Jumat, 30 Juli 2010

SKKNI Bidang Kehumasan goes to BUMN !

Dalam Konvensi Nasional Humas 21 - 22 Juli 2010 lalu di Jakarta, penerapan sertifikasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Kehumasan menjadi sebuah materi yang sangat krusial dibicarakan pada setiap sesi. Sejak awal diluncurkan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. 039/Menakertrans/II/2008, SKKNI Bidang Kehumasan nyaris menjadi dokumen tak termanfaatkan karena tidak tersosialisasi lebih dari 2 (dua) tahun lamanya sejak KepMen itu diluncurkan.

Kabar baiknya, Mustafa Abubakar, Menteri Negara BUMN, selaku pembicara kunci dalam KNH 2010 mendukung penuh realisasi penerapan SKKNI Bidang Kehumasan dalam dunia kerja, khususnya di jajaran kementrian BUMN. Artinya, dalam kurun waktu tidak terlalu lama, BUMN akan menerapkan SKKNI Bidang Kehumasan bagi pekerja kehumasan di setiap BUMN di bawahnya melalui SKB 3 (tiga) Menteri, yaitu Menteri BUMN Negara BUMN, Menteri Kominfo & Menakertrans.

Harus diakui bahwa keseriusan Meneg BUMN akan hal ini menjadi breaktrough bagi kemajuan kehumasan di jajaran instansi pemerintah khususnya di BUMN. Maka, tak lama lagi para pelaku humas di jajaran BUMN mau tidak mau harus memiliki sertifikasi atas kompetensinya di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih dari itu, pelaku humas di jajaran BUMN akan mengetahui seberapa jauh kompetensi individu dalam tim humasnya berdasarkan 4 (empat) kategori.

Sesuai Kep Menakertrans no. 039/Menakertrans/II/2008, sertifikasi kehumasan Indonesia terbagi dalam 4 kategori meliputi :
  1. Sertifikasi III (Humas Junior)
  2. Sertifikasi IV (Humas Madya)
  3. Sertifikasi V (Humas Ahli)
  4. Sertifikasi VI (Humas Manajerial)
Sementara kompetensi Bidang kehumasan itu sendiri terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, meliputi :
  1. Kompetensi Umum (7 kompetensi)
  2. Kompetensi Inti (55 kompetensi)
  3. Kompetensi Khusus (9 kompetensi)
Bila jajaran BUMN telah melakukan sertifikasi bagi seluruh pelaku humasnya, mereka dapat memperoleh banyak manfaat, antara lain ;
  1. Mengetahui peta kekuatan kompetensi individu jajaran humas di masing-masing BUMN. Artinya, bila para pelaku humas di jajaran BUMN telah mengikuti sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan, dengan sendirinya akan diketahui kecenderungan kompetensi SDM humas secara umum, apakah sebagaian besar merupakan humas junior, madya, ahli atau manajerial;
  2. Mendorong pelaksanaan Satuan Kerja Individu (KPI)- Key Performance Indicator (KPI) secara obyektif. Saat ini, Kementerian Negara BUMN tengah mendorong seluruh BUMN di bawahnya untuk menjadi perusahaan berkelas dunia yang mengglobal. Salah satunya adalah dengan perombakan sistem manajemen SDM dengan memberlakukan SKI atau KPI. Nah, bila jajaran BUMN telah melakukan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan bagi para pelaku humasnya, tentu ini akan membantu pelaksanaan KPI secara lebih obyektif dengan standar yang jelas dan berlaku nasional serta profesional. Bahwa belum semua profesi memiliki standar kompetensi yang telah berlaku secara nasional dan diakui secara sah oleh pemerintah, maka SKNNI Bidang Kehumasan merupakan bukti nyata, bahwa profesi humas merupakan sebuah profesi yang serius bukan profesi pelengkap yang dapat dilakukan oleh sembarang orang, atau bahkan oleh orang-orang buangan ;
  3. Acuan Job Description. SKKNI Bidang Kehumasan dengan sedikitnya 71 (tujuh puluh satu) kompetensinya, jelas menggambarkan tanggung jawab pekerjaan humas yang sesungguhnya. Dengan demikian, SKKNI Bidang Kehumasan ini dapat menjadi acuan bagi pelaku humas di jajaran BUMN. Bukan rahasia lagi, jajaran BUMN dan instansi pemerintah pada umumnya selama ini memiliki pemahaman yang sangat sempit mengenai profesi humas. Akibatnya, peran humas di berbagai instansi dan badan pemerintah ini tidak lebih dari peran administrasi, seremonial dan segala hal yang remeh temeh dan tidak penting sama sekali. Peran humas seperti itu sama sekali tidak mencerminkan peran humas yang sesungguhnya sebagai fungsi manajemen yang berpikir strategis dan visioner;  
  4. Membangun karir dan persaingan sehat. Pemberlakukan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan di jajaran BUMN tentu akan menjamin terselenggaranya kaderisasi dan pembangunan karir di antara pelaku humas secara obyektif berdasarkan persaingan yang sehat. Sertifikasi ini akan merontokkan sistem kenaikan pangkat berdasarkan senioritas yang selama ini berlaku di jajaran BUMN yang seringkali menafikkan kompetensi dan profesionalisme. 
Pada dasarnya, pemberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan di jajaran BUMN yang dicanangkan Meneg BUMN, Mustafa Abubakar merupakan sebuah terobosan yang sangat fenomenal dan layak disikapi secara positif. Persoalannya kemudian adalah pemerintah pun perlu melakukan pengawasan terhadap jalannya proses sertifikasi itu sendiri agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Intinya, pemeberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan ini menjamin terwujudnya obyektivitas dan reposisi profesi humas secara menyeluruh, baik secara organisatoris maupun individu. Bagaimanapun, produk SKKNI Bidang Kehumasan ini sudah dapat diandalkan dan membatasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam realisasinya dengan uraian-uraian yang lengkap.

Namun, euforia pemeberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan, harus diimbangi dengan pengawasan beberapa aspek menyangkut pelaksanaan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan ini, antara lain meliputi :
  1. Komitmen terhadap jaminan profesionalisme sesungguhnya. Sekali lagi, berdasarkan fenomena, gejala yang sering terjadi dalam instansi pemerintah, bahwa beragam fungsi termasuk sertifikasi dalam instansi pemerintah tidak lebih dari formalitas belaka. Artinya, semoga badan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan nantinya tidak melakukan 'jual beli' sertifikasi dengan nilai tertentu;
  2. Penyempurnaan. Ilmu pengetahuan dan profesi berjalan selaras dan terus mengalami perkembangan. Demikian halnya dengan SKKNI Bidang Kehumasan. Tentunya di masa yang akan datang SKKNI ini akan mengalami penyempurnaan terhadap kompetensi-kompetensi lain yang belum terakomodir dalam SKKNI Bidang Kehumasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kep Menakertrans no : 039/Menakertrans/II/2008;  
  3. Keterwakilan. Sebagai sebuah profesi yang terbuka, maka keterwakilan dari berbagai kalangan atas penyususnan SKKNI dan sertifikasi profesi ini harus terpenuhi. Artinya, dalam pelaksanaan SKKNI Bidang Kehumasan ini perlu melibatkan kalangan akademisi, profesional serta pemerintah secara proporsional agar legitimasi atas sertifikasi profesi ini menjadi kuat dengan dukungan penuh seluruh pihak;
  4. Pengawasan Sertifikasi. Selayaknya, penyelenggara sertifikasi adalah sebuah badan yang independen namun memiliki kewenangan yang relevan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kericuhan di masa yang akan datang;
  5. Sosialisasi. Sosialisasi pun menjadi syarat mutlak yang harus diupayakan agar pelaksanaan SKKNI Bidang Kehumasan dapat terwujud sesuai tujuan. Karenanya, sosialisasi harus dilakukan di berbagai kalangan yang berkaitan dengan profesi kehumasan, yaitu kalangan akademisi (mahasiswa), institusi pemerintah maupun swasta (pengguna) serta konsultan (penyelenggara jasa humas independen). Dengan demikian, para mahasiswa dan sarjana komunikasi khususnya calon pelaku humas dapat mempersiapkan diri terhadap penguasaan berbagai kompetensi yang akan menjadi nilai lebih atas dirinya, dan hal itu akan berbanding lurus dengan penghargaan serta pendapatan yang akan diperolehnya dalam dunia kerja. Sementara bagai institusi pengguna, sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan pun dapat menjadi filter bagi perekrutan SDM humas secara selektif namun praktis. Tak kalah penting, sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan bagi kalangan konsultan dapat menjadi kriteria, syarat mutlak yang tidak dapat ditawar dan menjadi nilai jual bagi penjual jasa konsultasi ini dengan para pengguna jasanya sebelum melakukan transaksi.   
Well, lega rasanya walau lambat namun SKKNI Bidang Kehumasan akhirnya bergulir juga, bahkan dimotori oleh jajaran BUMN sebagai pioner. Ini adalah kesempatan emas bagi seluruh pelaku profesional humas di mana saja, khususnya di jajaran BUMN. Ini saatnya bagi kita untuk diperhitungkan dan diapresiasi sebagaimana seharusnya. Ini saatnya bagi para pelaku humas untuk mewujudkan cita-citanya, berperan secara profesional sebagai fungsi manajemen dengan pemikiran-pemikiran strategis dan visioner ke depan bagi kemajuan organisasi dan bangsa ! Selamat !

Rabu, 28 Juli 2010

SENSE OF BELONGING

Sebuah organisasi pemerintah, yang hampir setengah abad keberadaannya, bahkan bisa jadi lebih, bahkan bisa jadi sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaannya, bahkan besar kemungkinan negara ini tak mungkin eksis, diakui dunia, secara teknis, tanpa peran penting organisasi yang satu ini ! Subhanallah ....

Berpuluh tahun merambat, mencoba berdiri, berupaya tegak nan kokoh, bertaruh tenaga, keringat, darah dan nyawa ! Berbekal kesederhanaan, nilai-nilai tradisional, kampungan, kekerabatan, kekeluargaan tapi juga berjuta pengabdian dan loyalitas yang bisa jadi melampaui semangat tentara yang dibekali bedil dan pangkat ! Menjadi bagiannya merupakan sebuah takdir, panggilan, pilihan teramat sulit serta ujian kesabaran yang menjadi ladang amal hingga hayat dikandung badan ....

Di tengah peradaban yang maha dasyat, di tengah tornado globalisasi bersaut tsunami, ia berjuang agar tidak tenggelam, agar tidak terserak, agar tidak terkoyak, ibarat kapal sarat muatan terhantam badai di tengah lautan, di malam gelap. Tujuan perjuangannya hanya satu, adalah harkat dan martabat bangsa dan negara ini, bukan keselamatan para penumpang kapal di dalamnya ! Karena mereka tahu, tanpa keberadaan mereka, negara ini terancam marabahaya. Karena mereka tahu, para penumpang hanyalah alat belaka untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihormati seluruh bangsa di dunia.

Namun, jangankan tim SAR, sekoci penyelamat pun tak tersedia bagi para syuhada bangsa dalam 'kapal' jihadnya. Maka mereka pun harus berjuang sendiri, hingga entah kapan, karena tak satu pun di luar kapal mereka yang peduli dan terpanggil untuk memberikan pertolongan apalagi tersadar bahwa kapal para syuhada ini nyaris karam ....

Hingga suatu masa, perang melawan kemunduran pun ditabuhkan. Semangat menjulangkan nama besar pun diteriakkan !  Kekuatan membangun impian pun dikobarkan ! Cita-cita mengarungi seluruh samudera dan berkeliling dunia pun dibangkitkan ! Walau hanya berbekal nilai-nilai kesederhanaan, kenaifan, keluguan dan keyakinan. Bissmillahirrahmanirrahim, dayung kapal pun dikayuhkan lebih kencang !

Padahal kapal itu, dikayuh oleh pelaut-pelaut renta yang telah termakan usia. Pandangannya mulai kabur, kekuatannya mulai melemah, ketampanannya mulai sirna. Tapi mereka, mungkin karena kecintaannya, enggan digantikan oleh pelaut muda. Dan mereka, mungkin karena kebanggaan akan profesinya yang langka, berat hati menyerahkan tongkat estafet kepada penerusnya. Maka tak heran, akibatnya, kapal pun berjalan lambat, sangat lambat, bahkan terombang-ambing dalam pusaran yang kuat dan tak tentu arahnya.

Para syuhada tua itu lupa, mungkin karena kesetiaannya yang besar pada bangsa, bahwa sesungguhnya segala hal di dunia yang fana ini ada akhirnya, tak terkecuali keberadaan mereka. Mereka mungkin lupa, bahwa segala sesuatu itu ada siklusnya, itulah sebabnya mereka tak rela tergantikan oleh syuhada muda.

Sementara para pelaut tua yang renta tertatih berjuang, para pelaut muda yang kokoh terdiam, hanya mampu memandang tanpa sedikit pun kesempatan, seorang ahli bintang nyaris bisu tak berkawan. Sementara pula, para preman kapal leluasa menguasai seisi kapal dengan intimidasinya.

Maka dapat dibayangkan, di saat kapal sarat muatan itu sesungguhnya tengah membutuhkan kekompakan dan kerjasama seluruh syuhadanya, dan di saat kapal yang mereka naungi & tempat mereka menggantungkan hidup serta keselamatan tengah berjuang melawan badai, di antara mereka sendiri justru timbul perpecahan.

Nahkoda dan mualimnya pun bersikukuh dengan pandangan dan yakin dengan ilmunya masing-masing. Maka, para syuhada yang bertikai pun tak terpisahkan. Maka kapal yang mulai retak dan bocor di mana-mana karena lapuk termakan usia dan hantaman ganasnya ombak pun tak terperhatikan, apalagi kelihatan, kecuali air laut yang semakin deras memasuki ruang-ruang kapal. Dan hanya segelintir orang yang sadar, bahwa kapal yang mereka tumpangi bersama nyaris tenggelam !

Dan sayang sungguh teramat sayang, di saat seluruh seisi kapal berjuang mengayuh sekuat tenaga, berjuang menaklukan ganasnya badai, bahkan berjuang melawan kesangsiannya sendiri atas kemampuannya mewujudkan mimpi-mimpi mulia, sang nahkoda justru sibuk memandang, mengagumi, bahkan berusaha agar ia menjadi nahkoda di kapal lain !

Bukan hal yang aneh bila manusia menghendaki segala sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah mereka miliki selama ini. Tapi, bukankah seorang nahkoda kapal adalah seharusnya menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal, bahkan saat kapalnya terhantam badai dan mulai tenggelam ? Maka seluruh penumpang kapal adalah menjadi tanggung jawabnya, seluruhnya, hingga kapal merapat, tiba di tujuan hingga selamat. Tak bisa dibayangkan seandainya, seorang nahkoda berpindah kapal, di tengah badai lautan, menyelematkan dirinya sendiri dan meninggalkan seluruh penumpangnya dalam ketidakpastian ....

RASA MEMILIKI (SENSE OF BELONGING)  itu bukan sesuatu yang bisa direkayasa. Rasa memiliki itu ibarat cinta. Cinta itu datang dengan sendirinya. Maka betapapun pahitnya, bila cinta akan tetap cinta. Sebaliknya, betapapun indahnya, bila tidak cinta tetap tidak cinta. Tapi cinta bisa ditumbuhkan walaupun menumbuhkan cinta butuh waktu serta pembuktian. Namun cinta juga bisa terjadi kapan saja, bahkan pada pandangan pertama. Tapi cinta tidak bisa dipaksakan !

Yang demikian ini sungguh menyedihkan. Sebuah mekanisme mungkin sudah menjadi keharusan, keharusan yang dibuat oleh manusia, walaupun menimbulkan resiko maha besar. Maka tidak seluruh teori dapat diwujudkan. Maka ilmu pengetahuan pun tertunduk diam ....

Bahwa sebuah organisasi seharusnya memiliki Public Relations Officernya sendiri dan bukan konsultan, karena alasan yang mendasar adalah itu, rasa memiliki (sense of belonging). Mereka akan bekerja sekuat tenaga, sepenuh hati, dengan rasa cinta. Berbeda dengan konsultan, mereka akan bekerja karena uang, berapa besar bayarannya, itu pun belum tentu menggambarkan sebesar itu pula perjuangan bagi sebuah organisasi yang telah membayarnya.

Lalu bagaimana halnya dengan pemimpin organisasi atau perusahaan ? Bukankah seluruh kebijakan berasal dari padanya ? Semua nasib elemen organisasi tergantung padanya ? Maka bila ia bersikap layaknya konsultan profesional, ia pun tak lagi bisa diharapkan punya cinta, karena tak pernah merasakan perjuangan sejak awal.

Maka setiap makhluk hidup berdampingan dalam sebuah tataran. Bahwa manusia pun hidup dalam aturan. Bahwa etika pun merupakan salah satu aturan yang sesungguhnya memiliki kekuatan dan tuntutan pertanggungjawaban moral lebih besar. Maka sang nahkoda yang demikian itu sungguh sangat tidak beretika dan telah mengecewakan, menyakiti, bahkan menipu para penumpangnya. Tak ada jaminan keselamatan yang seharusnya menjadi hak mereka hingga tiba di tujuan ....

Kasus seperti ini membuktikan, bahwa berdasarkan teori memang demikian. Ilmu pengetahuan menyandingkan das sein dan das solen  sebagaimana adanya. Bahwa rasa memiliki hanya dimiliki oleh mereka yang menjadi bagian dari sebuah organisasi yang telah berjuang seiring usia organisasi yang bersangkutan. Itulah sebabnya, rasa memiliki perlu senantiasa dipelihara dengan cara-cara yang tepat.

Namun sebaliknya, rasa memiliki itu bukan given, bukan pemberian. Tak bisa dipaksakan. Sebuah organisasi yang menghadapi fenomena demikian secara teori jelas menanggung resiko dan mempertaruhkan nasibnya secara tidak jelas. Maka upaya untuk menyelematkan diri tentu menjadi sebuah perjuangan yang teramat berat. Ada 2 (dua) hal yang menjadi prioritas dalam kasus ini, mempertahankan organisasi dan menyelematkan diri sendiri. Tapi menyelamatkan diri sendiri adalah perkara 1 orang, paling banyak 5 - 10 orang, yaitu keluarga yang dinafkahinya. Tapi nasib organisasi yang keberadaannya menyangkut masa depan bangsa ini, tentu jauh lebih prioritas, karena menyangkut harga diri dan martabat bangsa seluruhnya !

Selasa, 27 Juli 2010

HUMAS itu "RUMAH MODE"

Pada perhelatan Konvensi Nasional Humas (KNH) 2010 lalu hadir sebagai pembicara salah satunya adalah mantan Wapres RI, Jusuf Kalla, yang kini menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia. Tentulah, sebagai seorang negarawan dan tidak memiliki bekal akademis soal humas, JK punya pandangan tersendiri mengenai humas.

Pada hari Kamis, 22 Juli 2010, JK pun menyampaikan pandangannya tentang humas. Ada banyak hal menarik menyangkut pandangan JK tentang humas, antara lain :
  1. Humas yang terbaik adalah pengambil keputusan itu sendiri. Dalam hal ini, JK benar. Tapi menurut JK pemimpin adalah mengambil keputusan, humas tidak mungkin melakukan hal itu. Pemimpin memutuskan, humas yang melakukan. Well, untuk hal yang ini, JK tentu salah besaaaaaaaaaar !!! Ha3x ... wajar, beliau bukan cendekiawan humas, apalagi pakar komunikasi, namun beliau ahli berdebat & berpidato, itu pasti !
  2. Humas adalah "salon". Mengapa ? Katanya, humas memberikan sentuhan sehingga segala sesuatu menjadi bagus. Humaslah yang mengubah sesuatu yang tampaknya jelek jadi bagus, yang memang jelek jadi tidak terlalu jelek, yang sudah bagus jadi semakin bagus. Ha3x ... penggambaran sederhana yang ada benarnya. Tapi tentu, ada banyak hal lain yang lebih mendasar dari sekedar mempercantik bukan ?  
  3. Humas adalah "Rumah Mode". Ha3x ... kalau saat di awal pembukaan presentasinya beliau bilang humas adalah salon, di akhir presentasinya beliau katakan humas adalah rumah mode. Benang merah keduanya adalah, mempercantik, memperindah penampilan. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, walaupun ada benarnya namun masih ada hal lain yang lebih utama yang perlu diluruskan;
  4. Apapun yang dijual tidak akan berhasil bila tanpa tindakan. Betul, di sini JK bicara actuating, pelaksanaan. Secara ilmiah, humas adalah fungsi manajemen yang proses kerjanya diawali dengan perencanaan hingga evaluasi. Hebat, dengan pengalamannya yang seabrek JK paham soal itu;
  5. Buatlah langkahnya, baru juallah langkah itu ! Ha3x .. walaupun agak tidak runut, tapi JK tahu, bahwa memulai segala sesuatu adalah dari ide, rencana, program, baru dilaksanakan. Well, terasa bukan, bahwa humas merupakan salah satu fungsi manajemen !
JK juga menggambarkan keberhasilan kerja humas dalam kasus Bom Bali 1. Saat itu, pemerintah melakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut :
  1. Wujudkan rasa aman. Caranya dengan penempatan petugas polisi secara lebih proporsional sehingga menimbulkan rasa tentram di antara masyarakat dan wisatawan di Bali. Intinya, sesungguhnya adalah PROPAGANDA dengan maksud menjamin rasa aman;
  2. Menyediakan alat bagi personil keamanan secara tepat guna.Caranya dengan menambah alat komunikasi (HT), senjata api hingga kendaraan patroli. Intinya, ALAT;
  3. Bentuk Tim Krisis. Tepat, dalam setiap situasi genting, mutlak dibentuk tim krisis yang dapat berkomunikasi dan menyediakan informasi kapan saja 24 jam. Intinya, AKSES;
  4. Mengembalikan pasar. Caranya, meningkatkan wisatawan domestik sebagai daya tarik dengan kebijakan libur kejepit. Intinya, PROMOSI. Ibarat dagang, buy one get one. Satu hari libur nasional, berhadiah satu hari libur yang lain. Cemerlang !
  5. Liputan. Semua hal tersebut harus terekspos media dalam dan luar negeri sehingga proses recovery berjalan sesuai dengan harapan. Intinya, MEDIA RELATIONS, EKSPOS MEDIA
Berikutnya, JK menegaskan bahwa humas bertugas bagaimana hal baik dimengerti dengan baik, tidak disalahartikan. Menurutnya, humas memiliki tugas 3 (tiga) hal :
  1. to convince (meyakinkan)
  2. to persuade (mempengaruhi)
  3. to change (mengubah)
Secara teori, fungsi komunikasi memang meliputi 3 (tiga) tingkatan :
  1. Kognisi, memberitahu
  2. Afeksi, membentuk sikap
  3. Behavioural, mengubah perilaku
Ha3x ... ! Hebat 'kali bapak yang satu ini. Tak mengherankan beliau begitu cerdas dalam setiap debat capresnya beberapa waktu lalu, meskipun tidak berhasil memenangkan pilpres !

Kasus berikutnya yang dikupas oleh JK adalah kebijakan kenaikan harga BBM hingga 125% yang terhitung aman tanpa gejolak ! Kuncinya dalam setiap mengambil keputusan adalah 2 (dua) hal :
  1. Tahu betul background, latar belakang masalah
  2. Tahu betul kebijakan itu sendiri
Kembali lagi, bila mengacu pada teori, kedua alasan itulah sesungguhnya yang mendasari mengapa posisi humas harus berada pada TOP LEVEL MANAGEMENT ! Artinya, karena dalam posisi itulah humas dapat mengetahui setiap latar belakang keputusan yang diambil dan menguasai permasalahan itu sendiri.

Selanjutnya, JK berpendapat bahwa humas harus mampu menyampaikan hal baik tapi berdampak buruk, dengan cara yang tepat sehingga dapat dimengerti dan diterima dengan baik oleh publik. Strateginya :
  1. Kurangi resikonya;
  2. Buat kebijakan yang tepat;
  3. Kuasai teknologi;
  4. Kuasai masalah dan berani berdebat !
Sebagai penutup, JK menyampaikan 3 (tiga) hal penting yang harus diperhatikan para pelaku humas :
  1. Jangan berbohong !
  2. Convince berasal dari trust ! (Keyakinan timbul dari kepercayaan yang berhasil dibangun sebelumnya)
  3. Mengurangi effect (dampat) !
Demikianlah, pandangan seorang negawaran tentang humas. Dengan pengalamannya dalam dunia usaha dan sebagai politikus serta pejabat negara, pemahaman JK tentang humas tentu tidak terlalu buruk. He knows public relations by practice but not in science.

Kenyataannya, humas sebagai salah satu fungsi manajemen perannya tentu sangat berbeda dengan apa yang telah diungkapkan JK. Peran humas pada dasarnya adalah sangat strategis. Jadi, humas bukanlah pelaksana keputusan para pemimpin, tapi humas memang pengambil keputusan.

Selayaknya keberadaan humas secara organisatoris sebagai state of being, yaitu sebagai bagian yang telah melembaga dalam sebuah struktur organisasi maka humas memiliki syarat mendasar bagi optimalisasi kinerjanya, yaitu keberadaan pada pucuk pimpinan. Itulah sebabnya, keberadaan humas selayaknya adalah pada Top Level Management.

Persyaratan keberadaan humas secara keilmuan, saat ini telah terakomodir dalam SKKNI Bidang Kehumasan melalui Kep Menakertrans Nomor : 039/Menakertrans/II/2001 dengan klasifikasi jabatan humas meliputi :
  1. Humas Junior
  2. Humas Madya
  3. Humas Ahli
  4. Humas Manajerial
Keempat strata tersebut mensyaratkan tingkat penguasaan keahlian dari yang paling teknis sederhana hingga kemampuan konseptual yang kompleks. Jadi pekerjaan humas bukan sebatas pada kegiatan seremonial belaka tapi hingga proses pengambilan keputusan dan lobbying.

Artinya, peran humas bukan hanya mempercantik diri dari luar, tapi juga ibarat jamu yang mempercantik diri dari dalam dengan penguasaan berpikir strategis, terkonsep dan visioner.

Hikmah dari presentasi JK ini adalah, setidaknya para pelaku humas memiliki gambaran nyata tentang keberadaan humas yang sesungguhnya. Bila di mata negarawan sekelas mantan Wakil Kepala Negara saja, peran humas belum terlalui diketahui dengan baik, artinya pelaku humas Indonesia punya banyak hal yang harus dipikirkan ke depan.

Di satu sisi, bisa jadi kondisi tersebut menjadi early warning dan pelaku humas boleh merasa kecewa dengan minimnya pemahaman para pemimpin bangsa ini tentang peran humas yang sesungguhnya sangat besar. Namun di sisi yang lain, para pelaku humas menjadi tahu hal sebenarnya, seberapa serius permasalahan yang dihadapi oleh profesional humas selama ini sehingga dapat memotivasi para pelaku humas untuk lebih mengupayakan keberadaannya agar lebih diakui dengan peran yang jauh lebih strategis. Nah, semua ini kini berpulang pada Anda bukan ? Selamat berjuang !!!

Senin, 26 Juli 2010

HUMAS & NETWORK

Saat menghadiri sebuah luncheon talk menyoal kehumasan, seorang kawan bertanya "Apa sih manfaatnya mengikuti kegiatan-kegiatan atau organisasi-organisasi kehumasan seperti ini ?". Waduh, ya apa ya ? Pertanyaannya sederhana, tapi kok ya ga' ada jawabannya yang ... gimana gitu.

Seringkali, saat kita menghadiri atau mengikuti berbagai seminar, konvensi atau bergabung di organisasi, apa yang kita peroleh selama beraktivitas di sana memang tidak seberapa signifikan. Bisa jadi secara akademis, kita jauh lebih menguasai ilmunya, secara jam terbang, pengalaman kerja kita lebih senior, secara organisatoris keberadaan kita sudah eksis, lalu untuk apa, apa manfaatnya ? Mungkin itu sebabnya sahabat tadi bertanya ....

Network. Kadangkala kita lupa, bertemu dengan banyak orang hebat di waktu yang sama, seharian, atau berhari-hari, itu ... sebuah kesempatan yang langka ! Makanya, kalaupun berbagai manfaat yang disebut di atas itu tidak seberapa besar dapat diperoleh, tapi sesungguhnya menghadiri sebuah pertemuan profesional dalam kegiatan seminar, konvensi atau berorganisasi itu sangat berguna bagi pelaku humas untuk membangun jaringan (network) kerja.

Materi pertemuan bisa jadi tak seberapa, namun lobbying yang berhasil kita bangun selama acara berlangsung itulah nilainya ! Saat-saat seperti inilah para pelaku humas berpeluang untuk mempelajari banyak hal lain di luar dirinya sendiri, tanpa harus repot-repot menelepon, beranjang sana ke berbagai rapat (meeting) formal, berkirim surat resmi untuk menyanyakan informasi tertentu, yang semuanya itu makan waktu dan tidak praktis. Sebaliknya, dengan hadir dalam seminar satu - dua hari saja, kenalan baru bertambah, informasi mengenai banyak hal dari rekan sejawat yang hanya bisa ditemui melalui ajang seperti ini pun ter-up-date.

Sayangnya, banyak sekali di antara kita, saat memiliki kesempatan bagus ini justru berkumpul dengan koloninya sendiri dan sibuk be'reuni' dan bukan membicarakan sesuatu yang proggresif. Alhasil ya ... jaringan pun tidak bertambah. Bahkan ada kalanya peserta saat rehat pun menyendiri dan tidak berusaha membuka diri untuk mengenal peserta lain.

Don't judge the book by it cover, jangan menilai buku dari sampulnya, demikian pepatah mengatakan. Nah, itu pulalah yang sering terjadi saat kita berada dalam komunitas baru, sering terburu-buru menilai orang lain dari penampakan luarnya saja. Tidak terkecuali pelaku humas. Merasa diri sendiri sudah eksis, bekerja di perusahaan multi nasional, pertambangan, perminyakan, dst. dengan jabatan sudah oke, maka ga' mau lagi berinteraksi dengan orang lain.

Namun, fenomena seperti itu sangat lazim terjadi. Bahkan dalam lingkungan organisasi sendiri saja, seringkali saat kantor kita menerima tamu, para pejabat atau pemimpin perusahaan kita lebih memilih ngariung dengan koleganya sesama perusahaan ketimbang berbaur dengan para tamu dan tim-nya ! Maka, hal yang demikian itulah yang akhirnya kita pelajari, akibatnya kita jadi ga' gaul deh.

Membangun jaringan dalam tataran teknis itu adalah sebuah soft skill. Jadi mungkin tak ada pelajarannya selama di sekolah. Namun bukan orang humas namanya kalau tak mampu membangun jaringan. Jadi, jangan takut untuk out of box ! Kenalilah komunitas lain di luar sana. Ada banyak hal berharga yang perlu kita tahu dan pelajari di sana. Siapa tahu, dengan keberhasilan kita membangun jaringan, pada saatnya akan membawa kita kepada keberhasilan pula dalam berkarir.

