Minggu, 12 Desember 2010

PROFESIONALISME KONSULTAN

Suatu masa sekitar tahun 2003-2004, sebuah perusahaan plat merah memutuskan untuk menggandeng sebuah konsultan humas dan media. Agendanya apa, tampaknya tidak terlalu jelas bagi para pelaksana yang berada di tingkat pelaksana. Pasalnya, secara organisatoris bagian humas di perusahaan plat merah itu keberadaannya secara struktural ada di unit kedua terendah, namun bertanggung jawab langsung kepada top level management. Nah soal gandeng-menggandeng konsultan itu rupanya keputusan top level management. Wajar bila para pelaksana di bagian humas itu tak tahu menahu secara detil kepentingan konsultan humas itu direkrut.

Yang pasti, konsultan humas tersebut menempatkan stafnya dua kali dalam seminggu di perusahaan. Tugasnya yang nampak adalah media monitoring. Hasil kerjaannya berupa kliping mingguan yang formatnya biasa-biasa saja dan tidak lebih baik dari format yang telah dilakukan oleh perusahaan. Yang lebih menyedihkan lagi, tampaknya sang konsultan tidak belajar tentang profil clientnya dengan cepat dan seksama. Alhasil, jadilah hasil kerjaan mereka berupa 'media monitoring' itu berupa kliping sederhana yang tidak lebih baik, dengan isi yang tidak ada relevansinya dengan kegiatan dan keberadaan perusahaan clientnya itu. Fatal bukan ?

Belum lagi, sang petugas konsultan yang berkantor di perusahaan plat merah itu, seringkali datang bercelana jeans, bertas punggung, bersepatu olah raga bertali tanpa kaos kaki dan berpakaian sangat kasual. Padahal, perusahaan plat merah itu kebetulan memiiki peraturan yang sangat konservatif, termasuk soal pakaian. Dalam hal ini, jelas sang konsultan tidak menghargai aturan main yang berlaku di perusahaan clientnya.

Lain kesempatan, sebuah perusahaan plat merah juga mengundang konsultan untuk berbagi informasi mengenai sesuatu hal. Pada hari yang dijanjikan, yang datang adalah petugas-petugas muda usia dua puluhan. Mereka berpakaian kasual, berkaos yang miring kanan miring kiri, bercelana jeans, bersepatu datar yang juga sangat kasual, rambut tidak tersisir rapi, tidak bermake up pantas. Saat pertemuan dimulai, para petugas itu hanya mengeluarkan catatang kecil berupa bloknote dan berdiskusi tanpa presentasi !

Penampilan memang bukan segalanya. Tapi sopan santun, etika tetap nomor satu. Kesiapan berjualan pun menjadi modal. Bila semua hal ini tidak terpenuhi, lalu bagaimana para konsultan ini akan mendapatkan pekerjaan dari para calon pengguna jasanya ?

Kadang, hal sepele seperti ini terabaikan oleh perusahaan-perusahaan konsultan. Padahal konsultan-konsultan tersebut memiliki CEO yag sangat berkelas. Sayangnya, kadang mereka belum tentu mampu menularkan keilmuannya yang berkelas itu kepada para prajuritnya. Keputusannya dalam menentukan petugas yang datang kepada calon pengguna jasa juga sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Mendatangkan petugas yang tidak rapi dan tanpa persiapan ke perusahaan besar tentu sangat beresiko terhadap hilangnya peluang. Kecuali para perusahaan konsultan itu memang tidak tertarik untuk melayani perusahaan yang mengundang.

Tidak ada komentar: