Senin, 13 Desember 2010

KEISTIMEWAAN YOGYA

Sejak ide SBY digulirkan menyoal keistimewaan Yogyakarta yang dianggapnya monarki, isu pun kini telah meninggalkan fase pro dan kontra. Hari ini, DPRD 1 DIY mengadakan sidang terbuka bersama ribuan masyarakat Yogyakarta untuk menentukan sikap atas isu keistimewaan Yogyakarta.

Hasilnya, 6 dari 7 fraksi DPRD 1 Yogyakarta secara tegas menyatakan sikapnya menghendaki penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-X dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Ketegasan sikap DPRD 1 dan ribuan masyarakat Yogyakarta menggambarkan dengan jelas layaknya perjalanan sebuah isu pada teori Agenda Setting yang tengah bergulir hingga klimaknya di akhir (lihat http://www.firllydiahrespatie.blogspot.com/).

Sejak fase pertama kali isu keistimewaan muncul, fase pro dan kontra yang menimbulkan berbagai reaksi opnion leader, kini perjalanan isu ini telah memasuki fase pengambilan keputusan oleh elit. Setidaknya, elit pada level middle telah menetapkan sikapnya. Kini tinggal menunggu elit pusat, apa keputusannya.

DISKUSI KABAR PETANG TV ONE
Diskusi kabar petang TV One sore ini menghadirkan Prof. Edi S, seorang keponakan Sultan yang juga ketua DPRD 1 DI Yogyakarta, Yoeko Indra Agung Laksana dan seorang ipar Sultan menyuguhkan perdebatan yang menarik. Sebagai seorang akademisi, jelas pandangan Prof. Edi sangat berimbang dan linier, apa adanya. Maka wajar bila beliau mengatakan bahwa "Gubernur harus kompatibel, artinya jabatan Gubernur memiliki persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh seluruh Gubernur di Indonesia. Turun-temurun tak jadi soal, asalkan tetap kompatibel itu tadi, memenuhi syarat kelayakan." Lebih jauh Prof. Edi juga mempertanyakan atau mungkin mengajak untuk bersama-sama mencari tahu dan memastikan kembali letak kesitimewaan Yogyakarta itu ada di mana ?

Menanggapi hal itu, keruan saja baik keponakan maupun ipar Sri Sultan menyatakan "sangat tidak setuju." Yang tak kalah penting dan perlu dipahami dalam persoalan ini adalah bahwa masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta memaknai kedua Rajanya itu sebagai "satria kembar" yang dicintai rakyatnya, dan sejarah telah membuktikan hal itu. Pada prinsipnya, Sultan sebagai raja bersifat monarki hanya sebatas tembok keraton. Namun sebagai Gubernur dan Kepala Pemerintahan, Sultan layaknya warga negara biasa, tanpa 'keistimewaan" apa-apa.

Menanggapi publikasi media massa khususnya TV One soal "Maklumat 5 September 1945" ipar Sri Sultan pun secara tegas mengoreksi bahwa pernyataan 5 September 1945 itu adalah amanat bukan maklumat. Beliau mengingatkan bahwa amanat dan maklumat adalah dua hal yang sangat berbeda maknanya.

Pandangan Prof. Edi S tersebut juga bisa disalahtafsirkan seakan-akan keberadaan kedua Raja yang memipin pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini tidak kompeten.

OPINI LEADER
Sudah banyak tokoh berbicara menanggapi ide SBY menyoal pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ini. Tak kurang dari Presiden ke-3 RI, BJ. Habibie pun mengomentari dan menyayangkan polemik ini. Daoed Jusuf, mantan Mendikbud yang orang Aceh kelahiran Medan itu, dalam surat kabar nasional Senin, 32 Desember 2010 tegas mengatakan, "Yang istimewa itu daerahnya, bukan orangnya !" Sementara Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim tak kalah pedas berkomentar, "Jangan menggaruk yang tidak gatal, jangan membuat gejolak sosial yang dampaknya sulit dikontrol." Masih di harian yang sama, Pramono Anung menilai, "Yang membuat resah masyarakat Yogyakarta bukan semata gubernur dipilih atau ditetapkan., tapi mereka menagih komitmen antara Sultan HB IX dan Bung Karno dalam pendirian Republik Indonesia." Pramono juga menilai bahwa kalangan Istana seolah tidak memiliki alternatif lain kecuali pemilihan Gubernur Yogyakarta.

Komentar berbagai elemen masyarakat lokal Yogyakarta dan berbagai daerah lainnya bisa jadi dianggap subyektif. Namun pandangan para opinion leader tentu merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sementara sikap rakyat Yogyakarta hari demi hari semakin nyata dengan keinginannya. Berhentinya para pedagang pasar Bringharjo pada rapat paripurna DPRD 1 DIY Senin lalu merupakan sikap spontan.

Konon, demokrasi itu adalah alat, bukan tujuan. Yang menjadi tujuan adalah kepentingan rakyat, kesejahteraan dan kemakmurannya. Bila keinginan rakyat sudah demikian jelas, tegas, lugas begini, bukankah ini sebuah mufakat dari sebuah proses demokrasi. Bila pemimpin tidak juga menganggap itu sebagai sebuah pendapat yang nyata, maka sesungguhnya siapa yang tidak demokratis ? Pemimpin ataukah rakyatnya ?

Minggu, 12 Desember 2010

PROFESIONALISME KONSULTAN

Suatu masa sekitar tahun 2003-2004, sebuah perusahaan plat merah memutuskan untuk menggandeng sebuah konsultan humas dan media. Agendanya apa, tampaknya tidak terlalu jelas bagi para pelaksana yang berada di tingkat pelaksana. Pasalnya, secara organisatoris bagian humas di perusahaan plat merah itu keberadaannya secara struktural ada di unit kedua terendah, namun bertanggung jawab langsung kepada top level management. Nah soal gandeng-menggandeng konsultan itu rupanya keputusan top level management. Wajar bila para pelaksana di bagian humas itu tak tahu menahu secara detil kepentingan konsultan humas itu direkrut.

Yang pasti, konsultan humas tersebut menempatkan stafnya dua kali dalam seminggu di perusahaan. Tugasnya yang nampak adalah media monitoring. Hasil kerjaannya berupa kliping mingguan yang formatnya biasa-biasa saja dan tidak lebih baik dari format yang telah dilakukan oleh perusahaan. Yang lebih menyedihkan lagi, tampaknya sang konsultan tidak belajar tentang profil clientnya dengan cepat dan seksama. Alhasil, jadilah hasil kerjaan mereka berupa 'media monitoring' itu berupa kliping sederhana yang tidak lebih baik, dengan isi yang tidak ada relevansinya dengan kegiatan dan keberadaan perusahaan clientnya itu. Fatal bukan ?

Belum lagi, sang petugas konsultan yang berkantor di perusahaan plat merah itu, seringkali datang bercelana jeans, bertas punggung, bersepatu olah raga bertali tanpa kaos kaki dan berpakaian sangat kasual. Padahal, perusahaan plat merah itu kebetulan memiiki peraturan yang sangat konservatif, termasuk soal pakaian. Dalam hal ini, jelas sang konsultan tidak menghargai aturan main yang berlaku di perusahaan clientnya.

Lain kesempatan, sebuah perusahaan plat merah juga mengundang konsultan untuk berbagi informasi mengenai sesuatu hal. Pada hari yang dijanjikan, yang datang adalah petugas-petugas muda usia dua puluhan. Mereka berpakaian kasual, berkaos yang miring kanan miring kiri, bercelana jeans, bersepatu datar yang juga sangat kasual, rambut tidak tersisir rapi, tidak bermake up pantas. Saat pertemuan dimulai, para petugas itu hanya mengeluarkan catatang kecil berupa bloknote dan berdiskusi tanpa presentasi !

Penampilan memang bukan segalanya. Tapi sopan santun, etika tetap nomor satu. Kesiapan berjualan pun menjadi modal. Bila semua hal ini tidak terpenuhi, lalu bagaimana para konsultan ini akan mendapatkan pekerjaan dari para calon pengguna jasanya ?

Kadang, hal sepele seperti ini terabaikan oleh perusahaan-perusahaan konsultan. Padahal konsultan-konsultan tersebut memiliki CEO yag sangat berkelas. Sayangnya, kadang mereka belum tentu mampu menularkan keilmuannya yang berkelas itu kepada para prajuritnya. Keputusannya dalam menentukan petugas yang datang kepada calon pengguna jasa juga sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Mendatangkan petugas yang tidak rapi dan tanpa persiapan ke perusahaan besar tentu sangat beresiko terhadap hilangnya peluang. Kecuali para perusahaan konsultan itu memang tidak tertarik untuk melayani perusahaan yang mengundang.

