Kamis, 15 Desember 2011

Budaya Kerja Institusi Pemerintah

Kasus 1

Sebuah unit kerja akan menyelenggarakan rapat koordinasi lintas fungsi di luar perusahaan. Keperluan seperti ini biasanya dilaksanakan di sebuah hotel di luar kota. Tujuannya agar seluruh peseta rapat berkonsentrasi dan tidak terganggu dengan kegiatan rutin. Yang lebay, untuk menghelat acara seperti ini saja harus dilakukan survey. Padahal, pemesanan hotel dapat dilakukan melalui telepon. Apalagi kegiatan seperti ini bukanlah kegiatan pertama kali yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang bersangkutan.


Excuse-nya, mungkin saja pekerjaan booking hotel merupakan pengalaman pertama bagi pegawai yang diberi tangung jawab. Selebihnya, melakukan survey hanyalah buang2 waktu, biaya & tenaga....


Kasus 2

Unit SDM menyelenggarakan diklat bagi calon pegawai secara insentif selama 3,5 bulan. Setiap harinya, selama hampir 100 hari para calon pegawai disediakan menu makan siang yang sama, nasi padang dari sebuah warung makan padang terdekat. Hanya 2 hari di antaranya mereka diberikan menu makan siang yang berbeda.


Excuse-nya, mungkin agar praktis bagi penyelenggara diklat, tapi tidak manusiawi bagi para peserta diklat. Selebihnya, tidak lain bentuk kemalasan yang tidak masuk akal.


Kasus 3

Sebuah disposisi pekerjaan turun dari seorang pejabat. Lembar disposisi akan terus turun persis seperti fungsi turunan f(x) matematika saat sma. Sindirannya, lembar disposisi akan berhenti kalau sudah turun hingga office boy.


Excuse-nya, tugas pejabat ya membuat disposisi, tugas staf adalah bekerja. Selebihnya, jangan-jangan para pejabat itu ga bisa kerja ya !?


Kasus 4

Sebuah pekerjaan terhenti dan tidak dapat diproses akibat pegawai yang bertanggung jawab tidak berada di tempat karena berbagai alasan. Akibatnya, pekerjaan tertunda dan baru dapat diselesaikan bila pegawai yang bersangkutan telah kembali berada di tempat. Celakanya, kalau pegawai yang bersangkutan mutasi atau pindah bagian, pekerjaannya bisa2 mengikuti, melekat padanya, ke mana pun pegawai itu pergi.


Excuse-nya, cuma pegawai yang bersangkutan yang tahu tentang pekerjaan tersebut. Lagi pula, pekerjaan itu bukan urusan saya. Intinya, proses pekerjaan bergantung pada orang, bukan pada sistem. Padahal kalau pegawai yang bersangkutan mangkat, pekerjaannya toh selesai-selesai juga kan?


Kasus 5

Mengundang rapat harus menggunakan hard copy alias lembar undangan. Tanpa lembar undangan, peserta rapat tidak mau memenuhi undangan rapat. Lembar undangan pun harus menggunakan kertas baru, tidak diperkenankan menggunakan kertas recycle yang diphoto copy.


Excuse-nya, undangan virtual melalui email dianggap tidak resmi. Lembar undangan menggunakan recycle paper juga dianggap tidak sopan! Judulnya, tetap saja tidak efisien dan pemborosan. Selain itu,  tidak ramah lingkungan karena tidak mau memanfaatkan kemajuan  teknologi yang jauh lebih cepat dan murah. Selebihnya, sikap feodal dan berkelit dari gaptek.


Kasus 6

Perusahaan merekrut tenaga baru. Pada proses wawancara, calon pegawai diwawancarai oleh tim dari masing2 unit kerja terkait. Ironisnya, dalam tim2 tersebut tergabung satf pegawai yang baru diterima kurang lebih setahun sebelumnya. Bila dipotong dengan masa "calon pegawai" (percobaan) yang 3-6 bulan, jangan2 staf pegawai yang turut mewawancarai itu belum genap setahun jadi pegawai tetap. Kredibilitas proses wawancara tersebut di mana ya? Etikanya, bagaimana?


Excuse-nya, pejabat end user yang berkepentingan sedang sibuk. Selebihnya, ga PD kaleee...!


Kasus 7

Inovasi besar bagi pekerja perempuan. Mereka tidak lagi dianggap sebagai single bila akan meng-claim biaya kesehatan bagi suami tertanggung. Syaratnya, harus melampirkan surat pernyataan bahwa suaminya tidak bekerja atau menanggung biaya kesehatan keluarganya. Sebaliknya, kalau pegawai pria akan meng-claim biaya kesehatan untuk istrinya, tidak mengsyaratkan surat serupa. Padahal berapa banyak pasangan suami istri yang keduanya sama2 bekerja? Bukankah jumlahnya juga banyak? Double standard atau diskriminasi ya?


Excuse-nya, ga jelas! Hahaha...!


Published with Blogger-droid v2.0.1

Jumat, 04 November 2011

18 KEWENANGAN BUMN

Menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Dahlan Iskan yang baru dilantik Oktober 2011 lalu, langsung melakukan terobosan bagi 141 BUMN yang dipimpinnya. Dahlan Iskan memberikan 18 kewenangan kepada jajaran direksi BUMN yang dipimpinnya dengan maksud untuk memangkas birokrasi. Terobosan ini tak pelak menimbulkan banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan.
 
Sejumlah kalangan menganggap kebijakan ini akan menjadikan Deputi di jajaran Kementrian BUMN akan kehilangan fungsinya. Di sisi yang lain, kebijakan ini juga akan menimbulkan masalah yang lain di lapangan.
 
Bagi manajemen puncak BUMN yang memiliki jiwa enterpreneurship yang mumpuni, maka terobosan ini akan sangat berarti dan mendukung BUMN yang dipimpinnya untuk dapat berkembang lebih cepat dan dinamis. Sebaliknya bagi para pemimpin puncak BUMN yang cenderung berjiwa safe player, maka kewenangan yang luar biasa besar ini akan menjadikannya semakin pasif dalam memimpin BUMN yang dipimpinnya mengingat resiko yang menyertai kebijakan tersebut pun tak kalah besar.
 
Berikut ini adalah 18 kewenangan menteri BUMN selaku wakil pemegang saham yang dilimpahkan kepada BUMN seperti diterima VIVAnews dari Kementerian BUMN:
1. Pembagian tugas dan wewenang anggota direksi persero/perum.

2. Mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

3. Mengesahkan perubahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)

4. Penetapan auditor eksternal untuk pemeriksaan laporan keuangan perusahaan.

5. Menyetujui perubahan anggaran dasar persero.

6. Menyetujui pembelian kembali saham (buy back).

7. Menyetujui penerbitan obligasi dan surat utang lainnya oleh persero/perum.

8. Pengalihan atau menjadikan jaminan utang kekayaan persero/perum yang kurang dari 50 persen dari jumlah kekayaan bersih persero/perum dalam satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun yang tidak.

9. Persetujuan untuk menghapusbukukan aktiva tetap karena kondisi tertentu (hilang, musnah, total lost, biaya lebih besar dari nilai ekonomis, dibongkar, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan).

10. Persetujuan untuk melakukan penyertaan modal pada perusahaan lain, mendirikan anak perusahaan/perusahaan patungan, dan melepaskan penyertaan modal pada anak perusahaan/perusahaan patungan.

11. Persetujuan untuk mengikat perusahaan sebagai penjamin (borg atau avalist).

12. Persetujuan untuk mengadakan kerja sama di atas lima tahun sampai dengan 10 tahun (berupa kerja sama lisensi, kontrak manajemen, menyewakan aset, KSO, bangun guna serah (Build Operate Transfer/BOT), bangun milik serah (Built Own Transfer/BOwT), bangun serah guna (Build Transfer Operate/BTO) dan kerja sama lainnya.

13. Persetujuan untuk menetapkan blue print organisasi perusahaan.

14. Persetujuan untuk menetapkan dan mengubah logo perusahaan.

15. Persetujuan untuk melakukan tindakan-tindakan lain dan tindakan yang belum ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.

16. Persetujuan untuk membentuk yayasan, organisasi dan/atau perkumpulan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan lain yang dapat berdampak bagi perusahaan.

17. Persetujuan untuk pembebanan biaya perusahaan yang bersifat tetap dan rutin untuk yayasan, organisasi dan/atau perkumpulan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.

18. Persetujuan untuk pengusulan wakil perusahaan untuk menjadi calon anggota direksi dan dewan komisaris/dewan pengawas pada perusahaan patungan dan/atau anak perusahaan yang memberikan kontribusi pada perusahaan dan/atau bernilai strategis (art-VIVAnews)

18 Kebijakan Menteri BUMN ini sungguh menarik karena menawarkan kewenangan yang sangat powerful bagi para pimpinan BUMN dalam menentukan kebijakan perusahaan yang dipimpinnya secara independen. Tidak hanya itu, Kementerian BUMN bahkan memberikan keleluasaan bagi para pucuk pimpinan BUMN dalam menentukanstrategi, cara atau metode dalam meraih cita-cita yang yang telah ditetapkan masing-masing BUMN, termasuk dalam menentukan proses evaluasinya (audit).

Itulah sebabnya, besarnya kewenangan yang digelontorkan Menteri BUMN pun tak pelak menuntut pertanggungjawaban yang maha dasyat.

Minggu, 09 Oktober 2011

Camar Bulan

Malingsia merampok lagi. Indonesia melakukan kesalahan lagi.

Perebutan wilayah perbatasan pada banyak kasus sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan perekonomian masyarakat di garis tersebut. Pembangunan yang tidak merata atau tidak proporsional, sangat mempengaruhi rentannya masalah di sejumlah wilayah perbatasan.

PENJAJAHAN EKONOMI
Persoalan perebutan wilayah perbatasan NKRI oleh malingsia pada kasus sebelumnya seperti Sipadan & Ligitan menjadi lebih rumit karena malingsia melakukan kekuasaan secara ekonomi pada masyarakat Indonesia di sana. Faktanya, masyarakat Indonesia di perbatasan lebih nyaman ke pasar yang berada di negara tetangga ketimbang di wilayah NKRI. Akibatnya tentu, rakyat lebih sering menggunakan mata uang negara tetangga ketimbang Rupiah. Bagaimana tidak, karena belanjanya di negara tetangga maka alat pembayarannya pun menggunakan mata uang negara tetangga.

Mata uang sebuah negara adalah salah satu bentuk simbol kedaulatan sebuah negara merdeka, selain bendera dan lambang negara. Salah satu blue print yang pernah dipresentasikan Bank Indonesia selaku bank sentral pada suatu kesempatan di tahun 2009 lalu pun menyinggung hal ini. Bahwa sedikitnya ada 7-9 wilayah perbatasan di seluruh Indonesia yang mengalami krisis pengadaan uang Rupiah di sana.

Bayangkan, bila secara ekonomi pengadaan infrastruktur dan kebutuhan bahan pokok tidak terpenuhi saja sudah bisa menjadikan masyarakat perbatasan berpaling apalagi bila keberadaan alat pembayaran yang sah pun sulit ditemui di sana ? Itu artinya, pertumbuhan perekonomian rakyat di wilayah perbatasan itu sangat memprihatinkan. Bisa jadi, masyarakat perbatasan menjual hasil bumi dan ternak mereka ke pasar negara tetangga sehingga mereka memperoleh imbalan transaksi dengan mata uang negara tetangga bukan ?

Jadi, masalah perebutan perbatasan wilayah bukan perkara politik atau keamanan belaka. Tapi lebih dari itu, persoalan perbatasan adalah persoalan humanis yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah bagi warga negaranya. Bila kebutuhan dasar warga negara tidak terpenuhi dan perut dalam keadaan lapar, bagaimana mereka akan berpikir nasionalis ? Lebih-lebih, pendidikan tidak tersedia dan penerangan pun tak ada, apa pula yang pemerintah pusat harapkan pada mereka ?

MENJAJAH dengan KEKUATAN KOMUNIKASI
Kekuatan komunikasi salah satunya ada pada pengulangan. Maka itulah yang dilakukan oleh malingsia. Menguasai perekomian dan menyediakan sarana infrastruktur bagi masyarakat perbatasan menjadi strategi malingsia dalam merebut wilayah perbatasan yang relatif seringkali terabaikan oleh pemerintah pusat.

Penguasaan kebutuhan kehidupan dasar oleh malingsia yang menjadi rutinitas keseharian rakyat perbatasan selama bertahun-tahun inilah yang akhirnya membuat masyarakat di daerah perbatasan pun seakan kehilangan jati diri. Rutinitas itu akhirnya menjadi kekuatan laten yang merugikan NKRI. Tanpa disadari, benak masyarakat telah terbangun nasionalisme yang lain, pindah ke lain hati. Kenyataannya, adalah negara tetanggalah yang telah banyak memenuhi kebutuhan mereka. Pendek kata, yang mereka rasakan adalah justru negara tetanggalah yang lebih peduli kepada mereka.

Sebelum kasus ini semakin pelik, selayaknya pemerintah segera berbenah diri dan melakukan berbagai upaya bagi masyarakat Camar Bulan. Lemahnya kemampuan komunikasi pemerintah RI dalam berdiplomasi dengan negara tetangga khususnya malingsia telah mengakibatkan NKRI kehilangan Sipadan dan Ligitan. Maka sudah saatnya NKRI lebih berani dalam bersikap.
Published with Blogger-droid v1.7.4

Jumat, 12 Agustus 2011

"ORANG-ORANG YANG TOP ...."

Seorang praktisi humas dalam sebuah perbincangan berkomentar, katanya, "Orang-orang yang top di dunia PR di Indonesia itu bukan orang-orang yang punya background akademis komunikasi lho !"

Well, jujur saja, bila yang bersangkutan sebelumnya mengklaim bahwa dirinya merasa punya pengalaman panjang di dunia kehumasan (Public Relations) selama puluhan tahun, lantas dengan pernyataannya tersebut apakah itu mencerminkan jam terbangnya sebagai seorang profesional humas (PR) yang sesungguhnya ? Dengan sengit sesungguhnya pernyataan itu bisa saja dijawab, "Itulah bukti nyata perbedaan antara praktisi humas yang berbekal akademis komunikasi, khususnya humas yang sesungguhnya, dengan praktisi humas yang tidak punya bekal ilmu komunikasi..."

Sebagai seorang praktisi humas yang profesional tentunya anda tidak akan dengan serta merta mengkontra maupun menyetujui hal itu dengan ringannya bukan ? Apapun profesinya, bila pernyataan semacam itu disampaikan kepada orang yang notabene adalah dengan kriteria sebaliknya, maka pernyataan tersebut terasa sangat intimidatif dan melampaui etika.

PERKEMBANGAN PROFESI HUMAS INDONESIA
Profesi humas di Indonesia, mengalami perkembangan yang sangat lamban. Ada banyak faktor yang menyebabkan profesi ini tidak juga kunjung menjadi tuan rumah bagi ilmuan komunikasinya itu sendiri. Selama dua dekade lebih, ada kecenderungan menarik yang menandai perjalanan profesi humas di Indonesia selama ini. Bagaimana profesi ini bisa terisi oleh praktisi yang tidak memliki kompetensi yang seharusnya dimiliki dan disyaratkan sebagai pejabat Humas atau Public Relations.
  1. Humas fase PUBLIC FIGURE. Pada awal berkembangnya profesi humas di Indonesia, sejumlah perusahaan berlomba-lomba menempatkan tokoh publik sebagai pejabat humas. Sebut saja para artis, foto model atau peragawati adalah contoh profesi yang dulu sempat mendominasi jabatan humas pada dua dekade yang lalu. 
  2. Humas fase PEMAIN LAMA. Kalau periode ini lebih pada posisi eksekutif humas yang diduduki oleh pemain lama. Intinya sama, tidak punya bekal akademis yang relevan, tapi mereka para pegawai lama yang sudah berkecimpung di bidang humas dan belajar dengan seiringnya waktu. Yang memprihatinkan adalah para pemain lama inilah yang kerap melakukan pembenaran dengan justifikasinya yang jauh dari obyektif. Mereka pikir, jam terbang adalah satu-satunya pembuktian ketenarannya sebagai seorang praktisi humas, bukan pada kualitas pekerjaannya !
  3. Humas fase JURNALIS. Pada periode berikutnya, adalah para wartawan yang kemudian banyak direkrut sejumlah perusahaan untuk menduduki posisi sebagai Public Relations. Alasaannya mudah saja, mereka dianggap telah terlatih dan piawai dalam menulis. Maka dengan merekrut wartawan baik wartawan cetak maupun elektronik maka pekerjaan tulis-menulis, salah satu tugas pekerjaan PR dapat teratasi dengan baik. Selain itu, seorang wartawan tentu punya jaringan media juga yang cukup luas bukan ? Padahal urusan media 'kan hanyalah salah satu bentuk kegiatan humas dari peran strategis humas sebagai salah satu fungsi manajemen yang jauh lebih besar.
  4. Humas fase LULUSAN LUAR NEGERI. Periode ini tak kalah menarik. Kini, sejumlah perusahaan berlomba-lomba untuk bisa merekrut sarjana atau master yang baru lulus dari luar negeri untuk menempati posisi bergengsi, Head of Relations, begitu kurang lebihnya. Seringkali apa penguasaan ilmunya tak terlalu menjadi pertimbangan, yang penting bisa berbahasa Inggris dan lulusan luar negeri. Sejumlah perusahaan menganggap kualifikasi ini diangap mampu menaikkan reputasi perusahaan.
Demikianlah fenomena perjalanan dan perkembangan profesi humas di Indonesia hingga saat ini, masih jauh panggang dari api. Lalu apakah mereka berhasil ? Tentu saja bila mengukurnya dengan ukuran ilmiah ilmu komunikasi jelas tidak berhasil. tapi bila mengukurnya dengan rentang waktu atau ukuran-ukuran prestisius lainnya, mereka akan mengklaim diri mereka berhasil.

APA KABAR SKKNI Bidang KEHUMASAN ?
Walaupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menerbitkan Kepmen mengenai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Kehumasan sejak 2008 lalu, namun Kepmen itu tak lebih hanya menjadi dokumen yang tidak bermanfaat. Kondisi ini semakin bertambah runyam, manakala sosialisasi untuk itu pun nyaris purba. Tragis bukan ?

Di lingkungan akademis, Kepmen ini tidak juga menjadi sebuah panduan yang seharusnya dikuasai oleh para mahasiswa jurusan humas agar dapat membekali dirinya sesuai kualifikasi yang diharapkan. Kepmen ini bahkan tidak dikenal oleh banyak para dosen komunikasi di banyak universitas di Indonesia.

Di lingkungan empiris atau dunia kerja, SKKNI bahkan berpotensi mendapat penolakan sengit dari para praktisi humas itu sendiri. Karena apa ? Karena mereka, notabene adalah para pejabat humas yang tidak mempunyai bekal akademis kehumasan ! Apa hubungannya ? SKKNI Bidang Kehumasan mensyaratkan sedikitnya 77 kompetensi yang banyak diantaranya hanya dapat dikuasi hanya melalui pendidikan formal di perguruan tinggi, bukan dari kursus singkat 3 (tiga) bulan mengenai ke-PR-an ! Maka bila SKKNI ini diberlakukan, bisa-bisa para pejabat humas ini kehilangan lapaknya dan terkena seleksi alam.

Tak heran, bila pameo itu pun menjadi angkuh berkumandang, bahwa "Orang-orang yang top di bidang Humas bukan orang-orang yang punya bekal pendidikan akademis komunikasi khususnya kehumasan !"

KAPAN SARJANA KOMUNIKASI MENJADI TUAN RUMAH BAGI PROFESINYA SENDIRI ?
Mungkin, saat ini para sarjana komunikasi belum bisa merasakan menjadi tuan rumah bagi profesinya sendiri. Namun tak usah berkecil hati. Kecenderungan yang terjadi dengan perkembangan profesi humas itu sendiri sesungguhnya menunjukkan kecenderungan yang menarik. Artinya, dalam proses tersebut terjadi peningkatan kriteria atau kualifikasi yang semakin relevan. Pada saatnya, pasar akan menyadari kebutuhannya sendiri, bahwa peran PR sebagai salah satu fungsi manajemen bukanlah merupakan sebuah profesi mudah yang dapat di-plug and play oleh profesi lainnya.

Walaupun profesi humas merupakan profesi yang berbasis ilmu sosial dan berpotensi sebagai profesi yang multientry, namun tetap akan ada perbedaan nyata antara profesional PR yang berilmu dan berpengalaman dengan profesional PR yang hanya bermodal 'pengalaman'.

Entah analogi apa yang pas untuk menggambarkan situasi ini. Intinya bahwa profesi ini akan maju bila para pelakunya sendiri mampu membuat profesinya sebagai profesi miliknya dan dihargai pasar. Ketidaktahuan pasar adalah pekerjaan rumah yang menjadi tanggug jawab para akademisi ilmu komunikasi khususnya humas bila ingin profesi ini menjadi profesi prestisius miliknya. Para sarjana komunikasi harus mampu menunjukkan perbedaan nyata yang menjadi kualifikasi dirinya bila dibandingkan dengan profesional lainnya yang tidak memiliki latar belakang akademis komunikasi. Persoalannya, mampukan para sajana komunikasi itu menjual profesionalisme dirinya secara layak ? Kita lihat saja nanti ....

Sabtu, 02 Juli 2011

ANTIKLIMAKS KASUS RUYATI

Kurang lebih seminggu setelah SBY menggelar jumpa pers menyikapi kasus Ruyati diikuti dengan keputusan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi hingga batas waktu yang tidak ditentukan (hingga Pemerintah Arab Saudi sepakat dengan syarat yang diajukan Pemerintah Indonesia), Kerajaan Arab Saudi langsung merespon moratorium RI.

Tidak tanggung-tanggung, Arab Saudi balik menyatakan tidak akan mengeluarkan visa lagi bagi para calon TKI ! Bahkan mereka tegas-tegas menyatakan menghentikan pemberian visa bagi para calon TKI sehubungan dengan syarat yang diminta pemerintah RI menyangkut hak dan perlindungan TKI. Sikap pemerintah Saudi Arabia yang cepat dalam menanggapi sikap RI dengan keputusannya yang jauh lebih galak, membuat kedudukan merea sakan memiliki posisi tawar yang jauuuuuuhhh lebih tinggi daripada Indonesia yang jelas-jelas warga negaranya telah menjadi korban kekerasan bangsa mereka selama berpuluh tahun !

Bagaimana ini, mereka yang melakukan ketidakpatutan, namun mereka yang kini mengendalikan situasi ? Menyikapi sikap galak Kerajaan Arab Saudi ini, rasanya ingin tahu akan seperti apa dan bagaimana Pemerintah RI menyikapinya. Menakertrans, Muhaimin Iskandar secara normatif sudah merespon hal itu dengan "positif". Menakertrans menyambut "positif" Keputusan Kerajaan Arab Saudi dengan dalih, bila Arab Saudi tidak menghentikan pemberian visa TKI maka akan terjadi penumpukan permintaan. Hahahahaha ... Tapi apa iya persoalannya sesederhana itu ?

Permintaan pemerintah RI menyangkut hak dan perlindungan TKI menyusul keputusan moratorium pengiriman TKI juga kasus pemancungan terhadap alm.Ruyati, tentunya bukan hanya untuk melindungi para calon TKI yang akan dikirimkan kemudian. Namun lebih dari itu, bahwa para TKI yang sudah bekerja di Arab Saudi saat ini, pastinya juga berhak untuk mendapatkan perlakukan yang layak dan perlindungan dari kekerasan selama mereka bekerja.

Dengan sikap tegas penolakan Kerajaan Arab Saudi terhadap persyaratan yang diajukan pemeritah RI artinya mereka tegas-tegas dan jelas-jelas menolak memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi para TKI yang sedang bekerja di sana saat ini ! Tidakkah hal ini disadari dan dimengerti oleh pemrintah kitaaaaa ???

LEMAHNYA KOMUNIKASI DIPLOMASI RI
Suka atau tidak suka, saat di awal-awal terbentuknya Negara ini, Indonesia cukup terkenal tidak saja sebagai inisiator pada banyak interaksi antarnegara di dunia baik regional maupun internasional, juga sebagai mediator untuk berbagai persoalan atau konflik yang dialami berbagai negara di dunia. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia selain dipercaya juga dianggap mampu melakukan negosiasi dan diplomasi internasional yang disegani. Namun, apa kabarnya hari ini ?

Pada kasus pembajakan kapal Inonesia yang memuat bijih nikel bernilai triliunan rupiah April 2011 lalu, pemerintah RI lebih memilih membayar tebusan miliaran rupiah ketimbang negosiasi. Mungkin mereka telah melakukan negosiasi, tapi dengan nilai tebusan yang tidak juga bergeser nilainya menjadi lebih kecil, maka terkesan upaya negosiasi tidak dilakukan optimal.

Pada kasus pemancungan alm. Ruyati lalu, pemerintah RI jelas dilecehkan sebagai sebuah pemerintahan yang merdeka dan berdaulat. Kini, persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Sikap tegas Kerajaan Arab Saudi untuk memenuhi persayaratan yang diminta pemerintah RI semakin memperlihatkan betapa lemahnya dan lambannya pemerintah RI dalam melakukan negosiasi dan diplomasi internasional. Akibatnya, posisi Indonesia semakin tidak memiliki posisi tawar dan mengundang cibiran. Entah akan seperti apa akhir persoalan ini, kita tunggu saja !

Kamis, 31 Maret 2011

BUDAYA PERUSAHAAN vs PERILAKU PEMIMPIN

Seorang petugas pengamanan internal sebuah perusahaan suatu siang menghardik seorang perempuan muda, pegawai perusahaan seraya berteriak. Katanya, "Hai kamu, anak kecil, pegawai baru, mau ke mana kamu ?" hardiknya kasar dari kejauhan disaksikan pegawai yang lalu lalang di halaman kantor. Perusahaan itu, bisa jadi punya aturan tertentu yang mengatur keluar masuknya pegawai. Namun, pantaskan bila caranya demikian ?

Sementara yang terjadi di ruang kerja tak jauh beda. Seorang atasan memanggil anak buahnya dengan tak kalah kasar. Dari kursi kerja di ruangannya sang atasan memanggil anak buahnya sambil bertepok-tepok tangan seperti memangil tukang bakso. Si atasan dengan intonasi tinggi berteriak kencang "Hai, fulana, fulana, kamu berkoordinasi sama pejabat fulan dong !" lantaran rekan sejawat sesama atasan tidak mampu berkomunikasi dan mengarahkan anak buah dengan baik. Alhasil, si rekan bukannya berkoordinasi dengan anak buah tapi justru kembali menghampiri yang bersangkutan.

Tak kuasa menumpahkan kekesalan pada rekan sejawat, maka anak buahlah yang menjadi pelampiasan. Bagaimana sang anak buah bisa berkoordinasi bila tak tahu apa yang hendak dikoordinasikan. Namun yang lebih mendasar permasalahannya adalah, pantaskan berkomunikasi dengan cara yang demikian ? Selain tidak sopan, perilaku seperti ini tergolong bullying, pelecehan, kekerasan secara mental terhadap orang lain.

Lain kesempatan, seorang CEO menegur keras seorang Direktur Muda, lantaran anak buah di jajarannya tidak bertegur sapa dengan sang CEO saat berlangsung makan siang ! Menurutnya, anak buah itu tidak tahu sopan santun lantaran tidak menegur sang CEO ! Padahal, bisa jadi sang anak buah tidak berani menegur karena hambatan psikologis, sebagai seorang proletar terhadap pemimpinnya. Namun sekali lagi, pantaskah 'permasalahan' yang demikian ini disikapi dengan cara yang seperti ini ?

Perilaku para pemimpin yang demikian ... tentu sangat mempengaruhi iklim organisasi atau perusahaan. Sebaliknya, aturan perusahaan yang tidak manusiawi dapat mempengaruhi perilaku para pegawai di dalamnya, sehingga mempengaruhi iklim organisasi menjadi tidak manusiawi pula.

Sang perempuan muda yang dihardik dengan keras oleh petugas pengamanan pun merasa sangat dipermalukan di depan orang banyak dan tidak nyaman dengan perilaku seperti itu. Sementara si Fulana yang dipanggil sang atasan dengan cara yang sangat tidak sopan pun melakukan aksi boikot berhari-hari dengan banyak alasan.

Keberadaan humas sebagai salah satu fungsi manajemen, sesungguhnya pada tataran yang sangat strategis, salah satunya yaitu membangun budaya perusahaan yang kondusif. Bila keberadaan humas hanya difungsikan sebagai pelaksana kegiatan seremonial maka penyimpangan-penyimpangan perilaku yang demikian ini akan semakin mengkristal menjadi budaya organisasi yang sulit untuk dikoreksi.

Rabu, 16 Februari 2011

ETIKA PROSES REKRUTMEN

Dua orang praktisi humas memenuhi panggilan wawancara di dua perusahaan konsultan berbeda yang sama-sama tengah melakukan proses rekrutmen. Tentu, prosesnya akan berbeda. Tapi simaklah, betapa berbeda dan menariknya perbedaan proses wawancara yang dialami kedua praktisi humas tersebut.

Si Fulan
  • adalah seorang kandidat yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun bekerja sebagai communications specialist di organisasi nir laba juga organisasi keuangan dunia. Berpendidikan S-2 manajemen komunikasi, berkemampuan bahasa inggris sangat baik dan pola kerja multinasional.
  • Ia memenuhi panggilan interview di sebuah perusahaan konsultan humas yang terbilang besar dengan holdingnya yang sudah terdaftar dalam bursa efek Indonesia sebagai perusahaan TBK. Perusahaan tersebut menjadwalkan wawancara pada hari dan jam kerja.
  • Pertemuan pertama, Si Fulan tiba sebelum waktu yang ditentukan. Setelah menunggu lebih dari satu jam, Si Fulan pun memulai wawancara.
  • Pewawancara tampak belum mempelajari CV yang telah dikirmkan. Gap pun terjadi antara keduanya. Umumnya hal seperti ini sangat sering terjadi, karena pewawancara/user, tidak menguasai ruang lingkup pekerjaan itu sendiri. Bila hal ini dilakukan oleh HRD untuk mengetahui kharakter personal kandidat, itu lain soal. Masalahnya bila yang mewawancarai adalah user yang berkepentingan langsung dengan pekerjaan tersebut tapi tidak menguasai permasalahan, maka yang terjadi adalah justifikasi yang sangat subyektif dan merugikan kandidat.
  • Pertemuan berikutnya, Fulan diminta mempresentasikan "Jika Aku Menjadi" sesuai posisi yang dilamarnya. Belum tiba waktunya presentasi pada pertemuan kedua tersebut, Fulan sudah diminta untuk mempresentasikan pula problem solving tentang kasus yang tengah dialami oleh perusahaan tersebut.
  • Sesuai hari yang ditentukan dan setelah menunggu lebih dari satu jam dari jadwal 'seperti biasanya', Si Fulan pun mempresentasikan pemikirannya berkaitan dengan kasus yang tengah dihadapi client perusahaan konsultan yang bersangkutan. Manajemen perusahaan sangat terkesan dengan pola pikirnya yang sangat terstruktur, berpengalaman dan berlandaskan konsep yang matang sehingga menghasilkan rekomendasi yang obyektif dan relevan. Presentasi Si Fulan menjadi hal berbeda yang jarang dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam merumuskan rekomendasi bagi clien-client-nya. 
  • Menginjak minggu ke-3 sejak pertemuan pertama, Perusahaan Konsultan menawar gaji yang diminta oleh Si Fulan yang notabene sudah jauh di bawah standar gaji yang biasa ia terima selama ini. Akhir kisah, perusahaan Konsultan menyatakan tidak menerima Si Fulan sebagai pegawai dengan alasan dia tidak memenuhi kriteria.  
Si Fulana
  • adalah kandidat yang memiliki pengalaman lebih dari sepuluh tahun sebagai praktisi dalam bidang PR di sebuah perusahaan vital, aktif dalam dunia akademisi, namun belum berpengalaman sama sekali dalam bidang konsultan. Berpendidikan S-2 manajemen komunikasi, aktif berorganisasi dan memiliki jaringan yang cukup luas di antara insan komunikasi.
  • Berbeda dengan Si Fulan, Fulana memenuhi panggilan sebuah Perusahaan Konsultan Komunikasi Strategis lokal, namun dikelola secara internasional, world class-lah ! Perusahaan tersebut menjadwalkan waktu pada sore hari selepas jam kerja.
  • Fulana tiba setengah jam lebih awal, menunggu di ruang tunggu sementara waktu, untuk kemudian diundang masuk dan menunggu di ruang rapat serta ditawarkan minuman yang diinginkan hingga jadwal yang ditentukan
  • Fulana ditemui oleh para pucuk pimpinan perusahaan tepat pada waktu yang dijadwalkan. Fulana melewati waktu wawancara yang menyenangkan, dialog berlangsung sangat akrab, penuh kekeluargaan dan beretika.
  • Para pucuk pimpinan tampak telah mempelajari CV dan essay resume Si Fulana dengan baik. Mereka secara bergantian mengajukan pertanyaan kepada Fulana, sementara Sang CEO menyimak dengan penuh perhatian. Mereka semua terkesan dan menyatakan essay resume yang disampaikan begitu clear dan baik.
  • Di akhir dialog, para pucuk pimpinan memberi kesempatan Si Fulana untuk bertanya apa saja. Bahkan sambil bergurau, mereka memperkenankan Si Fulana untuk picthing sekalipun ! 
  • Di akhir dialog, karena kekeliruan adminsitrasi dalam penayangan iklannya, para pucuk pimpinan ini mengabarkan bahwa posisi tersebut sesungguhnya telah terisi, namun tentu mereka punya alasan yang lain untuk tetap mengundang Si Fulana untuk wawancara bukan ? Sementara untuk posisi yang saat ini tersedia, Fulana dianggapnya over qualification. Namun demikian, mereka tetap akan memberi kabar dalam dua minggu ke depan, apapun hasilnya

ETIKA PROSES REKRUTMEN
Terlepas dari apapun hasil yang diterima oleh kedua kandidat, baik Si Fulan maupun Fulana, tetap terlihat bagaimana kualitas masing-masing perusahaan konsultan dalam melakukan proses rekrutmen. Keberadaan holding perusahaan yang sudah go public tidak menjadi jaminan bahwa perusahaan tersebut memilki etika yang baik dalam melakukan proses rekrutmen.

Proses rekrutmen sangat rentan dengan hal-hal yang tidak obyektif dan jauh dari azas keadilan. Hal ini dapat terjadi karena para perusahaan ini merasa posisi tawarnya lebih tinggi daripada para kandidat pelamarnya. Pendek kata, pelamar jauh lebih butuh ketimbang perusahaan yang jauh lebih leluasa dalam menentukan kandidat hingga batas waktu yang tidak ditentukan dengan 'harga' (gaji) yang semurah mungkin.

Selain itu, kecurangan atau pelanggaran etika yang dilakukan oleh para perusahaan ini kecil kemungkinan untuk diadukan oleh para kandidatnya. Pasalnya, proses rekrutmen terlebih yang melalui tahap wawancara sangat bersifat personal sehingga kecurangan yang dialami kandidat yang satu kecil kemungkinanannya akan diketahui oleh kandidat yang lain. Akibatnya, pelanggaran etika yang telah dilakukan sebuah perusahaan yang bisa jadi menimpa banyak orang (kandidat) menjadi sebuah pelanggaran yang tidak pernah mengemuka.

BUAH SIMALAKAMA
Bagi para kandidat, memenuhi permintaan perusahaan untuk mempresentasikan kemampuannya secara maksimal ibarat buah simalakama. Bila tidak memenuhi permintaan tersebut, kandidat khawatir dianggap tidak memiliki kompetensi yang layak. Sebaliknya, bila memenuhi permintaan tersebut kandidat tidak ingin ditelikung atau diperlakukan tidak adil oleh pihak perusahaan dengan cara sepihak.

Permintaan presentasi oleh pihak perusahaan tak jarang menyangkut kekayaan intelektual yang bersifat sangat personal atau individual. Namun, bila kandidat sudah mengerahkan segala kemampuannya dan dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi, tentu hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak beretika.

Bila permintaan presentasi hanya sebatas pada hal yang bersifat umum tentu tak jadi soal. Namun bila permintaan presentasi sudah menyangkut problem solving dan analisa yang sudah lebih spesifik tentu hal ini menjadi sangat tidak etis.

Pada hakekatnya, manusia itu adalah makhluk sosial. Sementara proses rekrutmen dengan metode wawancara sangat penuh dengan subyektivitas. Peluang besar sangat terbuka untuk dibangun, sebaliknya jebakan dan kegagalan sangat potensial terjadi dalam tahap ini. Hal yang tak kalah penting, bukan hanya pihak perekrut (perusahaan) saja yang dapat membaca suasana, kandidat pun dapat menilai seberapa besar keberadaannya diharapkan oleh perusahaan. Manakala perusahaan membuat keputusan yang tidak adil setelah melakukan cara-cara yang tidak etis pun, hal itu dapat terbaca dan terlihat dengan jelas oleh para kandidat.

Selasa, 15 Februari 2011

SEMILOKA ASPIKOM

Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) mengadakan serial Semiloka pada 15-17 Maret 2011 di Yogyakarta. Acara ini berlangsung secara paralel, Kegiatan Semiloka pada 15-16 Maret 2011 dan workshop pada 16-17 Maret 2011. Kegiatan Semiloka sangat kaya dengan pendalaman materi penilitian kuantitaif dan kualitatif, sementara Kegiatan Workshop sangat penuh dengan strategi PR & CSR.

Kegiatan Semiloka berlangsung pada hari Rabu & Kamis, 15 - 16 Maret 2011 berbiaya Rp. 350.000,- akan sangat bermanfaat bagi para mahasiswa atau akademisi komunikasi. Sementara Kegiatan workshop PR & CSR berlangsung pada hari Kamis & Jumat, 16 - 17 Maret 2011 akan sangat bermanfaat bagi para praktisi dan profesional Humas.

Kegiatan semacam ini sangat baik diikuti oleh insan komunikasi selain untuk menggali dan menambah wawasan dalam ilmu komunikasi juga sangat penting dalam membangun jaringan bagi sesama ilmuwan dan praktisi komunikasi Indonesia di mana pun berada. Siapkan diri sekarang, atur jadwal dan selamat belajar !

Sabtu, 22 Januari 2011

HUMAS ADALAH MULTIENTRY & MULTI DISIPLINER

MULTI ENTRY vs MULTI DISIPLINER
Dalam perkembangannya selama ini, profesi humas adalah profesi yang multi entry. Namun, dalam kenyatannya ilmu humas juga merupakan sebuah ilmu yang multi disipliner. Fakta bahwa siapapun dapat menjadi seorang pekerja humas, bagaimana pun menjadikan profesi humas terkesan sebagai profesi yang 'murahan' dan tidak sama gensinya dengan profesi dokter, insinyur, dst. Kondisi ini tentu terkesan tidak fair.

Namun di sisi yang lain, profesi ini memiliki kekuatan untuk menunjukkan keberadaanya secara nyata. Betapapun rancunya profesi humas, sesungguhnya ia memiliki filternya tersendiri yang pada akhirnya akan mampu menempatkan dan membedakan para pekerja humas yang 'berpengalaman' dan pekerja humas yang berpengalaman tapi berilmu.

Profesi humas merupakan profesi multi entry, ya ! Harus diakui bahwa kenyataannya siapapun dapat bekerja sebagai praktisi humas, apapun latar belakang pendidikannya. Mengapa ? Karena masyarakat mengira, pekerjaan humas adalah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan cukup berbekal dengan kebiasaan saja. Idealnya ? Tentu tidak demikian !

Ilmu humas merupakan ilmu multi disipliner, pasti ! Sebagai disiplin ilmu yang melahirkan seorang ahli strategi dalam berkomunikasi, maka ilmu humas mensyaratkan kemampuan berkomunikasi dalam berbagi sudut pandang ! Maka dalam ilmu humas, dipelajari berbagai disiplin ilmu selain ilmu komunikasi itu sendiri.

Mempelajari ilmu humas, sama halnya mempelajari ilmu psikologi, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu sosioliogi, ilmu budaya, ilmu filsafat dan sebagainya dari tingkat dasar hingga beberapa turunannya, termasuk propaganda, psywar dan pastinya ilmu penelitian ! Hal ini menjadi penting agar bila para ahli  komunikasi ini kelak merumuskan strategi dalam berkomunikasi dengan para stakeholdernya, mereka tahu pasti pendekatan-pendekatan seperti apa dan cara pandang mana yang paling relevan dan dapat diterima dengan pas oleh lawan bicaranya.

FENOMENA KONSULTAN HUMAS
Menjamurnya perusahaan konsultan humas adalah salah satu fenomena yang menarik dan relevan berkaitan dengan fakta multi entry dan multy disipliner itu. Ada sejumlah fenomena menarik tentang itu, antara lain :
  1. Ada kalanya sebuah konsultan humas ternyata digawangi oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki bekal ilmu komunikasi, khususnya ilmu humas;
  2. Sebaliknya, tidak sedikit perusahaan konsultan humas justru dikelola oleh mereka yang mempunyai pengalaman bekerja di industri media, misalnya sebagai jurnalis surat kabar;
  3. Perusahaan konsultan tidak didukung oleh SDM yang berbekal ilmu komunikasi secara proporsional;
  4. Perusahaan konsultan humas hanya menawarkan jasa konsultasi pada area seremonial bukan pada tingkat management advisory;
  5. Perusahaan konsultan humas tidak memahami filosofi dan etika pekerjaan serta profesinya;

KELOMPOK 4 : TAK TAHU APA YANG TIDAK DIKETAHUI
Fenomena itu sungguh menarik, karena dampaknya sungguh tidak mudah diketahui, apalagi dirasakan oleh para pengguna jasa mereka. Artinya, dinamika dunia humas di Indonesia pun tampak seperti kelompok 4 : yaitu mereka yang tak tahu apa yang tidak diketahuinya. Itulah yang sesungguhnya tengah dialami oleh para pengguna jasa konsultan humas, bila mereka salah menentukan konsultan humas.

Seorang pemilik konsultan humas merekrut mereka yang tidak menguasai ilmu humas pula. Akibatnya, mereka hanya berkutat pada pelayanan jasa remeh temeh kepada pelanggannya. Apa yang paling sering diminta oleh para perusahaan pegguna jasa konsultan humas ? Tak jauh-jauh dari peran sebagai event organizer, membuat company profile, membuat annual report, menyelenggarakan konferensi pers, menyelenggarakan product launching, kongres, memasang iklan, dst.

DE FACTO WITHOUT DE' JURE !
Seorang communications specialist berpengalaman yang telah bekerja di sebuah perusahaan asing mencoba melamar di sebuah konsultan humas lokal yang telah go publik. Dalam sesi wawancara yang terjadi kemudian adalah ketidaksepakatan mengenai definisi pekerjaan humas ! Pasalnya, manajer yang mewawancarainya adalah seorang muda yang sama sekali tidak tahu menahu soal kehumasan. Bila demikian adanya, bagaimana eksplorasi terhadap calon kandidat dapat berlangsung secara optimal ?

Seorang konsultan humas yang lain bahkan berdebat soal apa yang harus diklipingnya, karena ia tidak memahami aktivitas dan kegiatan operasional pelanggannya. Bila menyangkut soal penampilan para konsultan itu, lebih banyak lagi hal yang teramat mengecewakan. Kadang mereka tidak mengerti siapa sosok dan kharakter pelanggan atau institusi yang dihadapinya sehingga seringkali mereka berpenampilan tidak profesional.

THE RIGHT MAN ON THE RIGHT PLACE
Menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat bukanlah omong kosong. Pernyataan itu pun bukanlah sebuah teori belaka yang mungkin dianggap teori purba dalam managemen SDM dewasa ini. Menyerahkan sesuatu kepada ahlinya adalah salah satu firman Allah SWT dalam Al Quran. Maka, manakala segala urusan tidak diserahkan kepada mereka yang ahli di bidangnya, niscaya kerusakanlah yang terjadi di muka bumi, seperti halnya yang tengah dihadapi bangsa ini. Para ilmuwan komunikasi menghadapi tantangan besar untuk memulainya. Mampukan ilmu humas menjadi tuan rumah di wilayah kekuasannya sendiri ? Mengapa tidak ?

Selasa, 18 Januari 2011

BLACKBERRY, RIM vs INDONESIA

JAKA SEMBUNG BAWA KUCING, SALAH SAMBUNG UPAYA SEMBIRING
Para pengguna blackberry (BB) di Indonesia belakangan ini heboh lantaran isu yang berkembang menyoal pemblokiran layanan BB. Konon pasalnya, gadget canggih ini berpotensi untuk disalahgunakan dalam mengakses hal-hal yang berbau pornografi. Begitu kabarnya ....

Padahal, isu BB ini bukan sekedar pornografi. Sesungguhnya ada sejumlah hal yang sangat mendasar berkaitan dengan operasionalisasi BB di Indonesia. Karena itulah, Menkominfo, Tifatul Sembiring meminta Research in Motion (RIM) sebagai produsen BB agar melakukan kesepakatan dengan Indonesia. Nah, informasi inilah yang tidak diperoleh secara utuh oleh pengguna BB di Indonesia sehingga menimbulkan reaksi keras yang cenderung menolak, tidak mendukung dan kontra produktif dengan rencana kebijakan Menkominfo.

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian RIM sedikinya ada 7 (tujuh) poin, yaitu :
  1. RIM harus menghormati dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ada tiga undang-undang yang terkait, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
  2. RIM diminta membuka perwakilannya di Indonesia sebab pelanggan RIM di Tanah Air sudah mencapai lebih dari 2 juta
  3. RIM diminta membuka service center di Indonesia untuk melayani dan memudahkan pelanggan
  4. RIM diminta merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan proporsional
  5. RIM diminta sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya mengenai software
  6. Pemblokiran situs porno, yaitu RIM diminta memasang software blocking terhadap situs porno, sebagaimana yang telah dilakukan oleh operator-operator lain di Indonesia
  7. RIM diminta membangun server/repeater di Indonesia agar aparat penegak hukum dapat melakukan penyelidikan terhadap pelaku kejahatan, termasuk koruptor
Bila menilik hal-hal yang disodorkan Menkominfo kepada RIM untuk dipenuhi, rasanya bangsa Indonesia patut memberikan dukungan dan penghargaan atas upaya yang telah dilakukan Tifatul Sembiring bagi negara ini.

LABA FANTASTIS TANPA PAJAK
Para pengguna BB mungkin tak banyak yang tahu, bahwa pengguna BB di Indonesia saat ini sedikitnya telah mencapai 3 juta pelanggan. Dari angka itu, 2 juta di antaranya adalah pelanggan resmi, sisanya adalah pelanggan pasar gelap (baca http://www.mediaindonesia.com/). Sebagaimana yang ditawarkan sejumlah operator seluler di Indonesia, tarif layanan BB berkisar pada angka Rp.70.000,- - Rp. 100.000,-/bulan. Bila rata-rata pelanggan BB dikenai tarif Rp. 70.000,- saja per bulan (US $ 7), artinya setiap bulannya RIM mengeruk keuntungan sedikitnya Rp. 189 miliar atau Rp. 2,268 triliun/tahun ! Ironisnya, untuk keuntungan sebesar itu, RIM tidak dikenai pajak sedikit pun ! Nah loh ?


TWITTER PINTER
Senin, 17/1/2011 lalu Menkominfo bertemu Komisi 1 DPR yang mempertanyakan gaya komunikasinya melalui jejaring sosial. Para anggota DPR ini menganggap kebiasaan Tifatul menyampaikan kebijakan melalui jejaring sosial khususnya twitter tidaklah pas dan beresiko. Mereka menilai penyebarluasan informasi khususnya kebijakan pemerintah melalui akun pribadi sangat rentan terhadap kesalahpahaman karena berpotensi terjadinya multitafsir. Selain itu, menginformasikan kebijakan pemerintah melalui akun jejaring sosial pun dianggap tidak formal dan berkekuatan hukum.

Yang menarik, sebagaimana fenomena yang sering terjadi dalam lalu lintas komunikasi melalui jejaring sosial, seorang tokoh atau figur publik seringkali ditemui memiliki lebih dari satu akun. Masalahnya, seringkali pula duplikasi akun atas seseorang yang sama sangat mungkin dibuat bukan oleh orang yang bersangkutan. Artinya, seorang penggemar bisa saja membuat akun seorang tokoh yang diidolakannya.

Apalagi bila tokoh yang diidolakan ternyata gagap teknologi, maka akun yang spesifik dengan nama tokoh yang bersangkutan bisa jadi masih belum pernah dibuat. Akibatnya, tiba gilirannya si tokoh yang bersangkutan akan membuat akun pribadi dengan namanya sendiri tidak lagi dapat memperoleh nama tersebut karena telah dibuat dan dimiliki serta dioperasikan oleh orang lain. Akhirnya sang tokoh pun mempunyai alamat akun yang tidak terlalu spesifik yang mengakibatkan teman atau pengikutnya bingung menentukan mana yang asli dan sungguh akun prinadi sang menteri sehingga akibatnya akun pribadi sang menteri pun kalah banyak dengan akun yang justru dibuat oleh orang lain.

Kembali menyoal akun sang Menteri, dalam kesempatan itu diketahuilah ternyata bahwa akun pribadi Menkominfo yang sedikitnya ada 4 akun tidak dioperasikan sendiri oleh sang menteri. Beliau berkilah dia tidak mau dianggap sebagai menteri yang buang-buang waktu karena sibuk bermain jejaring sosial.

Pasalnya, komunikasi melalui jejaring sosial, bagaimanapun bila menyangkut akun pribadi maka akan mencerminkan kharakter personal pemilik akun yang bersangkutan. Nah, berhubung akun sang menteri tidak dikelola oleh beliau sendiri, maka gaya berkomunikasinya pun menjadi berbeda dengan gaya berkomunikasinya dalam interaksi nyata.

Hal-hal demikian tidak dapat dianggap sepele, karena mengakibatkan orang lain merasa tidak nyaman manakala mendapatkan respon yang 'aneh' dari 'sang menteri' dalam interaksinya melalui jejaring sosial. Aneh, karena tidak mencerminkan sosok kepribadian sang menteri sebagaimana yang mereka kenal setiap hari, khususnya dalam bertutur kata yang sangat piawai dalam berpantun misalnya.

Sebagai seorang menteri, tokoh, figur publik, politisi juga ulama, Menkominfo tentu berinteraksi (memiliki teman atau pengikut) yang juga para tokoh dalam jejaring sosialnya. Karena mereka telah saling mengenal dalam keseharian, tentu mereka, para sahabat sang menteri ini akan merasa aneh saat menerima respon sang menteri yang ternyata selama ini dioperasikan oleh 2 (dua) orang staf/timnya.

Meskipun Menkominfo menyatakan bertanggung jawab atas setiap pernyataan atau operasionalisasi akun pribadi yang tidak dikelola secara pribadi tersebut, tentu beliau tetap perlu memikirkan ulang mengenai hal itu. Setidaknya beliau mempertimbangkan efek yang sifatnya sangat personal itu yang ditimbulkan oleh interaksi melalui akun pribadinya tersebut.

KOMUNIKASI VIRTUAL ADALAH KENISCAYAAN
Mustahil rasanya membendung kemajuan dan perkembangan teknologi khususnya teknologi komunikasi, termasuk komunikasi virtual melalui jejaring sosial. Banyak literatur mengungkapkan bahwa menggunakan jejaring sosial dan konunikasi virtual lainnya sangatlah efektif dan membantu secara nyata dalam interaksi dan operasional sebuah orgnisasi atau perusahaan dengan para stakeholdernya.

Masalahnya, teknologi bagaimanapun hanya merupakan sebuah alat. Artinya, dalam menggunakan sebuah alat diperlukan sebuah keahlian yang dapat membuat pemanfaatan teknologi itu menjadi optimal, bukan sebaliknya. Apalagi, ruang yang tersedia dalam berkomunikasi melalui jejaring sosial sangatlah terbatas. terlebih lagi twitter yang hanya menyediakan ruang tidak lebih dari 140 kharakter (huruf) dalam sekali penyampaian informasi. Tentu sedikit sekali kata yang dapat dimuat bukan ? Itulah sebabnya bila pemilik akun memuat kata-kata yang disingkat sangat berpeluang timbulnya kesalahpahaman dan multitafsir.


REKOMENDASI
Kebijakan Menkominfo menggunakan jejaring sosial sebagai media dalam menyampaikan kebijakan pemerintahan sesungguhnya sebuah terobosan yang inovatif. Hanya, dalam hal ini penyampaian kebijakan melalui jejaring sosial yang sangat terbatas itu perlu disertai media lain yang dapat memberikan ruang lebih luas dalam proses pemahamannya bagi khalayak luas.

Secara sederhana, bisa saja Menkominfo mengabarkan kebijakan melalui akun pribadinya di twitter maupun facebook, namun diikuti dengan informasi jadwal konferensi pers tentang launching kebijakan tersebut, juga link atau tautan mengenai kebijakan tersebut secara on line kepada situs, blog, atau informasi virtual lain yang lebih lengkap.