Senin, 19 Juli 2010

OKNUM PATWAL

Pertengahan Juli 2010 lalu, media masa diramaikan oleh tulisan pembaca di salah satu surat kabar nasional yang mengeluhkan oknum pengawal presiden. Sebuah insiden dialami oleh si penulis surat saat baru meninggalkan pintu tol Cibubur, bersamaan dengan iring-iring kendaraan Presiden SBY saat melewati kawasan yang sama dan tengah dalam perjalanan menuju Cikeas.

Intinya, dalam hiruk-pikuk itu si penulis yang ternyata adalah seorang pekerja media mengalami intimidasi dari salah satu oknum pengawal akibat kesalahpahaman. Intimidasi itu berlangsung selama sepuluh menit dan telah mengakibatkan anak sang jurnalis mengalami trauma. Padahal, insiden terjadi karena perkara kecil, kesalahpahaman, akibat perintah yang datang lebih dari satu orang oknum yang memerintah secara tumpang tindih, bertubi-tubi, ditujukan kepada si wartawan, dalam waktu yang bersamaan sehingga menimbulkan kebingungan. Wajar, siapapun yang mengalaminya tentu akan bingung dan panik. Akibat respon si penulis dengan kendaraannya atas aba-aba yang diperintahtahkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka sang petugas pun naik pitam dan terjadilah intimidasi itu dengan berbagai kata-kata kasar disertai ancaman.

Intinya dalam permasalahan ini, si wartawan merasa tidak nyaman dengan perlakuan si oknum karena telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan dengan intimidasinya tanpa memberikan kesempatan padanya untuk memberikan penjelasan. Sang wartawan pun dalam tulisannya menghimbau agar Presiden SBY lebih banyak tinggal di istana sehingga tidka menimbulkan hal demikian di kemudian hari.

Bagaimana respon istana ? Juru bicara presiden merespon secara normatif dan malah membeberkan prosedur protokoler pengawalan presiden secara teknis di berbagai kesempatan wawancara di televisi. Lalu, apa kata Presiden ? Masih menurut keterangan juru bicara Presiden, Presiden menginstruksikan untuk dilakukan investigasi lebih lanjut tentang insiden tersebut. Jadi, menyikapi hal ini tak usahlah bicara lagi kemuliaan hati presiden bahwa selama ini beliau sudah bangun cukup pagi untuk menyiasati kemacetan jalan raya, beliau sudah meminta agar prosedur waktu penutupan ruas jalan tidak terlalu lama, dan sebagainya. Bukannya rakyat tidak menghargai upaya yang sudah dilakukan Presiden. Tapi bukan dari sudut pandang atau pendekatan itu harapan akan penyelesaian masalah ini sebaiknya diupayakan. Akibatnya wacana yang muncul kini, adalah agar Presiden menggunakan helikopter, tapi bukankah itu menjadi biaya ? Dan, wacana itu tjelas idak populis di tengah persoalan ekonomi yang dihadapi bangsa selama ini.

Yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah ini adalah permohonan maaf dan empati, itu saja. Rakyat tidak mungkin memeras presidennya 'kan ? Lagi pula, rakyat pun tahu bahwa di negara manapun merupakan hal yang wajar bila presiden memiliki prosedur protokoler pengawalan. Persoalan dalam hal ini, yang utama adalah perlakuan oknum pengawal, bukan prosedur protokolernya. Bahwa persoalan ini telah memicu berbagai persoalan lainnya untuk segera diupayakan solusinya seperti kemacetan, transportasi publik, dll., silakan saja. Namun, jangan menggeser atau menafikan persoalan yang sebenarnya, yaitu intimidasi yang telah dialami sang wartawan.

Selain itu, sang penulis dengan besar hati dan sabar dalam tulisannya pun telah mencarikan jalan keluar, yaitu dengan himbauannya agar Presiden lebih banyak beraktivitas di istana, supaya tidak mengganggu perjalanan warga masyarakat di sekitar kediaman pribadi sang presiden. Artinya, juru bicara presiden pun sebaiknya tidak perlu bersikap defensif dalam penjelasannya. Apalagi dengan gestur atau mimik muka yang nyaris datar tanpa empati sama sekali.

Mungkin, inilah yang menarik dari bangsa ini. Seperti ungkapan sinis yang kita kenal selama ini, "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah ?" Begitulah, alhasil dalam penyelesaian masalah yang sesungguhnya tidak perlu berplolemik berkepanjangan pun menjadi ... lebay. Iya gak ?

Tidak ada komentar: