yang tidak memiliki kompetensi akademis ilmu komunikasi.

Siklus selanjutnya dari ketidakmenentuan kondisi tersebut adalah munculnya berbagai organisasi profesi yang 'mewadahi' para profesional di bidang ilmu komunikasi ini. Pada dasarnya hal ini merupakan gejala yang relatif wajar bahkan biasa, karena layaknya sebuah profesi tentu pada gilirannya akan melahirkan eksklusivisme di antara sesama komunitas seprofesi dengan satu keinginan dan kesamaan 'visi' dalam mengemabangkan potensi diri sebagai profesional. Itulah sebabnya banyak muncul berbagai organisasi profesi di dunia kerja, tak terkecuali bagi profesional di bidang ilmu komunikasi seperti bakohumas, perhumas, aji, dll. Sesuai dengan kisahnya bahwa profesi ini banyak terisi oleh SDM yang multi entry, maka organisasi profesinya pun berisi SDM yang juga multi entry.

Yang menarik, selain organisasi profesi, ada pula organisasi yang sesungguhnya lebih mengedepankan unsur akademis dari berbagai keilmuan seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), ISHI (Ikatan Sarjana HUkum Indonesia), IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi INdonesia), ISI (Ikatan Sekretaris Indonesia, dll. Namun, bila dalam keberadaan organisasi yang lebih mengutamakan unsur akademis ini pula masih memiliki fleksibelitas dan 'mengijinkan' bergabungnya praktisi atau profesional yang tidak memiliki unsur utama dibentuknya asosiasi yang bersangkutan, tentu 'kan ini sangat membingungkan bahkan sangat mengecewakan. Kalau bukan dokter tergabung dalam IDI bukankah itu hal yang aneh ? Apalagi bila anggota-anggota dengan klasifikasi tersebut duduk pula dalam kepengurusan, wah ... semakin sulit untuk dimengerti tentunya secara profesional.

Mungkin, bisa jadi pemikiran ini terkesan sangat ekslusif, atau bahkan sangat kaku, kolot, dsb. Namun di sisi yang lain para ilmuwan komunikasi tidak bisa membohongi kata hati, bahwa situasi ini ternyata menjadi pertanyaan (masalah) yang mengganggu juga 'kan ? Jadi, bila hingga organisasi yang sudah sangat spesifik dan mensyaratkan legitimasi atau kesesuaian akademis masih juga tidak bisa terwujud atau terpenuhi, lalu di mana lagi para cendekiawan komunikasi ini bisa membangun diri dan melakukan konsolidasi ?

Kondisi saling berkaitan ini mungkin saja menjadi hal-hal yang mempengaruhi kondisi yang dialami ilmu komunikasi saat ini dalam dunia empiris dan dunia akademis. Berdasarkan gejala yang ada, setidaknya terasa bahwa ilmu komunikasi relatif tidak berkembang atau berkembang sangat lamban. Coba bandingkan dengan berbagai profesi lain, ilmu kedokeran misalnya, perkembangan ilmu medis di Indonesia tergolong lebih nyata 'kan ? Begitu pula untuk profesi ekonom, keberadaan mereka dalam pemerintah benar-benar mendapat porsi yang terpercaya. Tapi apa yang terjadi dengan ilmu komunikasi ?

Kenapa para ilmuwan, cendekiawan komunikasi tidak berani merekomendasikan kepada semua pihak terkait bahwa :

  1. Pemerintah perlu memiliki produk regulasi yang mendukung dan memberikan jaminan intelektual terhadap ilmuwan dan cendekiawan komunikasi agar dapat memperoleh haknya secara intelutal dan profesional dalam dunia kerja;

  2. Pemerintah perlu memberlakukan sertifikasi (SKKNI) secara ketat, obyektif dan transparan terhadap profesi-profesi ilmu terapan bidang komunikasi untuk kemudian dipatuhi dunia kerja dan menjadi tolok ukur dunia empiris atau dunia kerja terhadap para profesional dan ilmuwan komunikasi dalam memberikan apresiasi secara obyektif;

  3. Pemerintah perlu memiliki dan memberlakukan standar kurikulum nasional terhadap bidang ilmu komunikasi dengan melakukan pengawasan ketat terhadap perkembangan dan pelaksanaan proses belajar mengajar bidang ilmu komunikasi agar berlangsung secara wajar sesuai ketentuan;

  4. Dunia kerja perlu bersikap profesional terhadap profesi komunikasi dengan menempatkan SDM yang memiliki kompetensi akademis yang relevan, yaitu ilmu komunikasi untuk semua posisi yang merupakan turunan atau ilmu terapan dari ilmu komunikasi;

  5. ISKI bersama berbagai organisasi profesi yang merupakan ilmu terapan komunikasi senantiasa melakukan akselerasi terhadap perkembangan ilmu komunikasi secara profesional, ilmiah dan bertanggung jawab.

Tentu, kelima rekomendasi tersebut bukan hal mudah dan bisa jadi merupakan rekomendasi yang cukup 'keras' bagi insan dan pelaku, para profesional dan ilmuwan, cendekiawan ilmu komunikasi. Namun, cepat atau lambat, fenomena ini hanyalah soal waktu yang pada akhirnya tetap akan mengemuka dan menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian dan memperoleh jalan keluar yang arif.


Jadi, akankah para ilmuwan komunikasi berani membela haknya sendiri ? Haruskan para cendekiawan komunikasi menunggu masa depannya berubah menjadi lebih baik, atau akankah mereka mengubahnya sendiri, memperjuangkan masa depannya sendiri ? Secara ilmiah, Ball State University bahkan menyatakan bahwa "Public Relations tidak akan pernah meraih status profesi selama orang bisa masuk ke bidang ini tanpa memerlukan studi yang ketat di bidang ini .... " Jadi, tunggu apa lagi kalau begitu ? Apa pendapat Anda ?

Tidak ada komentar: