Rabu, 28 April 2010

BULLYING - WORKING HARASSMENT

Bullying atau gertakan sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bullying berasal dari kata bully, yang berarti penggertak, yaitu orang yang mengganggu orang yang lemah. Bullying dapat terjadi di sekolah, pertemanan, fasilitas publik, di lingkungan kerja bahkan dalam lingkungan keluarga.

Bullying di sekolah dapat terjadi dalam bentuk tekanan mental yang diterima siswa oleh perilaku dan sikap guru yang meremehkan dan mengecilkan kompetensi siswa. Bullying yang dilakukan pendidik antara lain dulu pernah terjadi dalam bentuk melarang siswa mengenakan kerudung, melarang siswa hamil bersekolah, bahkan sudah dalam bentuk kekerasan fisik seperti hukuman berlebihan. Namun, bullying juga dapat terjadi dalam bentuk gertakan yang dilakukan siswa yang sok jagoan kepada siswa lain yang lebih lemah. Bentuk nyata dari bullying dalam bentuk ini kemudian terjadi pemerasan, pemeralatan, pemalakan, dll. yang dilakukan seorang siswa kepada siswa lain.

Dalam lingkungan keluarga, yang kerap terjadi adalah bullying yang dilakukan oleh para kepala keluarga dalam hal ini suami atau bapak kepada para anggota keluarga yang lain, baik istri, anak, atau pembantu rumah tangga. Dalam banyak kasus, bullying yang terjadi dalam rumah tangga muncul dalam bentuk hinaan, ancaman saat terjadi perselisihan di dalam sebuah keluarga.

Seorang suami yang selalu saja melontarkan pertanyaan kapan mau minta cerai, kapan 'mau ngurus ke pengadilan, bawa sini orang tua kamu atau bahkan dengan menyebut nama orang tua mertua dengan tidak sopan merupakan bentuk nyata bullying. Secara fisik, bullying dapat terjadi dalam bentuk pemukulan, diseret, didorong, dihempaskan dan berbagai aktivitas kekerasan lainnya yang tidak memungkinkan memberi ruang gerak atau perlawanan dalam bentuk apapun karena memang kekuatan yang tidak seimbang.

Dalam dunia kerja tak jauh beda. Bullying seringkali diterima oleh para pekerja dalam bentuk banyak hal. Ancaman wan prestasi dengan alasan yang tidak relevan, pemasungan pendapat, pemerkaraan dan pemberian sangsi yang mengada-ada karena faktor ketidaksukaan yang sangat subyektif, ancaman terhadap karir, penghentian peningkatan karir di antara komunitasnya yang sepadan tanpa alasan, pengurangan/pengabaian hak pegawai atas peluang peningkatan karir secara tidak jelas, pembunuhan kharakter pegawai, hingga penguntitan terhadap kehidupan pribadi pegawai yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan performance/kinerja pegawai yang bersangkutan.

Tidak hanya itu, bahkan ada juga perusahaan yang hingga mencampuri dan memasuki kehidupan rumah tangga pegawai dari istri hingga mertua. Padahal tidak ada satu pun permintaan dari pihak keluarga untuk memperkarakan suatu masalah. Bahkan, ada pula perusahaan yang meminta anggota keluarga pegawai agar membuat surat pernyataan untuk menegaskan suatu hal sesuai keinginan/kebutuhan perusahaan, dengan dalih untuk kepentingan perusahaan, tanpa pegawai yang bersangkutan itu ada atau mendampingi anggota keluarga yang dimintai membuat surat pernyataan tersebut !

Artinya, tindakan tersebut dilakukan secara diam-diam, tanpa pemberitahuan awal, tanpa meminta persetujuan, tanpa ada permintaan, faith a comply anggota keluarga pegawai, dan tiba-tiba dicreate sendiri oleh perusahaan. Jadi, ini semua adalah bentuk bullying yang dilakukan perusahaan namun terjadi dalam lingkungan keluarga pegawai yang sama sekali tidak berperikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia !

Yang lebih menyedihkan & ironisnya lagi, bahkan ada pula perusahaan yang mengakomodir tindakan bullying dengan melegalisasi sebuah unit kerja khusus yang tugasnya untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap para pegawai. Pengejawantahan, bentuk nyata hasil kerjanya sesungguhnya adalah bullying yang difasilitasi, diamini, direstui oleh manajemen ! Akibatnya, bullying yang terjadi dalam sebuah perusahaan pun terjadi selama berpuluh-puluh tahun dan menjadi bagian dari sebuah budaya yang tanpa disadari dapat mempengaruhi mental dan kinerja seluruh pegawai.

Sayangnya, umumnya para korban bullying ini tidak tahu kalau diri mereka itu adalah korban bullying. Atau, kalaupun mereka tahu mereka adalah korban bullying, mereka tetap tidak berani melawan atau melaporkan tindakan bullying yang mereka terima kepada pihak yang berwajib.

Bila dalam lingkungan keluaga, saat terjadi bullying, pilihan paling pahit masih lebih memungkinkan untuk dilakukan. Artinya, bila sebuah keluarga harus tercerai-berai, suami dan isteri berpisah, mereka relatif dapat melakukannya dengan lebih cepat dan untuk kemudian melanjutkan hidup dan memiliki keluarga baru dengan lebih mudah. Begitu pun dalam lingkungan sekolah, karena kontrol terhadap situasi selanjutnya ada dalam diri korban.

Sementara dalam lingkungan kerja, penyelesaian masalahnya menjadi lebih pelik. Perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja adalah sebuah komunitas yang keberadaannya lebih lama, lebih panjang daripada keberadaan sebuah keluarga (dalam hal ini usia manusia). Begitu pun halnya dengan masa sekolah yang sangat jelas kapan mulai dan berakhirnya bahkan dapat pindah kapan saja. Singkatnya, posisi tawar korban jauh lebih menguntungkan.

Namun dalam lingkungan kerja, korban yang mengalami bullying terpaksa bertahan dan bekerja dalam perusahaan atau organisasi karena, mencari pekerjaan baru tidak semudah mendapatkan pasangan atau sekolah baru. Sehingga sekali saja korban bullying bereaksi dan membela diri, maka bullying yang diterimanya akan lebih besar lagi. Akibatnya, pekerja terus menerus bekerja dengan rasa takut.

Dalam ilmu kehumasan, bullying seharusnya menjadi salah satu tugas yang harus dimediasi dan difasilitasi oleh humas, khususnya berkaitan dengan hubungan internal (internal relations). Dalam hal ini humas dapat memberikan management advisory kepada top level management untuk melakukan pendekatan yang lebih humanis dalam berinteraksi dengan publik internal, khususnya pegawai.

Hal mendasar dalam interaksi hubungan masyarakat siapa pun itu publiknya adalah hubungan manusiawi (human relations). Artinya memanusiakan publik seutuhnya dalam berbagai aspek, kelebihan dan kekurangan dan yang terpenting adalah kebutuhannya (needs).

Bahwa kebutuhan manusia menurut teori Maslow memang berjenjang dari kebutuhan biologis hingga aktualisasi diri. Namun bukan berarti kebutuhan itu menjadi sebuah jenjang yang bisa saling menggantikan atau substitusi. Manusia yang sudah terpenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya, bukan berarti ia tidak butuh makan lagi.

Artinya, pekerja bukan bekerja sekedar mencari uang untuk makan, tapi pekerja juga ingin dihargai, ingin merasa aman, ingin keberadaannya diakui, ingin diterima secara sejajar, sebagai partner sesuai kapasitasnya. Jadi pekerja itu bukan obyek, bukan, mesin, tapi aset yang seharusnya dipelihara keberadaannya oleh manajemen agar dapat selalu berkontribusi secara optimal. Akhirnya, tentu saja terbentuk hubungan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak.

Perusahaan dalam posisinya sebagai komunikator wajib berorientasi kepada komunikan, dalam hal ini publik internal, yaitu pegawai. Bagaimana kharakternya, apa pekerjaannya, pendidikannya, status sosialnya, budayanya, dsb. Jadi perusahaan tidak dapat berinteraksi dengan caranya sendiri, tapi harus disesuaikan dengan kondisi publiknya.

Sebuah perusahaan manufaktur, membutuhkan pendekatan ekstra humanis dan personal ketimbang perusahaan non manufaktur yang mungkin lebih mengedapankan pendekatan intelektual. Perusahaan manufaktur sebagaian besar pegawainya adalah buruh dan tidak berpendidikan tinggi. Artinya, mereka membutuhkan pola komunikasi dengan bahasa yang sederhana. Dalam hal ini, bisa jadi justru penyelenggaraannya bahkan sebaliknya, membutuhkan banyak alat bantu berteknologi tinggi untuk membantu pekerja agar memahami pesan yang disamapiakn secara lebih mudah, jelas dan cepat.

Bullying, baik pelaku maupun korbannya, dapat menjadi kekuatan yang laten. Artinya kedua belah pihak tersebut sama-sama menyimpan energi yang berpotensi menghancurkan. Pada intinya, secara pendekatan psikologiis, bullying jelas bukan sebuah tindakan yang dapat dibenarkan. Dalam perspektif komunikasi dan kehumasan, bullying pun tidak membuat terbentuknya hubungan yang lebih baik atau saling menguntungkan di antara kedua belah pihak dalam sebuah organisasi/hubungan.

Jadi, dalam berbagai tatanan masyarakat, bullying merupakan tindakan yang merugikan, menimbulkan ketidaknyamanan, pembunuhan kharakter, bahkan trauma yang berkepanjangan. Humas, dapat mengatasi terjadinya bullying bila humas memainkan perannya sebagai fasilitator komunikasi sekaligus expert prescriber bagi manajemen. Humas tidak harus sebagai eksekutor, tetapi humas lebih sebagai mediator yang mememediasi, memfasilitasi serta sebagai management advisor bagi manajemen untuk melakukan interaksi dengan publik internal secara optimal.

Tujuannya, untuk menyerap energi potensial yang dimiliki pegawai secara tepat, tanpa khawatir yang berlebihan dengan melakukan tindakan pengawasan yang tidak tepat. Harapannya, agar manajemen memahami bahwa pendekatan humanis adalah lebih sesuai dengan kebutuhan manusia dan pendekatan dengan kekerasan bukan merupakan tindakan relevan untuk diterapkan terhadap pegawai dalam sebuah perusahaan.

Rabu, 14 April 2010

SBY : KOMUNIKASI ITU PENTING

Kerusuhan Koja - Tanjung Priok, Rabu, 14 April 2010. Menurut pemberitaan media televisi swasta konon merupakan kerusuhan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia setelah kerusuhan Mei 1998.

Berdasarkan berbagai informasi dalam pemberitaan media massa sepanjang hari kemarin, tampaknya kerusuhan ini terjadi karena kesalahpahaman atau kesimpangsiuran informasi seputar pentertiban wilayah makam Mbah Priok di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Informasi versi pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Wagub DKI Priejanto selepas maghrib semalam dalam wawancara televisi menegaskan bahwa sesungguhnya wilayah yang akan ditertibkan adalah area di sekitar makam, dan bukan makam Mbah Priok. Sebaliknya, pemerintah justru berniat merenovasi area makam Mbah Priok agar lebih baik dan terawat.

Untuk memuluskan rencana tersebut, konon kabarnya pemerintah sudah meggolontorkan dana sedikitnya Rp. 2,5 miliar sebagai penggantian pentertiban wilayah tersebut. Itu versi pemerintah.

Sementara versi masyarakat, terekam dalam pemberitaan gambar televisi bahwa masyarakat Koja keberatan dan menolak keras rencana pemerintah atas penggusuran area makam Mbah Priok.

Versi Polda Metro lain lagi menyangkut korban kerusuhan. Dalam pemberitaan wawancara yang dilakukan bersama sejumlah narasumber yang lain berkali-kali ditegaskan bahwa tidak ada korban jiwa. Sekali lagi tidak ada korban jiwa. Padahal, sejak siang telah dilaporkan oleh banyak media massa bahwa setidaknya terdapat 2 (dua) korban jiwa akibat kerusahan tersebut.

Versi SBY. Secara tegas SBY memberikan penilaian dalam sudut komunikasi. Salah satu kalimat yang penting dalam pidatonya antara lain adalah bahwa "Komunikasi itu sangat penting. Komunikasi sosial itu sangat penting ... Bila ada korban jiwa sampaikan dengan jujur ada korban jiwa. Sebaliknya bila terdapat korban luka, jangan disampaikan sebagai korban jiwa."

SBY juga menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap peran serta tokoh masyarakat khususnya para alim ulama yang telah menghimbau para umatnya untuk dapat mengendalikan diri dan menyikapi situasi ini dengan lebih arif. Demikian yang SBY sampaikan dalam gelar konferensi pers yang disiarkan sekitar pukul 21.00 wib.

Versi LSM, tegas menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan sosialisasi dalam kasus pentertiban wilayah Koja ini. Secara ilmiah hal ini mungkin saja. Akibatnya, masyarakat Koja menerima informasi yang keliru. Buntutnya, masyarakat Koja pun bereaksi atas informasi yang keliru tersebut yang ternyata menimbulkan mobilisasi massa yang sangat anarkis.

Versi Ulama. Para ulama dari berbagai kalangan menyampaikan gambaran bahwa Islam, tidak pernah mengajarkan kekerasan yang demikian. Bahwa keberpihakan umat terhadap makam tidak sesuai dengan akidah Islam. Di sisi yang lain, para ulama tetap memberikan himbauan seacra sungguh-sungguh kepada masyarakat Koja agar menghentikan kekerasan dan anarkis di wilayah makam Mbah Priok, Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Apa yang disampaikan oleh para ulama, akhirnya menciptakan kesan seolah-olah masalah ini menjadi masalah yang bernuansa sara, dalam hal ini menyangkut disharmonisasi atau penyimpangan yang terjadi dalam ajaran agama Islam. Tentu ini suatu kesan yang sangat negatif.

Jadi, berdasarkan berbagai fakta di lapangan menunjukkan terdapat ketidaksesuaian informasi yang diketahui dan diterima oleh banyak pihak yang sesungguhnya saling berkaitan. Tentu, dalam kasus ini komunikasi sangat penting. Karena jelas, ketidaksesuaian informasi di antara berbagai pihak yang terkait ternyata telah mengakibatkan sebuah malapetaka yang sangat serius.

Dalam sebuah proses komunikasi terdapat perbedaan tingkatan yang membutuhkan intensitas komunikasi yang berbeda meliputi koginisi, afeksi ataukah behavioral. Jadi tujuan berkomunikasi apakah hanya untuk memberitahukan (menginformasikan, pengenalan), membangun sikap tertentu (mendukung atau menolak, positif atau negatif) hingga menggerakkan komunikan untuk melakukan sesuatu.

Dalam proses manajemen hubungan masyarakat, komunikasi dilakukan secara bertahap meliputi :
  1. Analisis situasi, dalam tahap ini dilakukan pengidentifikasian masalah, problem atau kasus. Caranya dengan melakukan obeservasi dan riset atau audit komunikasi secara benar;
  2. Strategi, perumusan rencana & program. Caranya dengan mendefinisikan visi & misi program, menetapkan parameter & indikator, menentukan isi pesan, memilih para eksekutor, dll.;

  3. Implementasi, tindakan dan komunikasi. Caranya dengan menentukan sikap reaksi yang efektif, koordinasi dan komponen metode interaksi;

  4. Penilaian, evaluasi dan program. Meliputi persiapan, implementasi dan dampak. Bahwa evaluasi pada persiapan meliputi aspekketersediaan informasi, ketepan & kualitas isi pesan. Evaluasi Implementasi meliputi intensitas/frekuensi, penempatan, sasaran dan perhatian/daya tarik isi pesan. Evaluasi Dampak meliputi pemahaman hingga terbentuknya kultur yang baru.

Jadi, sebuah proses komunikasi tidak dapat dilakukan sekonyong-konyong. Apakah itu proses transformasi organsiasi ataukah sosialisasi kebijakan hingga kampanyen pemilu. Semuanya membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dipersiapkan dan dilakukan secara cermat.

Dan hal terpenting adalah bahwa sebuah proses komunikasi membutuhkan bekal pemahaman identifikasi masalah secara menyeluruh dan obyektif. Untuk itu perlu mengandalkan obeservasi dan riset lapangan dengan metode yang tepat dan tidak sembarangan. Berkomunikasi tanpa bekal data yang relevan dan obyektif menghasilkan kegiatan yang tidak memiliki landasan yang kokoh karena hanya mengandalkan asumsi-asimsi belaka. Proses komunikasi berawal dan berakhir dengan riset yang menjadi landasan pengambilan keputusan atau strategi selanjutnya.

Strategi. Bisa jadi Kasus Koja tidak dipersiapkan secara matang dan hanya dianggap sama dengan kasus pentertiban area biasa di berbagai wilayah lain di Jakarta. Bisa jadi komunikator tidak menganggap penting kharakter komunikan sebagai suatu hal yang harus diperhitungkan. Padahal, dalam sebuah proses komunikasi, komunikator harus berorientasi kepada komunikannya. Apa latar belakang budayanya, pendidikannya, pekerjaannya, dll. Ini bukan soal sara, tapi bagaimana melakukan komunikasi yang sejajar, penuh empati agar efektif sesuai target yang diharapkan.