Tips dalam membangun jaringan, antara lain :
  1. Lakukan ice-breaking, cairkan suasana dengan perkenalan dan dilanjutkan dengan topik pembicaraan yang universal;
  2. Segera bertukar identitas, siapkan kartu nama, bertukar nomor telepon, berteman dalam jejaring sosial dengan teman yang baru dikenal;
  3. Terus berhubungan, keep in touch, ini tidak mudah, tapi sangat penting diupayakan. Kenal saja tapi tidak dijaga silaturahminya, maka menjadi tak mesra !
  4. Bertukar pengalaman, pelajari kemajuan apa saja yang dimiliki kawan baru. Sebaliknya, cari tahu problema apa yang ditemuinya. Siapa tahu, pengalaman mereka dapat menjadi referensi kita dalam bekerja;
  5. Ingat baik-baik nama teman baru kita, wajarlah kalau manusia pengen ngetop. Serasa diri sendiri paling eksis sehingga lupa nama teman. Namun mengingat dengan baik nama teman adalah resep jitu mereka tetap menghargai anda !
  6. Bersikap ramah, bersahabat, toleran, pokoknya semua yang baik-baik dah ! 
  7. Hindari topik pembicaraan yang sensitif seperti SARA, politik dan penyakit/sakit;
Well, bukan hal yang sulit 'kan ? Pada dasarnya tips di atas merupakan tips yang sangat biasa. Tapi kadang kita terlupa bagaimana caranya. Jadi, selamat membangun jaringan sebanyak-banyaknya !

Senin, 19 Juli 2010

OKNUM PATWAL

Pertengahan Juli 2010 lalu, media masa diramaikan oleh tulisan pembaca di salah satu surat kabar nasional yang mengeluhkan oknum pengawal presiden. Sebuah insiden dialami oleh si penulis surat saat baru meninggalkan pintu tol Cibubur, bersamaan dengan iring-iring kendaraan Presiden SBY saat melewati kawasan yang sama dan tengah dalam perjalanan menuju Cikeas.

Intinya, dalam hiruk-pikuk itu si penulis yang ternyata adalah seorang pekerja media mengalami intimidasi dari salah satu oknum pengawal akibat kesalahpahaman. Intimidasi itu berlangsung selama sepuluh menit dan telah mengakibatkan anak sang jurnalis mengalami trauma. Padahal, insiden terjadi karena perkara kecil, kesalahpahaman, akibat perintah yang datang lebih dari satu orang oknum yang memerintah secara tumpang tindih, bertubi-tubi, ditujukan kepada si wartawan, dalam waktu yang bersamaan sehingga menimbulkan kebingungan. Wajar, siapapun yang mengalaminya tentu akan bingung dan panik. Akibat respon si penulis dengan kendaraannya atas aba-aba yang diperintahtahkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka sang petugas pun naik pitam dan terjadilah intimidasi itu dengan berbagai kata-kata kasar disertai ancaman.

Intinya dalam permasalahan ini, si wartawan merasa tidak nyaman dengan perlakuan si oknum karena telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan dengan intimidasinya tanpa memberikan kesempatan padanya untuk memberikan penjelasan. Sang wartawan pun dalam tulisannya menghimbau agar Presiden SBY lebih banyak tinggal di istana sehingga tidka menimbulkan hal demikian di kemudian hari.

Bagaimana respon istana ? Juru bicara presiden merespon secara normatif dan malah membeberkan prosedur protokoler pengawalan presiden secara teknis di berbagai kesempatan wawancara di televisi. Lalu, apa kata Presiden ? Masih menurut keterangan juru bicara Presiden, Presiden menginstruksikan untuk dilakukan investigasi lebih lanjut tentang insiden tersebut. Jadi, menyikapi hal ini tak usahlah bicara lagi kemuliaan hati presiden bahwa selama ini beliau sudah bangun cukup pagi untuk menyiasati kemacetan jalan raya, beliau sudah meminta agar prosedur waktu penutupan ruas jalan tidak terlalu lama, dan sebagainya. Bukannya rakyat tidak menghargai upaya yang sudah dilakukan Presiden. Tapi bukan dari sudut pandang atau pendekatan itu harapan akan penyelesaian masalah ini sebaiknya diupayakan. Akibatnya wacana yang muncul kini, adalah agar Presiden menggunakan helikopter, tapi bukankah itu menjadi biaya ? Dan, wacana itu tjelas idak populis di tengah persoalan ekonomi yang dihadapi bangsa selama ini.

Yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah ini adalah permohonan maaf dan empati, itu saja. Rakyat tidak mungkin memeras presidennya 'kan ? Lagi pula, rakyat pun tahu bahwa di negara manapun merupakan hal yang wajar bila presiden memiliki prosedur protokoler pengawalan. Persoalan dalam hal ini, yang utama adalah perlakuan oknum pengawal, bukan prosedur protokolernya. Bahwa persoalan ini telah memicu berbagai persoalan lainnya untuk segera diupayakan solusinya seperti kemacetan, transportasi publik, dll., silakan saja. Namun, jangan menggeser atau menafikan persoalan yang sebenarnya, yaitu intimidasi yang telah dialami sang wartawan.

Selain itu, sang penulis dengan besar hati dan sabar dalam tulisannya pun telah mencarikan jalan keluar, yaitu dengan himbauannya agar Presiden lebih banyak beraktivitas di istana, supaya tidak mengganggu perjalanan warga masyarakat di sekitar kediaman pribadi sang presiden. Artinya, juru bicara presiden pun sebaiknya tidak perlu bersikap defensif dalam penjelasannya. Apalagi dengan gestur atau mimik muka yang nyaris datar tanpa empati sama sekali.

Mungkin, inilah yang menarik dari bangsa ini. Seperti ungkapan sinis yang kita kenal selama ini, "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah ?" Begitulah, alhasil dalam penyelesaian masalah yang sesungguhnya tidak perlu berplolemik berkepanjangan pun menjadi ... lebay. Iya gak ?

BERKUNJUNG KE ISTANA MERDEKA


Persis sebulan sebelum perayaan hari kemerdekaan RI yang ke-65, saya berkesempatan mengunjungi Istana Merdeka. Seperti yang telah dipublikasikan di sejumlah media massa, Istana Merdeka pada setiap akhir pekannya membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkunjung dan mengenal situasi Istana Merdeka secara lebih dekat.

Berikut ini adalah tahapan penyelenggaraan Open House ala Istana :
  1. Pendaftaran, setiap pengunjung diwajibkan mendaftar dan menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP). Meja pendaftaran berada di halaman istana sisi barat yang menghadap jalan raya ke arah Harmoni, di sebuah tenda bujur sangkar berwarna putih, tidak jauh dari pintu masuk komplek Istana; 
  2. Sterilisasi, setelah mendaftarkan diri dan menyerahkan KTP calon pengunjung diminta menunggu giliran. Beberapa tenda dan kursi disediakan di halaman parkir tak jauh dari meja pendaftaran. Bila nama Anda telah dipanggil, calon pengunjung akan dipersilakan masuk ruang tunggu. Di ruang ini, seluruh calon pengunjung diminta menitipkan semua barang bawaannya di loker yang telah tersedia. Pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera, telepon seluler dan makanan-minuman juga tas. Jadi semua pengunjung hanya diperkenankan berjalan melenggang tanpa bawaan apapun;
  3. Perjalanan menuju istana, setelah melalui pintu pemindai meninggalkan ruang sterilisasi atau ruang tunggu, seluruh pengunjung berangkat menuju Istana Merdeka dengan menumpang bis berpendinging udara yang telah disediakan, khusus untuk mengangkut para pengunjung dari dan menuju Istana Merdeka;
  4. Ruang Audio Visual, adalah area pertama yang disambangi pengunjung. Di Gedung Serba Guna yang memuat sekitar 300 orang ini, sejumlah pengunjung dari berbagai kelompok maupun individu dikumpulkan untuk menyaksikan profil audio visual atau film dokumenter mengenai Komplek Istana Merdeka & Istana Negara.
  5. Menyusuri halaman serambi barat, Pengunjung meninggalkan Gedung Serba Guna dalam beberapa kelompok berbeda masing-masing dipandu oleh seorang pemandu dengan berjalan kaki. Diawali dengan berbaris seluruh pengunjung menyusuri halaman serambi barat menuju pintu utama Istana Merdeka dengan 16 anak tangga.
  6. Foto Kabinet, seluruh pengunjung berkesempatan untuk berfoto dengan posisi layaknya foto kabinet para menteri yang selalu berfoto di tangga istana. Riuh rendahlah suara para pengunjung tentang khayalanannya, itu pasti ! Dan semua pun merasa senang ....  
  7. Red Carpet, Pengunjung memasuki Istana melalui pintu masuk tengah istana di atas gelaran karpet merah khusus pengunjung, yang diletakan di atas & membelah hamparan karpet besar yang memenuhi sebagian besar lantai ruang Istana bagian depan. Sepanjang red karpet pengunjung 'berpagar' untaian rantai berbungkus beludru. Di dalam Istana Merdeka, pengunjung berjalan menyusuri ruang depan, ruang tengah hingga ruang belakang yang lebih seperti 'foye' menuju pintu keluar. Di atas red karpet yang sempit inilah pengunjung dapat menimati setiap detil isi istana, baik ruang-ruang kerja yang pintunya sengaja dibuka lebar-lebar agar dapat disaksikan keanggunannya oleh pengunjung, maupun berbagai koleksi cenderamata yang dimiliki istana dari dalam maupun luar negeri. Selama dalam Istana Merdeka, bagi yang membawa anak kecil sebaiknya ekstra hati-hati karena banyak terdapat barang pecah belah yang mudah pecah juga lukisan pelukis-pelukis terkenal yang diletakan bersandar di dinding di atas lantai;
  8. Menyusuri Taman, Pengunjung berjalan dalam koridor panjang yang mengelilingi taman dan menghubungkan Istana Merdeka dengan Istana Negara. Di sepanjang koridor tersebut terpampang gambar-gambar ukuran besar yang memperlihatkan kegiatan Presiden dan sedikit dokumentasi tentang berbagai kemajuan yang telah dicapai Bangsa ini hingga foto keluarga Presiden.
  9. Kunjungan berakhir, perjalanan di koridor berujung hingga pintu keluar sekaligus titik awal saat pengunjung memulai perjalanan napak tilasnya di kompleks istana. Di sebuah meja di pintu keluar telah disediakan air mineral dalam gelas bagi setiap pengunjung yang melewatinya. Pengunjung pun kembali ke ruang sterilisasi menumpang bis yang bergantian menurunkan dan menaikan pengunjung, di tempat berbeda saat pengunjung mengawali rangkaian kunjungungan;
  10. Pemandu, pemandu yang bertugas adalah pemandu wanita yang berasal dari kepolisian. Berbaju batik, bertopi anyam dan berpenampilan kasual, setiap petugas memandu lebih dari 60 orang. Pemandu dilengkapi toa yang digantungkan di bahu. 
  11. Dokumentasi, disediakan oleh pihak istana.

