Kamis, 31 Maret 2011

BUDAYA PERUSAHAAN vs PERILAKU PEMIMPIN

Seorang petugas pengamanan internal sebuah perusahaan suatu siang menghardik seorang perempuan muda, pegawai perusahaan seraya berteriak. Katanya, "Hai kamu, anak kecil, pegawai baru, mau ke mana kamu ?" hardiknya kasar dari kejauhan disaksikan pegawai yang lalu lalang di halaman kantor. Perusahaan itu, bisa jadi punya aturan tertentu yang mengatur keluar masuknya pegawai. Namun, pantaskan bila caranya demikian ?

Sementara yang terjadi di ruang kerja tak jauh beda. Seorang atasan memanggil anak buahnya dengan tak kalah kasar. Dari kursi kerja di ruangannya sang atasan memanggil anak buahnya sambil bertepok-tepok tangan seperti memangil tukang bakso. Si atasan dengan intonasi tinggi berteriak kencang "Hai, fulana, fulana, kamu berkoordinasi sama pejabat fulan dong !" lantaran rekan sejawat sesama atasan tidak mampu berkomunikasi dan mengarahkan anak buah dengan baik. Alhasil, si rekan bukannya berkoordinasi dengan anak buah tapi justru kembali menghampiri yang bersangkutan.

Tak kuasa menumpahkan kekesalan pada rekan sejawat, maka anak buahlah yang menjadi pelampiasan. Bagaimana sang anak buah bisa berkoordinasi bila tak tahu apa yang hendak dikoordinasikan. Namun yang lebih mendasar permasalahannya adalah, pantaskan berkomunikasi dengan cara yang demikian ? Selain tidak sopan, perilaku seperti ini tergolong bullying, pelecehan, kekerasan secara mental terhadap orang lain.

Lain kesempatan, seorang CEO menegur keras seorang Direktur Muda, lantaran anak buah di jajarannya tidak bertegur sapa dengan sang CEO saat berlangsung makan siang ! Menurutnya, anak buah itu tidak tahu sopan santun lantaran tidak menegur sang CEO ! Padahal, bisa jadi sang anak buah tidak berani menegur karena hambatan psikologis, sebagai seorang proletar terhadap pemimpinnya. Namun sekali lagi, pantaskah 'permasalahan' yang demikian ini disikapi dengan cara yang seperti ini ?

Perilaku para pemimpin yang demikian ... tentu sangat mempengaruhi iklim organisasi atau perusahaan. Sebaliknya, aturan perusahaan yang tidak manusiawi dapat mempengaruhi perilaku para pegawai di dalamnya, sehingga mempengaruhi iklim organisasi menjadi tidak manusiawi pula.

Sang perempuan muda yang dihardik dengan keras oleh petugas pengamanan pun merasa sangat dipermalukan di depan orang banyak dan tidak nyaman dengan perilaku seperti itu. Sementara si Fulana yang dipanggil sang atasan dengan cara yang sangat tidak sopan pun melakukan aksi boikot berhari-hari dengan banyak alasan.

Keberadaan humas sebagai salah satu fungsi manajemen, sesungguhnya pada tataran yang sangat strategis, salah satunya yaitu membangun budaya perusahaan yang kondusif. Bila keberadaan humas hanya difungsikan sebagai pelaksana kegiatan seremonial maka penyimpangan-penyimpangan perilaku yang demikian ini akan semakin mengkristal menjadi budaya organisasi yang sulit untuk dikoreksi.