Selasa, 26 Januari 2010

NASIB ILMU KOMUNIKASI

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua pihak, namun hal berikut ini adalah sebuah pemikiran ilmiah yang sungguh menjadi pertanyaan besar, yang mungkin saja kurang berkenan bagi sebagian orang.

Berawal dari diskusi virtual sebuah kelompok profesional di bidang ilmu komunikasi, yang kurang lebihnya mempertanyakan masih perlukah keberadaan ilmu komunikasi bila pada kenyataannya dunia empiris atau dunia usaha/kerja dan berbagai profesi yang merupakan turunan ilmu komunikasi seringkali tidak mensyaratkan kompetensi akademis di bidang ilmu komunikasi secara ketat terhadap profesi ini ?

Akhirnya, ada juga ilmuwan komunikasi yang menyadari bahaya laten yang sesungguhnya bukan saja mengancam, tapi sudah menggerogoti ilmu komunikasi selama bertahun-tahun tidak saja di Indonesia, tapi mungkin di banyak negara di dunia. Berbagai profesi di bidang komunikasi seperti Humas (Public Relations), Wartawan (Jurnalists), Periklanan (Advertising), Penyiaran (Broadcasting), dll. selama ini memang dikenal sebagai profesi yang multi entry. Artinya, profesi ini dapat diisi oleh SDM dengan kualifikasi akademis apapun selain ilmu komunikasi. Secara ideal, tentu ... kenyataan ini merupakan sesuatu hal yang ... salah, tidak ideal, atau apa ya ... ? Tidak menyenangkan atau kontra produktif terhadap keberadaan ilmu komunikasi dan perkembangannya kemudian.

Sebagai sebuah produk ilmu sosial, ilmu komunikasi tentu menanggung 'resiko' multi entry itu. Apalagi, pada kenyataannnya, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak profesional yang bekerja di turunan ilmu komunikasi terbukti berhasil membangun karir secara menakjubkan dan mendapatkan apresiasi atas ke-profesionalis-annya secara lebih menakjubkan lagi, walaupun tidak memliki kompetensi ilmu komunikasi. Akibatnya, profesi terapan ilmu komunikasi semakin banyak terisi oleh SDM yang tidak memiliki kompetensi akademis ilmu komunikasi.

Siklus selanjutnya dari ketidakmenentuan kondisi tersebut adalah munculnya berbagai organisasi profesi yang 'mewadahi' para profesional di bidang ilmu komunikasi ini. Pada dasarnya hal ini merupakan gejala yang relatif wajar bahkan biasa, karena layaknya sebuah profesi tentu pada gilirannya akan melahirkan eksklusivisme di antara sesama komunitas seprofesi dengan satu keinginan dan kesamaan 'visi' dalam mengemabangkan potensi diri sebagai profesional. Itulah sebabnya banyak muncul berbagai organisasi profesi di dunia kerja, tak terkecuali bagi profesional di bidang ilmu komunikasi seperti bakohumas, perhumas, aji, dll. Sesuai dengan kisahnya bahwa profesi ini banyak terisi oleh SDM yang multi entry, maka organisasi profesinya pun berisi SDM yang juga multi entry.

Yang menarik, selain organisasi profesi, ada pula organisasi yang sesungguhnya lebih mengedepankan unsur akademis dari berbagai keilmuan seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), ISHI (Ikatan Sarjana HUkum Indonesia), IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi INdonesia), ISI (Ikatan Sekretaris Indonesia, dll. Namun, bila dalam keberadaan organisasi yang lebih mengutamakan unsur akademis ini pula masih memiliki fleksibelitas dan 'mengijinkan' bergabungnya praktisi atau profesional yang tidak memiliki unsur utama dibentuknya asosiasi yang bersangkutan, tentu 'kan ini sangat membingungkan bahkan sangat mengecewakan. Kalau bukan dokter tergabung dalam IDI bukankah itu hal yang aneh ? Apalagi bila anggota-anggota dengan klasifikasi tersebut duduk pula dalam kepengurusan, wah ... semakin sulit untuk dimengerti tentunya secara profesional.