DISKUSI
Secara umum, prosedur penyelenggaraan open house ala Istana Merdeka cukup normatif, dalam arti selain faktor sterilisasi bagi keamanan istana terjamin, kenyamanan bagi para pengunjungnya pun cukup layak. Namun tidak ada salahnya mendiskusikan dan membandingkan prosedur penyelenggaraan open house di berbagai tempat lainnya demi penyempurnaan pelayanan bagi para pengunjung yang notabene adalah pemilik bangsa ini, termasuk pula istananya.
  1. Ruang Audio Visual, Di ruang ini, barisan kursi terbagi dalam 3 kelompok baris besar dan sebuah layar lebar sebagai medium untuk menyaksikan film dokumenter. Uniknya petugas lebih mengarahkan pengunjung untuk mengisi penuh setiap baris terlebih dulu, bukan mengisi bagian paling depan di setiap barisnya. Lazimnya, siapa yang datang paling awal adalah menempati posisi paling depan. Memang, bagi mereka yang berkunjung dalam suatu kelompok dapat melanjutkan kegiatan senantiasa dalam kelompoknya. Tapi di sisi lain alhasil, pengunjung yang datang lebih awal belum tentu mendapatkan posisi terbaik atau paling belakang. Permasalahannya adalah pada ketersediaan media tayang yang layak baik secara kualitas maupun kuantitas bagi pengunjng yang jumlahnya cukup besar & memenuhi Gedung Serba Guna. Jumlah kursi yang berderet hingga lebih dari sepuluh dan sebuah layar lebar tentu membuat pengunjung tidak merasa nyaman dalam menyaksikan film dokumenter yang ditayangkan. Kuncinya adalah pada pembagian kelompok dalam jumlah yang mengutamakan kenyamanan dan efisiensi proses kunjungan;
  2. Pemandu, Seorang petugas memandu sekelompok pengunjuk berjumlah lebih dari 50 orang tentu tidak efisien, apalagi nyaman. Terlebih lagi saat memasuki dalam gedung Istana Merdeka dengan area gerak sangat sempit & terbatas, membuat informasi yang disampaikan pemandu hanya dapat disimak secara baik oleh mereka yang berada di depan. Artinya, perbandingan jumlah pengunjung dengan jumlah pemandu harus dicermati dan diperhitungkan dengan baik agar penyelenggaraan open house dapat memuaskan dan tidak sia-sia bagi pengunjung. Petugas yang berasal dari kepolisian menyebabkan pendekatan personal yang dilakukan tidak seluwes bila petugas yang memandu berasal dari kalangan profesional. Pengunjung yang datang dari berbagai kalangan tentu tidak pas bila diminta berbaris di cuaca panas Kota Jakarta yang terik;
  3. Alat Bantu, Di tengah kemajuan teknologi saat ini, tentu alat komunikasi yang lebih canggih sangat membantu kelancaran dan kenyamanan penyelenggaraan kegiatan open house. Tidak saja bagi pemandu, utamanya tentu bagi pengunjung. Dengan alat pengeras suara model toa, pemandu terpaksa berjalan dengan cara mundur. Sementara saat di dalam gedung Istana sejumlah pengeras suara ukuran besar ditempatkan di berbagai titik. Bila, pemandu dibekali dengan alat pengeras suara wireless dengan bantuan frekuensi atau modulasi tertentu, tentu akan jauh lebih mudah. Sementara alat pengeras suara terpasang secara permanen di dinding atau langit-langit istana secara aman. Alat semacam ini sudah sangat lazim digunakan oleh PR (public relations) di berbagai perusahaan saat menghelat open house;
  4. Dokumentasi, bila pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera tentu akan bijaksana bila tuan rumah menyediakan gantinya. Minimal, jumlah petugas dokumentasi yang sesuai dengan jumlah pengunjung, dalam arti mampu melayani pengunjung. Selain itu, hasilnya pun dapat segera dicetak di tempat sehingga pengunjung dapat memiliki kenang-kenangan saat berkunjung ke istana yang tidak dapat disambangi setiap hari. Di jaman teknologi maju saat ini, langsung mengkopi gambar secara digital mestinya bukan perkara sulit lagi. Lagi pula, pengunjung tidak perlu mengeluarkan biaya mahal ntuk membeli foto hasil cetak yang belum tentu awet;
  5. Foto Kabinet, jumlah pengunjung dalam kelompok yang terlalu besar menyebabkan hasil foto kabinet tentu tidak menarik karena berdesak-desakan. Kuncinya, sekali lagi pengelompokan pengunjung dalam jumlah yang tepat sangat menentukan kenyamanan dan kepuasan pengunjung serta kemudahan petugas dalam mengatur kelompoknya;
  6. Minuman & Kudapan, Lazimnya, perusahaan yang menyelenggaran open house menyediakan kudapan dan minuman bagi para pengunjungnya. Bahkan ada pula perusahaan yang berbaik hati menyediakan makan siang. Mengapa, karena tidak semua pengunjung berasa dari kawasan dekat istana. Bisa jadi pengunjung datang dari tempat yang jauh, sebagai etika tentu menyediakan kudapan dan minuman bagi anggaran istana bukanlah sesuatu yang berlebihan;
  7. Cenderamata, tidak harus mahal yang penting berkesan. Walaupun di ruang sterilisasi juga tersedia penjualan cenderamata, tentu akan berbeda bila istana juga memberikan cenderamata sederhana bagi setiap pengunjungnya, misalnya sticker bergambar istana yang dapat menimbulkan kebanggaan dan menumbuhkan lagi rasa nasionalis bagi setiap pengunjung sebagai warga negara; 
  8. Evaluasi, tak ada salahnya melakukan evaluasi terhadap kegiatan open house yang telah dilakukan. Salah satu proses evaluasi yang mudah adalah melakukan audit humas. Dengan melakukan audit di setiap kelompok pengunjung dan dalam periode tertentu, maka istana dapat mengetahui respon & penilaian pengunjung atas penyelenggaran open house selama ini.
Bagaimanapun penyelenggaraan sebuah kegiatan humas dalam hal ini open house memerlukan anggaran. Maka seyogyanya memang direncanakan dengan baik dan matang, diatur dengan selaras pada setiap tahapannya, diselenggarakan dengan tertib dan profesional, serta dievaluasi untuk melakukan perbaikan. Kegiatan Humas sekali lagi bukan bicara cost centre, tapi investasi. Ya, public relations merupakan sebuah investasi. Sebagai sebuah investasi, kegiatan public relations tentu dapat diperhitungkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila organisasi anda belum bisa melakukan perhitungan atas kegiatan public relations di organisasi anda, pertanyaannya adalah, "Apakah organisasi anda sudah menempatkan orang yang tepat dan kompeten tentang profesi serius ini ?" Well, tidak ada kata terlambat. Selamat berbenah diri !

Senin, 05 Juli 2010

KONVENSI PERHUMAS

Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) mengadakan Konvensi Nasional (KNH) Perhumas 2010 pada Selasa - Kamis, 20 - 22 Juli 2010 di Jakarta. KNH Perhumas merupakan program tahunan yang diselenggarakan Perhumas di berbagai kota besar di Indonesia secara bergantian.

Tema KNH Perhumas 2010 adalah "Empowering Public Relations Excellence" dan rencananya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menyampaikan sambutan resmi bertempat di Istana Merdeka, Jl. Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

KNH Perhumas juga akan menghadirkan Menteri BUMN, Mustafa Abubakar dan Menkominfo, Tifatul Sembiring serta sejumlah praktisi, CEO dari berbagai perusahaan nasional & multinasional yang beroperasi di Indonesia. Rangkaian acara KNH diakhiri dengan kunjungan ke salah satu stasiun televisi terkemuka di Indonesia.

Semoga, KNH Perhumas 2010 dapat menjadi media pencerahan bagi para praktisi dan cendekiawan humas Indonesia agar dapat memposisikan keberadaannya sebagai profesional yang bermutu di bidangnya. Tidak hanya itu, para profesional humas pun mampu memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui rekomendasi-rekomendasinya yang obyektif dan aplikatif.