Berikutnya, implementasi. Ekskalasi proses komunikasi dalam sebuah masalah yang melibatkan massa berlangsung sangat cepat. Mengapa, karena dalam interaksi massa akan terbentuk jiwa massa yang sangat reaktif. Jadi dalam situasi ini dibutuhkan respon yang cepat dan tepat dari pihak-pihak terkait. Dan hal ini sulit dilakukan bila hanya dilakukan oleh petugas lapangan. Artinya, komunikasi terhadap massa sangat membutuhkan key person yang memiliki kredibilitas dan diakui oleh massa yang bersangkutan. Selanjutnya manakala ekskalasi yang terjadi direspon dengan sangat lamban, tentu proses komunikasi menjadi sangat tidak efektif dan berpeluang terjadi banyak akibat buruk yang tidak diinginkan.

Dampak, hasil akhir. Keberhasilan proses komunikasi terlihat dari dampak yang dihasilkan. Apakah komunikan memahami isi pesan yang disampaikan, apakah mempunyai sikap yang diharapkan, apakah melakukan apa yang diisyaratkan, apakah terbangun budaya sebagaimana yang diinginkan.

Kasus Koja secara ilmiah menjadi pelajaran penting dalam dunia komunikasi, khususnya pentingnya proses komunikasi yang terkelola dengan baik. Ironisnya, hal yang demikian ini selalu saja terulang. Maka tak heran betapa banyaknya cendekiawan dan profesional komunikasi sejati yang menjadi 'pengangguran' lantaran keberadaanya belum juga dirasakan perlu oleh banyak pihak sebagai salah satu profesi yang sangat menentukan.

Selasa, 13 April 2010

RISET HUMAS TIDAK POPULER

Penelitian kehumasan dalam dunia empiris sangatlah tidak populer. Hal ini terlihat dari gejala yang ditemui di banyak organisasi atau perusahaan yang nyaris tidak mengandalkan riset kehumasan dalam program kerja humas tahunan maupun jangka panjangnya.

Padahal, sebagai salah satu fungsi manajemen, humas bekerja dengan perencanaan yang matang dan terukur, pengorganisasian yang simultan & terkoordinir, pelaksanaan yang sesuai perencanaan dan pengawasan yang ketat, kembali sesuai parameter yang ditetapkan dalam perencanaan. Artinya, pengawasan dilakukan salah satunya dengan melakukan riset dan perencanaan disusun pun berdasarkan hasil riset yang reliable dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan obyektif.

Kenyataannya, fenomena dalam dunia empiris ; baik di dunia kerja maupun di dunia akademis menunjukkan bahwa riset kehumasan sangat tidak populer bahkan dihindari, ditakuti oleh para praktisi humas itu sendiri ! Akibatnya, peran humas pun bergulir tidak lebih dari seremonial belaka dan tidak pernah meningkat dan menyentuh kepada hal-hal yang lebih substantif dan strategis.

Fenomena tersebut diperburuk lagi oleh gejala yang lain, bahwa kalangan akademis pun tidak menguasai riset kehumasan secara mumpuni. Akibatnya, para siswa studi ilmu komunikasi khususnya humas tidak mengenal apalagi menguasai riset kehumasan dengan cara pandang metodologis yang benar.

Di sisi yang lain, literatur mengenai riset kehumasan yang tersedia sangat terbatas. Betapa sedikit cendekia humas yang berani menuliskan buku mengenai riset kehumasan secara transparan, terbuka dan detail. Sebaliknya, lieteratur riset mengenai komunikasi yang ditulis oleh mereka yang tidak mempunyai latar belakang akademis komunikasi khususnya kehumasan begitu ramai di pasaran. Akibatnya, siswa belajar dari sumber yang salah.

Kondisi tersebut terlihat dalam diskusi siswa dan dosen dalam proses belajar mengajar di kelas. Siswa cenderung membeli buku tips-tips humas populer ketimbang literatur komunikasi humas ilmiah. Ibarat lingkaran setan, keberadaan ilmu humas dan masa depan para profesional & cendekianya di Indonesia masih juga tak menentu dan jelas arahnya.