Mungkin, bisa jadi pemikiran ini terkesan sangat ekslusif, atau bahkan sangat kaku, kolot, dsb. Namun di sisi yang lain para ilmuwan komunikasi tidak bisa membohongi kata hati, bahwa situasi ini ternyata menjadi pertanyaan (masalah) yang mengganggu juga 'kan ? Jadi, bila hingga organisasi yang sudah sangat spesifik dan mensyaratkan legitimasi atau kesesuaian akademis masih juga tidak bisa terwujud atau terpenuhi, lalu di mana lagi para cendekiawan komunikasi ini bisa membangun diri dan melakukan konsolidasi ?

Kondisi saling berkaitan ini mungkin saja menjadi hal-hal yang mempengaruhi kondisi yang dialami ilmu komunikasi saat ini dalam dunia empiris dan dunia akademis. Berdasarkan gejala yang ada, setidaknya terasa bahwa ilmu komunikasi relatif tidak berkembang atau berkembang sangat lamban. Coba bandingkan dengan berbagai profesi lain, ilmu kedokeran misalnya, perkembangan ilmu medis di Indonesia tergolong lebih nyata 'kan ? Begitu pula untuk profesi ekonom, keberadaan mereka dalam pemerintah benar-benar mendapat porsi yang terpercaya. Tapi apa yang terjadi dengan ilmu komunikasi ?

Kenapa para ilmuwan, cendekiawan komunikasi tidak berani merekomendasikan kepada semua pihak terkait bahwa :

  1. Pemerintah perlu memiliki produk regulasi yang mendukung dan memberikan jaminan intelektual terhadap ilmuwan dan cendekiawan komunikasi agar dapat memperoleh haknya secara intelutal dan profesional dalam dunia kerja;

  2. Pemerintah perlu memberlakukan sertifikasi (SKKNI) secara ketat, obyektif dan transparan terhadap profesi-profesi ilmu terapan bidang komunikasi untuk kemudian dipatuhi dunia kerja dan menjadi tolok ukur dunia empiris atau dunia kerja terhadap para profesional dan ilmuwan komunikasi dalam memberikan apresiasi secara obyektif;

  3. Pemerintah perlu memiliki dan memberlakukan standar kurikulum nasional terhadap bidang ilmu komunikasi dengan melakukan pengawasan ketat terhadap perkembangan dan pelaksanaan proses belajar mengajar bidang ilmu komunikasi agar berlangsung secara wajar sesuai ketentuan;

  4. Dunia kerja perlu bersikap profesional terhadap profesi komunikasi dengan menempatkan SDM yang memiliki kompetensi akademis yang relevan, yaitu ilmu komunikasi untuk semua posisi yang merupakan turunan atau ilmu terapan dari ilmu komunikasi;

  5. ISKI bersama berbagai organisasi profesi yang merupakan ilmu terapan komunikasi senantiasa melakukan akselerasi terhadap perkembangan ilmu komunikasi secara profesional, ilmiah dan bertanggung jawab.

Tentu, kelima rekomendasi tersebut bukan hal mudah dan bisa jadi merupakan rekomendasi yang cukup 'keras' bagi insan dan pelaku, para profesional dan ilmuwan, cendekiawan ilmu komunikasi. Namun, cepat atau lambat, fenomena ini hanyalah soal waktu yang pada akhirnya tetap akan mengemuka dan menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian dan memperoleh jalan keluar yang arif.


Jadi, akankah para ilmuwan komunikasi berani membela haknya sendiri ? Haruskan para cendekiawan komunikasi menunggu masa depannya berubah menjadi lebih baik, atau akankah mereka mengubahnya sendiri, memperjuangkan masa depannya sendiri ? Secara ilmiah, Ball State University bahkan menyatakan bahwa "Public Relations tidak akan pernah meraih status profesi selama orang bisa masuk ke bidang ini tanpa memerlukan studi yang ketat di bidang ini .... " Jadi, tunggu apa lagi kalau begitu ? Apa pendapat Anda ?

Senin, 25 Januari 2010

WELCOME TO ISKI

Akhirnya ... ketemu juga ... !!! Setelah sebelumnya sempat bingung browing dan googling ISKI ga nemu apa-apa ... alhamdulillah akhirnya ada juga www.iski.or.id ... Huebaaaat ... ! So guys ... Indonesia's communication bachelor ... do not forget to join the club deh ... real the club ! ISKI ... bravo ISKI ...

It's time for us to do real things for the country professionaly ... !!!!

Minggu, 24 Januari 2010

RENEGOSIASI AFTA

Akhirnya ... pemerintah berencana merenegosiasi keikutsertaannya dalam AFTA. Sekali lagi, niat pemerintah ini merupakan salah satu bukti, peran media massa dalam melakukan kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan.

Berdasarkan teori, peristiwa ini merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam Teori Agenda Setting. Dalam teori ini, ada 3 (tiga) elemen dalam kehidupan masyarakat yang dapat menentukan proses pengambilan keputusan pemerintahan, yaitu yang disebut sebagai kelompok elit, kelompok media dan kelompok publik. Masing-masing kelompok ini memiliki agenda, yaitu hal yang menjadi prioritas mereka dalam hidup bermasyarakat dan sebagai warga negara.

Menyambut gegap gempitanya perdagangan bebas dengan pemberlakukan AFTA yang telah diratifikasi, diikuti, disetujui oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia sejak beberapa tahun lalu, rupanya baru dirasakan dampaknya saat ini. Akibatnya, tentu ... kelompok masyarakat khususnya pelaku usaha menjadi kelompok yang paling dirugikan dengan adanya persaingan bebas ala AFTA.

Pokok permasalahannya jelas, negara yang paling diuntungkan dengan pemberlakukan AFTA adalah China, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, 2 miliar jiwa ! Kekuatan jumlah SDM yang dimiliki China itu akhirnya berdampak sangat nyata pada iklim usaha negara tirai bambu itu yang mampu memproduksi segala produk dengan kualitas bersaing dan harga sangat murah ! Akibatnya, para pelaku usaha dalam negeri pun terancam, akibat tak mampu bersaing dengan harga jual dan kualitas barang China yang sangat baik tapi juga murah.

Di sisi yang lain, Indonesia merupakan negara yang juga relatif besar jumlah penduduknya dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah tentu tak ingin menjadi obyek penderita pemberlakuan AFTA. Bahkan, dengan kondisi moneter dunia yang saat ini tengah resesi dan menimpa di sejumlah negara adidaya, Indonesia merasa sangat beruntung karena konon tidak tergoyahkan dengan kondisi itu dan tetap stabil perekonomiannya. Namun, dengan jumlah penduduk yang sangat besar ini, Indonesia pun menjadi sasaran empuk negara yang lebih besar dalam memasarkan produknya. Pendek kata, bila Indonesia bergabung dalam AFTA, maka posisi Indonesia tidak lebih sebagai pasar yang sangat menjanjikan dan bukan sebagai pemain !

Tak heran, agenda publik pun menjadi sangat tegas, menentang keikutsertaan Indonesia dalam AFTA. Agenda publik yang tegas dan terus berulang dan meluas pun akhirnya menjadi agenda media secara intens pula. Pada akhirnya, agenda media pun menjadi perhatian kelompok elit, hingga mereka membuat keputusan berdasarkan kedua agenda tersebut, agenda publik dan agenda media.

Dalam hal ini, pemerintah memang belum memutuskan akan mengambil sikap apa dalam pemberlakukan AFTA yang sudah terlanjur diratifikasi oleh Indonesia. Namun setidaknya, informasi media semalam bahwa pemerintah akan merenegosiasi keberadaaannya dalam AFTA merupakan bukti betapa teori Agenda Setting ini sangat efektif dalam menggiring pemerintah agar bekerja sesuai kondisi yang diharapkan masyarakatnya, konstituennya. Bagaimana hasil akhirnya ? Kita tunggu saja ... !

Kamis, 14 Januari 2010

VISI HUMAS INDONESIA 2010

Merapatkan barisan, kiranya itu yang perlu dilakukan para profesional humas Indonesia saat ini. Menguatkan komitmen, keteguhan akan janji untuk mau maju, belajar dan saling berkontribusi. Persoalannya, kedua hal tersebut bukan hal mudah bagi para profesional yang sudah begitu sibuk dengan berbagai rutinitas profesi kesehariannya yang memiliki keterikatan secara ... legal mungkin sebutan yang pas untuk itu ?

Menetapkan visi, cita-cita yang tajam dan mengurai misi, program kerja yang lugas dan terarah. Visi menjadi tujuan, visi menjadi alasan dalam hidup. Tanpa visi yang jelas, tak tahulah diri akan melangkah. Namun visi pun harus realistis, bukan sesuatu khayalan, tapi sesuatu yang logis untuk diraih. Tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini, kecuali makan kepala sendiri ....

Menjaga semangat dan terus berkreasi dengan ide-ide yang inovatif tapi tetap ... realistis, itu adalah strategi selanjutnya, bila cita-cita tengah dalam upaya untuk dibangun, untuk diwujudkan. Membangun toleransi yang sebsar-besarnya .... karena merapatkan barisan di antara banyak orang, tentu bukan hal mudah.

Humas Indonesia, saatnya kita untuk berlari dan mewujudkan mimpi !!!

Selasa, 12 Januari 2010

MEMAJUKAN HUMAS INDONESIA

Begitu banyak organisasi profesi di Indonesia, ada IDI (ikatan dokter indonesia), ISEI (ikatan sarjana ekonomi indonesia), IAI (ikatan akuntan indonesia), ISHI (ikatan sarjana hukum indonesia), ISI (ikatan sekretaris indonesia), dan entah berapa banyak lagi organisasi profesi lainnya di Indonesia.

Begitupun organisasi profesi di bidang ilmu komunikasi, ada ISKI (ikatan sarjana komunikasi indonesia), perhumas, bakohumas, AJI (aliansi jurnalis indonesia), ipra, PR society, aspaskom, dan mungkin juga masih ada yang lain.

Sebagai insan di hampir semua organisasi profesi komunikasi yang ada di Indonesia, rasanya sangat wajar bila para profesional komunikasi di Indonesia memiliki visi yang tajam, konstruktif dan terukur demi kemajuan ilmu komunikasi Indonesia baik secara teoritis maupun praktis, antara lain :
  1. Memiliki kantor yang representatif & strategis;
  2. Memiliki jadwal pertemuan rutin dan mengikat;
  3. Memiliki agenda, target dan program kerja yang konstruktif & progresif;
  4. Memiliki time budgeting/tentative schedule yang rasional;
  5. Memiliki parameter yang obyektif;
  6. Memiliki kaderisasi yang berkesinambungan;
  7. Memiliki inventarisasi masalah terkini seputar profesi di bidang komunikasi;
  8. Memiliki data base hasil riset bidang ilmu komunikasi;
  9. Memiliki kepengurusan yang aktif & inovatif;
  10. Memiliki standarisasi kompetensi yang legitimate sebagai bentuk apresiasi profesional berbasis intelektual & ilmiah.

Sayang seribu sayang, organisasi profesi bagaimana pun merupakan organisasi sosial yang sangat tergantung komitmen dan integritas para anggotanya. Artinya, kemajuan organisasi sangat tergantung pada keseriusan dan kerelaan para anggotanya dalam meluangkan waktu untuk memberikan sumbangsih dalam segala hal, pikiran, waktu, biaya, dsb.

Ajaibnya, banyak organisasi profesi lainnya dapat eksis dan berkibar di tanah air yang notabene menghadapi persoalan yang sama sebagai organisasi sosial. Bahkan berbagai organisasi tersebut telah memberikan kiprah, setidaknya lebih dikenal di masyarakat ketimbang keberadaan organisasi profesi bidang ilmu komunikasi. Sejumlah organsisasi profesi secara profesional telah memberikan berbagai rekomendasi sesuai kecakapan masing2.

Sejumlah fenomena berkaitan dengan kemajuan teknologi komunikasi dewasa ini tidak lebih dari ajang pamer semata, tanpa kontribusi nyata yang lebih besar. 'Berjualan' kemampuan diri sah-sah saja, namun apa gunanya sebuah organisasi profesi bila hanya sebagai media iklan gratis tanpa komitmen besar para anggotanya ? Bukankah itu menjadi sebuah tindakan yang sangat memalukan dan tidak profesional.

Kalaupun biaya menjadi kendala terbesar, setidaknya itikad dan semangat dapat terukur dan terlihat dari kepedulian dan respon akan ide dan inovasi yang ditawarkan. Bila kepedulian dan respon pun tidak ada akan ide dan inovasi yang disodorkan, lalu apa yang akan diharapkan kemudian ? Untuk apa pula dibentuk organisasi profesi kalau begitu ? Beriklan sajalah secara profesional, dan membayar waktu dan ruang untuk itu. Barulah itu dapat dikatakan fair dan profesional yang sesungguhnya.

Sudah waktunya kita bergerak maju. Jangan membuang waktu dengan berdiam diri dan sibuk dengan kenyamanan diri sendiri yang bisa jadi hanya kamuflase belaka. Sudah saatnya para profesional komunikasi Indonesia merasa malu, terlalu pandai dan sibuk mengkritisi banyak pihak, namun lupa mengkritisi dan memabngun diri sendiri. Membentuk organisasi profesional tanpa menghasil apa-apa ? Bukankah itu sebuah kemunduran ?

Alangkah bangganya, bila di saat berbagai masalah soal informasi, teknologi dan komunikasi yang belakangan ini mencuat di tengah-tenagh masyarakat, para profesional atau perwakilan organisasi profesi dapat menyampaikan pandangannya secara ilmiah sekaligus menjadi mediator yang terpercaya dengan solusi dan rekomendasi yang konstruktif. Bukannya, berkomentar saja dengan berbagai analisa yang ... hebat juga justifikasi yang pedas tapi tidak berbuat apa-apa.

Sudah waktunya kita memperbaiki diri. Sudah waktunya kita bekerja lebih keras lagi. Majulah Komunikasi Indonesia !


Kamis, 07 Januari 2010

MEDIA RELATIONS

Media Relations atau hubungan dengan media massa merupakan salah satu kegiatan humas dengan publik eksternal. Media Relations menjadi salah satu strategi humas dalam membangun publisitas perusahaan, individu maupun organisasi melalui publikasi menggunakan jasa media massa. Bentuk-bentuk kegiatan Media Relations sangat beragam, namun yang paling sering dilakukan antara lain ....

  1. Konferensi Pers (Press Conference), merupakan sebuah pertemuan yang diselenggarakan individu atau organisasi/perusahaan dengan mengundang pekerja media untuk menyampaikan pesan tertentu. Pesan yang disampaikan dalam konferensi pers dapat berupa berita baru, klarifikasi kasus, penemuan/peluncuran produk atau jasa baru, dll.

  2. Perjalanan Media (Press Tour), merupakan kegiatan perjalanan yang diselenggarakan individu atau organisasi dengan mengundang para pekerja media untuk memperkenalkan sebuah produk atau tempat secara menyeluruh. Dalam kegiatan ini, media akan menyaksikan proses produksi sebuah produk dalam sebuah manufaktur, mencoba kendaraan dengan rute tertentu, atau meninjau sebuah lokasi sosial, dll.

  3. Pertemuan informal (Press Gathering), pada dasarnya pertemuan informal ini tidak ada agenda tertentu mengenai sebuah masalah. Intinya adalah membangun hubungan itu sendiri secara lebih intensif dan personal. Dalam kegiatan ini, yang dilakukan oleh individu atau organisasi berupa jamuan makan atau high tea alias kegiatan minum teh atau kopi dengan kudapan di sore hari seusai bekerja. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenal lebih jauh para pekerja media secara personal baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya, untuk membangun hubungan interpersonal dan human relations yang lebih optimal dan mendukung kegiatan media relations. Press gathering juga dapat dilakukan dalam perayaan hari besar seperti bulan puasa, terawih keliling, lebaran, tahun baru, dll.

  4. Wawancara (Interview), Kegiatan ini pada dasarnya merupakan kegiatan pelayanan. Dalam arti ide wawancara biasanya datang dari pihak media massa. Namun, tidak jarang individu atau organisasi juga meminta media massa untuk memberikan ruang untuk wawancara mengenai profil CEO atau perusahaan dengan product knowledge-nya. Dalam hal ide wawancara datang bukan dari pihak media, maka ada biaya yang harus dibayarkan.

  5. Menulis (Press Release, Advertorial, etc.), Ada kalanya interaksi dengan media berupa tulisan yang merupakan hasil karya individu atau organisasi yang bersangkutan. Jadi pemberitaan yang akan dimuat dalam media massa bukan merupakan hasil karya pekerja media. Dalam hal ini, editorial media massa hanya melakukan editing seperlunya sesuai dengan kebijakan redaksional media ybs. Kagiatan ini, sangat membutuhkan keahlian para pekerja humas individu atau organisasi dalam menulis secara baik sesuai kaidah dan Bahasa Indonesia Jurnalistik. Bentuk tulisan dapat berupa press release atau siara pers yang dibagikan saat berlangsungnya konferensi pers, atau advertorial, profil perusahaan, dll.

  6. Ajang Khusus (Special Event), Umumnya, individu atau organisasi menyelenggarakan ajang khusus yang membutuhkan peliputan media. Dalam hal ini, biasanya penyelenggara tidak menyelenggarakan konferensi pers, tetapi memberikan kesempatan kepada pekerja pers untuk datang dan terlibat langsung atau memonitor berlangsungnya acara. Bila beruntung, dalam ajang khusus pekerja media berkesempatan pula untuk mencuri waktu melakukan wawancara. Contoh ajang khusus antara lain peresmian gedung atau kantor baru, ulang tahun perusahaan, kegiatan donasi, CSR, dll.

  7. Pemetaan Media (Media Mapping), Ada kalanya individu atau organisasi melupakan aktivitas ini. Biasanya mereka lupa bahwa media massa memiliki spesifikasi atau kekhususan dalam aktivitasnya. Pemetaan media diperlukan untuk mengetahui klasifikasi dan keunggulan masing-masing media, baik cetak maupun elektronik, baik harian maupun mingguan, dll. Pemetaan media sangat penting dilakukan agar individu atau organisasi dapat menentukan media massa yang mana yang dipilih untuk menyampaikan pesan atau membantu membangun publisitas yang diinginkan secara tepat.

  8. Riset Media Massa (Massa Media Research), Penelitian mengenai media juga hal yang sangat penting. Ada berbagai prosedur dalam penelitian media massa menyangkut pemberitaan, konten, dll., antara lain dengan melakukan deep interview. Dalam hal ini maka individu atau organisasi - lah yang melakukan 'wawancara' kepada pekerja media untuk menggali informasi sesuai yang dibutuhkan dalam tujuan penelitian.

Demikianlah antara lain, bentuk-bentuk kegiatan media relations yang lazim dilakukan. Selain itu, tentu masih ada bentuk-bentuk lain yang dapat dilakukan. Aktivitas pekerja media massa yang sangat ditentukan oleh tenggat waktu sangat mempengaruhi kesuksesan kegiatan media relations yang diselenggarakan oleh individu atau organisasi. Tempat yang jauh dan waktu yang tidak tepat saat jam sibuk dapat membuat para pekerja media membatalkan kehadiran dan tidak memenuhi undangan yang telah dibagikan. Karenanya, adalah sangat penting untuk menyelenggarakan kegiatan media relations yang menarik dengan penentuan waktu serta tempat secara baik.

Rabu, 06 Januari 2010

PERHUMAS, ISKI, PR SOCIETY, BAKOHUMAS, ECT ....

Ternyata ... ada lumayan banyak organisasi kehumasan di Indonesia. Ada Perhumas, ada ISKI (ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia), ada PR Society, ada Bakohumas, juga ada Aspaskom (Asosiasi Paska Sarjana Komunikasi Indonesia). Tapi apa yang sudah diperbuat mereka semua ya untuk bangsa ini ?

Saya bergabung dengan perhumas sejak bau kencur baru keluar kuliah dan bekerja enam bulan di pertengahan tahun 1996 dan sempat menerima kartu keanggotaan. Namun setelah itu ... perhumas seperti hilang ditelan bumi. Saya tidak mendengar kabarnya lagi. Bisa jadi karena saya pindah bekerja, dan baru menemukan keberadaan perhumas setidaknya enam tahun belakangan ini.

Hampir lima belas tahun bergabung dengan perhumas ... tapi ... sepertinya nasib pekerja humas di Indonesia tidak kunjung membaik. Setidaknya, apa yang saya hadapi dalam dunia empiris sehubungan dengan profesi kehumasan tetap saja menghadapi kendala yang sama. Artinya, para end user tidak juga semakin well known tentang profesi humas.

ISKI ... terakhir kali berhubungan dengan ISKI saat Konvensi ISKI di Solo pada Oktober 2000 atau 2001 bersama Pak Alwi Dahlan. Setelah itu ... nasibnya lebih menyedihkan lagi ... ! Browsing ISKI di internet pun tidak menghasilkan sesuatu yang berarti ... Ah .....

Padahal, seorang kawan berkomentar dalam blog pribadi saya, katanya "Bila manusia ingin mencari segala sesuatu di dunia ini sumbernya hanya 2, Al Quran dan internet." Hal ini bukan untuk menyamakan Al Quran dengan internet. Tentu, Al Quran sebagai kitab merupakan sumber ilmu tentang kehidupan dengan segala regulasinya yang wajib diyakini, dipatuhi oleh pemeluknya. Artinya, perumpamaan itu hanyalah sebuah hiperbola semata ...

Karena internet tidak lebih dari media komunikasi 'biasa' layaknya media massa cetak dan elektronik. Bedanya, internet menggabungkan keduanya, atau lebih dikenal sebagai bersifat virtual. Artinya, media internet dianggap lebih ampuh, cepat, efektif, efiesien, sekaligus murah dengan hasil yang banyak sebagai sumber literarur dibandingkan bila kita mencari segala sesuatu melalui media cetak dan elektronik.
PR Society, saya tidak bergabung dengan asosiasi ini karena ... keanggotaannya mengisyaratkan biaya keanggotaan yang cukup tinggi bagi praktisi humas biasa. Aspaskom, sebelum drop out program master saya sempat bergabung dengan Apaskom. Namun hingga saya mendaftar lagi S2 hingga rampung dengan program master saya, saya tetap belum menemukan kiprah Apaskom di mana-mana. Bakohumas ... sama saja, sebagai organisasi humas yang lebih diperuntukkan bagi praktisi di instituti pemerintah, maka untuk bergabung para praktisi humas masih menghadapi persoalan domestik di intra organisasi yang tidak menanganggap perlu untuk berinteraksi dan berafiliasi dalam organisasi profesi semacam ini. Wuih ....

Jadi, kesimpulannya ... pelik juga rupanya persoalan kehumasan ini. Namun jangan putus asa, adalah penting bagi kita semua untuk tetap menjaga semangat dan mengumpulkan semua tenaga dan sumber daya yang ada untuk saling bersinergi dan merapatkan barisan, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Rasa malu sebesar gunung pun atas ketidakproduktifan kita selama ini tidak akan menyelesaikan atau mengubah keadaan. Nasib manusia akan berubah hanya dengan bekerja dan berdoa ! Untuk itu, jangan tunda lagi, lakukan sekarang apaun yang anda bisa untuk kemajuan humas Indonesia. Selamat bekerja dan majulah humas Indonesia .... !

Selasa, 05 Januari 2010

RESOLUSI HUMAS 2010

Alangkah menariknya, bila para profesional, praktisi, ilmuwan dan siswa humas humas punya resolusi yang menggigit di tahun 2010 ini. Bayangkan, seandainya perhumas atau ISKI mempunyai kantor yang berada di tengah-tengah keramaian seperti mall Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Senayan City, PIM atau Pacific Place.

Mengamati fenomena saat ini, ada beberapa institusi pendidikan atau profesi yang mulai mendekatkan diri dengan dunia empiris. Satu di antaranya, bahkan tetap 'asik-asik' saja alias sukses meskipun aktivitasnya mengisyaratkan harga yang fantastis untuk belajar atau bergabung di sana. Sementara institusi yang lain, tampaknya tengah mengupayakan untuk melakukan terobosan serupa.

Berdasarkan pengalaman tersebut, kiranya tidak muluk-muluk bila perhumas atau ISKi juga berani melakukan terobosan yang sama. Tujuannya tentu agar lebih menghidupkan organisasi perhumas atau ISKI itu sendiri. Selain itu, tak kalah penting adalah untuk melakukan edukasi dan membangun kesadaran publik tentang profesi dan keberadaan humas dalam dunia empiris agar dapat lebih diterima dan mendapatkan apresiasi secara proporsional baik secara intelektual maupun profesional.

Tapi ternyata ... seperti biasa ... problem terbesar sebuah perubahan adalah justeru datang diri kita sendiri. Pelaku perubahan, umumnya ingin berubah, namun tidak percaya diri. Padahal kita tahu, Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia bila manusia tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri ....

Semoga Perhumas & ISKI tidak perlu menunggu terlalu lama untuk memutuskan hasil perenungan dan pemikiran akan terobosan ini. Selagi Perhumas atau ISKI tidak kunjung bergerak, maka semua impian hanya akan menjadi agenda dan angan-angan semata tanpa pernah menjadi pekerjaan yang menghasilkan secara nyata. Semua pembicaraan akan tetap menjadi bahan diskusi tanpa pernah terealisasi. Semoga semua pembicaraan ini akan segera terlaksana. Majulah Perhumas dan ISKI bagi kemaslahatan bangsa !

IPRA Int'l Conference in Indonesia

Semakin bersemangat saja rasanya menyongsong penyelenggaraan Konferensi Internasional IPRA di Jakarta, pada 2 - 5 Februari 2010, di Hotel Mulia, mendatang.

Konferensi ini merupakan konferensi humas terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ! Jadi, sayang rasanya bila para profesional, praktisi dan para akademisi serta siswa humas tidak bergabung dalam konferensi ini.

Biayanya pun tergolong murah. Hal ini diperoleh karena tepat pada tahun ini, presiden organisasi IPRA dipimpin oleh Indonesia, yaitu Ibu Elizabeth Goenawan Ananto. Maka, pada kesempatan ini baik untuk mengikuti konferensi maupun bergabung dalam keanggotaan organisasi IPRA, seluruh peserta Indonesia mendapatkan kemudahan dan keringanan biaya.

Ajang sebesar ini, tentu menjanjikan jaringan yang juga luar biasa, dengan berkumpulnya banyak orang besar, orang penting dalam dunia PR dari berbagai negara dan institusi. Sebagai perhelatan pembuka, penyelenggara telah menyelenggarakan Highlights of IPRA 2010 pada 12 Desember 2009 lalu di Hotel Twins Plaza, Jakarta Barat.

Semoga, Konferensi IPRA Indonesia berjalan sukses dan memberikan banyak pencerahan dan masa depan lebih baik bagi para profesional dan praktisi humas Indonesia !

Senin, 04 Januari 2010

PUBLISITAS, ANEH ?*!#@?

Sebuah institusi vital pemerintah di awal tahun 2010, tepatnya di hari kerja pertama, Senin, 4 Januari 2010 memasang iklan ucapan selamat tahun baru. Berbagai, atau tepatnya banyak pihak tentu ... baik itu pegawai hingga pejabat tinggi di dalam institusi itu pun riuh berkomentar, tak terkecuali istri para pegawai. Wah, menarik ya ?

Fenomena yang muncul antara lain adalah, "aneh". Waduh ? Ironisnya, komentar tersebut justeru muncul dari pegawai setingkat manajer ke atas. Aneh ?

Dalam pandangan humas tentu publisitas semacam ini bukan hal aneh. Bahkan cenderung biasa saja. Ucapan selamat tahun baru bisa dibilang common practice yang banyak dilakukan dalam kegiatan humas yang sifatnya calendar event, alias berdasarkan penanggalan atau hari-hari besar dalam kalender. Maka, sering kita temui dalam surat kabar atau televisi berbagai pihak dari individu, isntitusi, perusahaan, consumer products hingga partai menyapa konsituennya, stakeholdernya, pelanggannya memanfaatkan hari-hari besar tersebut. Tujuannya, tentu ... meningkatkan popularitas. Itulah publisitas yang dilakukan dengan membayar ruang dan waktu dari media massa.

Kembali lagi, fenomena ini merupakan bukti, contoh kasus betapa terbatasnya pengentahuan para pelaku manajerial tentang kegiatan kehumasan. Masalahnya, fenomena inilah yang merupakan cikal bakal terhambatnya para profesional dan praktisi humas dalam berkiprah di dunia empiris di Indonesia. Pendek kata, bagaimana tentara akan pergi berperang, bila jenderalnya tidak tahu apa itu perang, apalagi tahu soal strategi ?

Yang lebih menyedihkan lagi, begitu banyak seminar, pelatihan dan konferensi digelar tentang kehumasan. Terlepas dari 'industri pelatihan' yang menjadi komoditi banyak EO, kenyataannya, para pekerja humas tiada hentinya berupaya meningkatkan kemampuan dalam bidang kehumasan, sementara para manajernya, pengambil keputusannya, tak sedikit juga bertambah ilmu pengetahuan dan wawasannya tentang humas. Maka jurang pun semakin lebar terbentang.

Wahai para humas muda Indonesia, sudah waktunya kita bangkit, dan melakukan terobosan yang besar .... ! Selamat bekerja !