Minggu, 09 Oktober 2011

Camar Bulan

Malingsia merampok lagi. Indonesia melakukan kesalahan lagi.

Perebutan wilayah perbatasan pada banyak kasus sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan perekonomian masyarakat di garis tersebut. Pembangunan yang tidak merata atau tidak proporsional, sangat mempengaruhi rentannya masalah di sejumlah wilayah perbatasan.

PENJAJAHAN EKONOMI
Persoalan perebutan wilayah perbatasan NKRI oleh malingsia pada kasus sebelumnya seperti Sipadan & Ligitan menjadi lebih rumit karena malingsia melakukan kekuasaan secara ekonomi pada masyarakat Indonesia di sana. Faktanya, masyarakat Indonesia di perbatasan lebih nyaman ke pasar yang berada di negara tetangga ketimbang di wilayah NKRI. Akibatnya tentu, rakyat lebih sering menggunakan mata uang negara tetangga ketimbang Rupiah. Bagaimana tidak, karena belanjanya di negara tetangga maka alat pembayarannya pun menggunakan mata uang negara tetangga.

Mata uang sebuah negara adalah salah satu bentuk simbol kedaulatan sebuah negara merdeka, selain bendera dan lambang negara. Salah satu blue print yang pernah dipresentasikan Bank Indonesia selaku bank sentral pada suatu kesempatan di tahun 2009 lalu pun menyinggung hal ini. Bahwa sedikitnya ada 7-9 wilayah perbatasan di seluruh Indonesia yang mengalami krisis pengadaan uang Rupiah di sana.

Bayangkan, bila secara ekonomi pengadaan infrastruktur dan kebutuhan bahan pokok tidak terpenuhi saja sudah bisa menjadikan masyarakat perbatasan berpaling apalagi bila keberadaan alat pembayaran yang sah pun sulit ditemui di sana ? Itu artinya, pertumbuhan perekonomian rakyat di wilayah perbatasan itu sangat memprihatinkan. Bisa jadi, masyarakat perbatasan menjual hasil bumi dan ternak mereka ke pasar negara tetangga sehingga mereka memperoleh imbalan transaksi dengan mata uang negara tetangga bukan ?

Jadi, masalah perebutan perbatasan wilayah bukan perkara politik atau keamanan belaka. Tapi lebih dari itu, persoalan perbatasan adalah persoalan humanis yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah bagi warga negaranya. Bila kebutuhan dasar warga negara tidak terpenuhi dan perut dalam keadaan lapar, bagaimana mereka akan berpikir nasionalis ? Lebih-lebih, pendidikan tidak tersedia dan penerangan pun tak ada, apa pula yang pemerintah pusat harapkan pada mereka ?

MENJAJAH dengan KEKUATAN KOMUNIKASI
Kekuatan komunikasi salah satunya ada pada pengulangan. Maka itulah yang dilakukan oleh malingsia. Menguasai perekomian dan menyediakan sarana infrastruktur bagi masyarakat perbatasan menjadi strategi malingsia dalam merebut wilayah perbatasan yang relatif seringkali terabaikan oleh pemerintah pusat.

Penguasaan kebutuhan kehidupan dasar oleh malingsia yang menjadi rutinitas keseharian rakyat perbatasan selama bertahun-tahun inilah yang akhirnya membuat masyarakat di daerah perbatasan pun seakan kehilangan jati diri. Rutinitas itu akhirnya menjadi kekuatan laten yang merugikan NKRI. Tanpa disadari, benak masyarakat telah terbangun nasionalisme yang lain, pindah ke lain hati. Kenyataannya, adalah negara tetanggalah yang telah banyak memenuhi kebutuhan mereka. Pendek kata, yang mereka rasakan adalah justru negara tetanggalah yang lebih peduli kepada mereka.

Sebelum kasus ini semakin pelik, selayaknya pemerintah segera berbenah diri dan melakukan berbagai upaya bagi masyarakat Camar Bulan. Lemahnya kemampuan komunikasi pemerintah RI dalam berdiplomasi dengan negara tetangga khususnya malingsia telah mengakibatkan NKRI kehilangan Sipadan dan Ligitan. Maka sudah saatnya NKRI lebih berani dalam bersikap.
Published with Blogger-droid v1.7.4