Senin, 13 Desember 2010

KEISTIMEWAAN YOGYA

Sejak ide SBY digulirkan menyoal keistimewaan Yogyakarta yang dianggapnya monarki, isu pun kini telah meninggalkan fase pro dan kontra. Hari ini, DPRD 1 DIY mengadakan sidang terbuka bersama ribuan masyarakat Yogyakarta untuk menentukan sikap atas isu keistimewaan Yogyakarta.

Hasilnya, 6 dari 7 fraksi DPRD 1 Yogyakarta secara tegas menyatakan sikapnya menghendaki penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-X dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Ketegasan sikap DPRD 1 dan ribuan masyarakat Yogyakarta menggambarkan dengan jelas layaknya perjalanan sebuah isu pada teori Agenda Setting yang tengah bergulir hingga klimaknya di akhir (lihat http://www.firllydiahrespatie.blogspot.com/).

Sejak fase pertama kali isu keistimewaan muncul, fase pro dan kontra yang menimbulkan berbagai reaksi opnion leader, kini perjalanan isu ini telah memasuki fase pengambilan keputusan oleh elit. Setidaknya, elit pada level middle telah menetapkan sikapnya. Kini tinggal menunggu elit pusat, apa keputusannya.

DISKUSI KABAR PETANG TV ONE
Diskusi kabar petang TV One sore ini menghadirkan Prof. Edi S, seorang keponakan Sultan yang juga ketua DPRD 1 DI Yogyakarta, Yoeko Indra Agung Laksana dan seorang ipar Sultan menyuguhkan perdebatan yang menarik. Sebagai seorang akademisi, jelas pandangan Prof. Edi sangat berimbang dan linier, apa adanya. Maka wajar bila beliau mengatakan bahwa "Gubernur harus kompatibel, artinya jabatan Gubernur memiliki persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh seluruh Gubernur di Indonesia. Turun-temurun tak jadi soal, asalkan tetap kompatibel itu tadi, memenuhi syarat kelayakan." Lebih jauh Prof. Edi juga mempertanyakan atau mungkin mengajak untuk bersama-sama mencari tahu dan memastikan kembali letak kesitimewaan Yogyakarta itu ada di mana ?

Menanggapi hal itu, keruan saja baik keponakan maupun ipar Sri Sultan menyatakan "sangat tidak setuju." Yang tak kalah penting dan perlu dipahami dalam persoalan ini adalah bahwa masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta memaknai kedua Rajanya itu sebagai "satria kembar" yang dicintai rakyatnya, dan sejarah telah membuktikan hal itu. Pada prinsipnya, Sultan sebagai raja bersifat monarki hanya sebatas tembok keraton. Namun sebagai Gubernur dan Kepala Pemerintahan, Sultan layaknya warga negara biasa, tanpa 'keistimewaan" apa-apa.

Menanggapi publikasi media massa khususnya TV One soal "Maklumat 5 September 1945" ipar Sri Sultan pun secara tegas mengoreksi bahwa pernyataan 5 September 1945 itu adalah amanat bukan maklumat. Beliau mengingatkan bahwa amanat dan maklumat adalah dua hal yang sangat berbeda maknanya.

Pandangan Prof. Edi S tersebut juga bisa disalahtafsirkan seakan-akan keberadaan kedua Raja yang memipin pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini tidak kompeten.

OPINI LEADER
Sudah banyak tokoh berbicara menanggapi ide SBY menyoal pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ini. Tak kurang dari Presiden ke-3 RI, BJ. Habibie pun mengomentari dan menyayangkan polemik ini. Daoed Jusuf, mantan Mendikbud yang orang Aceh kelahiran Medan itu, dalam surat kabar nasional Senin, 32 Desember 2010 tegas mengatakan, "Yang istimewa itu daerahnya, bukan orangnya !" Sementara Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim tak kalah pedas berkomentar, "Jangan menggaruk yang tidak gatal, jangan membuat gejolak sosial yang dampaknya sulit dikontrol." Masih di harian yang sama, Pramono Anung menilai, "Yang membuat resah masyarakat Yogyakarta bukan semata gubernur dipilih atau ditetapkan., tapi mereka menagih komitmen antara Sultan HB IX dan Bung Karno dalam pendirian Republik Indonesia." Pramono juga menilai bahwa kalangan Istana seolah tidak memiliki alternatif lain kecuali pemilihan Gubernur Yogyakarta.

Komentar berbagai elemen masyarakat lokal Yogyakarta dan berbagai daerah lainnya bisa jadi dianggap subyektif. Namun pandangan para opinion leader tentu merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sementara sikap rakyat Yogyakarta hari demi hari semakin nyata dengan keinginannya. Berhentinya para pedagang pasar Bringharjo pada rapat paripurna DPRD 1 DIY Senin lalu merupakan sikap spontan.

Konon, demokrasi itu adalah alat, bukan tujuan. Yang menjadi tujuan adalah kepentingan rakyat, kesejahteraan dan kemakmurannya. Bila keinginan rakyat sudah demikian jelas, tegas, lugas begini, bukankah ini sebuah mufakat dari sebuah proses demokrasi. Bila pemimpin tidak juga menganggap itu sebagai sebuah pendapat yang nyata, maka sesungguhnya siapa yang tidak demokratis ? Pemimpin ataukah rakyatnya ?

Minggu, 12 Desember 2010

PROFESIONALISME KONSULTAN

Suatu masa sekitar tahun 2003-2004, sebuah perusahaan plat merah memutuskan untuk menggandeng sebuah konsultan humas dan media. Agendanya apa, tampaknya tidak terlalu jelas bagi para pelaksana yang berada di tingkat pelaksana. Pasalnya, secara organisatoris bagian humas di perusahaan plat merah itu keberadaannya secara struktural ada di unit kedua terendah, namun bertanggung jawab langsung kepada top level management. Nah soal gandeng-menggandeng konsultan itu rupanya keputusan top level management. Wajar bila para pelaksana di bagian humas itu tak tahu menahu secara detil kepentingan konsultan humas itu direkrut.

Yang pasti, konsultan humas tersebut menempatkan stafnya dua kali dalam seminggu di perusahaan. Tugasnya yang nampak adalah media monitoring. Hasil kerjaannya berupa kliping mingguan yang formatnya biasa-biasa saja dan tidak lebih baik dari format yang telah dilakukan oleh perusahaan. Yang lebih menyedihkan lagi, tampaknya sang konsultan tidak belajar tentang profil clientnya dengan cepat dan seksama. Alhasil, jadilah hasil kerjaan mereka berupa 'media monitoring' itu berupa kliping sederhana yang tidak lebih baik, dengan isi yang tidak ada relevansinya dengan kegiatan dan keberadaan perusahaan clientnya itu. Fatal bukan ?

Belum lagi, sang petugas konsultan yang berkantor di perusahaan plat merah itu, seringkali datang bercelana jeans, bertas punggung, bersepatu olah raga bertali tanpa kaos kaki dan berpakaian sangat kasual. Padahal, perusahaan plat merah itu kebetulan memiiki peraturan yang sangat konservatif, termasuk soal pakaian. Dalam hal ini, jelas sang konsultan tidak menghargai aturan main yang berlaku di perusahaan clientnya.

Lain kesempatan, sebuah perusahaan plat merah juga mengundang konsultan untuk berbagi informasi mengenai sesuatu hal. Pada hari yang dijanjikan, yang datang adalah petugas-petugas muda usia dua puluhan. Mereka berpakaian kasual, berkaos yang miring kanan miring kiri, bercelana jeans, bersepatu datar yang juga sangat kasual, rambut tidak tersisir rapi, tidak bermake up pantas. Saat pertemuan dimulai, para petugas itu hanya mengeluarkan catatang kecil berupa bloknote dan berdiskusi tanpa presentasi !

Penampilan memang bukan segalanya. Tapi sopan santun, etika tetap nomor satu. Kesiapan berjualan pun menjadi modal. Bila semua hal ini tidak terpenuhi, lalu bagaimana para konsultan ini akan mendapatkan pekerjaan dari para calon pengguna jasanya ?

Kadang, hal sepele seperti ini terabaikan oleh perusahaan-perusahaan konsultan. Padahal konsultan-konsultan tersebut memiliki CEO yag sangat berkelas. Sayangnya, kadang mereka belum tentu mampu menularkan keilmuannya yang berkelas itu kepada para prajuritnya. Keputusannya dalam menentukan petugas yang datang kepada calon pengguna jasa juga sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Mendatangkan petugas yang tidak rapi dan tanpa persiapan ke perusahaan besar tentu sangat beresiko terhadap hilangnya peluang. Kecuali para perusahaan konsultan itu memang tidak tertarik untuk melayani perusahaan yang mengundang.