Kamis, 25 November 2010

KOMUNIKASI JURUSAN FAVORIT PT INDONESIA

Fenomena dunia pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan fakta yang menarik. Saat ini, ilmu komunikasi dan teknologi informasi menjadi jurusan favorit di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Para calon mahasiswa menjadikan kedua jurusan ini sebagai favorit karena dianggap memiliki peluang memperolehan pekerjaan jauh lebih baik dan beragam di masa depan !

Perkembangan dunia usaha saat ini sangat dipengaruhi oleh agresivitas kegiatan komunikasi dan kemajuan teknologi di segala aspek. Sebagai gambaran, dunia usaha saat ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan industri media yang semakin memegang peranan nyata. Kehidupan dan interaksi sosial masyarakat pun sangat diwarnai oleh perkembangan jejaring sosial dan pemberitaan televisi. Kecenderungan saat ini bahkan, dunia industri berlomba-lomba menafaatkan semua jejaring sosial untuk mendukung aktivitasnya. Karenanya, tak salah bila kedua jurusan ini menjadi favorit di seantero perguruan tinggi di Indonesia.

Fakta ini tentu merupakan sebuah kabar baik bagi perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia pada masa yang akan datang. Ketertarikan 'pasar' pada ilmu komunikasi dalam prosesnya akan bermuara pada pemahaman masyarakat luas mengenai berbagai profesi turunan ilmu komunikasi secara lebih baik lagi. Pemahaman ini pun terjadi pada dunia kerja sehingga pada gilirannya akan memperbaiki dan meningkatkan posisi tawar para praktisi dan profesional komunikasi di dunia kerja.

Bukan rahasia lagi, sebuah profesi memerlukan rentang waktu tersendiri untuk mencapai dan mendapatkan tempat yang semestinya melalui proses pembelajaran yang tidak sebentar. Khususnya bagi profesi turunan ilmu sosial, kelompok ini akan menghadapi persoalan yang jauh lebih rumit.

Satu dekade lalu, profesi humas atau public relations sempat menjadi primadona di dunia kerja. Para calon mahasiswa berlomba-lomba memasuki jurusan hubungan masyarakat di berbagai perguruan tinggi dan universitas di dalam dan luar negeri. Namun kondisi itu ternyata berdampak 'berbeda' pada dunia kerja. Ternyata, masa itu dunia empiris masih menterjemahkan profesi humas sebagai porfesi yang bersifat seremonial belaka. Itulah sebabnya profesi itu selama satu dekade lebih perkembangannya masih diisi oleh publik figure, bukan oleh para prfesional yang berbekal akademis mumpuni.

Kini, waktunya telah tiba, ilmu komunikasi memasuki tahap selanjutnya menuju posisi yang selayaknya. Selamat berjuang para profesional dan cendekia komunikasi Indonesia ! Pada waktunya, ilmu komunikasi akan menjadi profesi yang mendapat pengakuan yang layak dan semestinya, baik pada area kerjanya itu sendiri maupun penghargaan atas profesionalismenya. Selamat !

Sumber : Media Indonesia, 23 November 2010

Jumat, 15 Oktober 2010

MANAJEMEN KRISIS KASUS CHILE

Drama penyelamatan 33 orang penambang Coldeco di Chile telah menyita perhatian dunia. Ke-33 penambang tersebut terperangkap di kedalaman 700 m di perut bumi sejak 5 Agustus 2010, akibat runtuhnya dinding terowongan sehingga menutup jalur lalu lintas penambang. Kondisi diperburuk dengan terjadinya runtuhan berikutnya pada 7 Agustus 2010 yang kali ini menutup akses ventilasi bagi para penambang.

Walaupun telah berhasil diselematkan pada rabu, 13 Oktober 2010, namun ke-33 penambang itu telah terperangkap selama 69 hari atau lebih dari 2 (dua) bulan ! Masa-masa paling menentukan adalah saat mereka benar-benar terputus dari dunia luar pada 5 - 22 Agustus 2010 atau selama 17 hari !

Komitmen dan keseriusan Chile dalam menyelamatkan ke-33 penambang itu tak lepas dari peran Sebastian Pinera, sang Presiden. Tak berlebihan rasanya bila proses penyelamatan ke-33 penambang Chile ini menjadi kajian ilmiah sekaligus empiris yang sangat menarik dan begittu menginspirasi banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu !

Dalam telaah ilmu kehumasan, penanganan kasus Chile menunjukkan pentingnya pengelolaan krisis (management crisis) secara terencana, yaitu :
  1. PLANNING, Pemerintah Chile dikomandanin langsung sang Presiden, Sebastian Pinera langsung merapatkan barisan dan menyusun sejumlah rencana. Setidaknya disusun 3 (tiga) rencana ; A, B dan C untuk penyelamatan ke-33 korban. Yang luar biasa dari upaya realisasi ketiga rencana tersebut adalah bahwa ketiganya dilaksanakan secara simultan, bersamaan !
  2. ORGANIZING, Sebastian Pinera melakukan koordinasi dan konsolidasi internal segala hal yang berkaitan dengan upaya penyelamatan ini. Untuk mengumpulkan dana, Pinera menghimbau seluruh perusahaan pertambangan yang ada di Chile untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk membiayai misi kemanusiaan ini, utamanya kepada perusahaan pertambangan besar. Pinera juga mendesak  kejaksaan setempat agar gaji para pekerja yang terperangkap tersebut dapat dicairkan agar keluarga korban dapat tetap melanjutkan kehidupannya. Sejumlah psikolog juga ditugaskan guna memantau perkembangan mental para pekerja dari atas permukaan bumi. Untuk pengadaan alat bantu, Pinera tidak sungkan-sungkan menghubungi seluruh negara di dunia termasuk PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk turut membantu dan memberikan kontribusi terhadap proses penyelamatan ini. Hasilnya, AS melalui NASA pun membantu menciptakan "phoenix" kapsul yang digunakan sebagai wahana untuk mengangkat ke-33 pekerja dari dalam perut bumi. NASA pula yang menyiapkan sejumlah bahan makanan ala astronot dengan kandungan gizi tinggi bagi seluruh korban selama dalam masa penyelamatan. Bahkan para pakar tentang aktivitas dalam ruang terbatas NASA pun dihadirkan dan terus 'mendampingi' para korban selama proses penyelamatan ini berlangsung. Seorang ahli pengeboran asal AS yang tengah di Afghanistan pun ditarik ke Chile dan bekerja tanpa henti selama lebih dari 33 hari untuk memantau proses pengeboran secara seksama. Menurut pemberitaan televisi, konon Pinera juga mendapat bantuan pmerintah Australia untuk proses pengeboran tersebut serta pemerintah Jepang untuk memfasilitasi perangkat komunikasi bagi para korban dan para petugas penyelamat di permukaan;
  3. ACTUATING, proses penyelamatan ke-33 korban penambangan Chile ini begitu fenomenal karena misi penyelamatan tersebut mendapat perhatian serius media massa. Hal ini dapat terjadi tidak terlepas dari peran Pinera sebagai seorang pemimpin yang begitu sungguh-sungguh berupaya menepati janjinya, menyelamatkan ke-33 korban dengan berbagai upaya yang mampu dilakukan manusia, berpapun biayanya ! Tak kalah penting, Pinera mengedapankan pendekatan kemanusiaan dalam penyelamatan ke-33 korban. Artinya, pendekatan manusiawi menjadi pilihan yang sangat menentukan keberhasilan misi penyelamatan ini. Hasilnya, Pinera mendapatkan dukungan besar baik dari dalam negeri maupun negara-negara di seluruh dunia;
  4. CONTROLLING, Selama proses penyelamatan ini dilakukan, Pinera berkali-kali menyambangi lokasi kejadian dan berkomunikasi langsung dengan para korban. Pinera juga membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Eropa untuk mengawasi proses penyelamatan ini secara langsung di lokasi kejadian berbaur bersama tim penyelamat yang lain. Bukan itu saja, sang ibu negara pun terlihat melakukan hal yang sama, turun langsung dan memberikan dukungan moril sebagai bentuk lain dari upaya pengawasan baik kepada para korban maupun tim penyelamat. Hal tak kalah penting dalam tahap ini adalah, bahwa ke-33 korban berada dalam pengawasan ahli gizi dan menjalani diet ketat agar mereka dapat menggunakan kapsul 'phoenix' yang hanya berdiameter 60 cm ! Menjelang diangkutnya satu demi satu para korban, mereka pun telah disiapkan kaca mata khusus untuk mengantisipasi perubahan yang sangat ekstrim pada penglihatan para korban setelah 69 hari tidak merasakan cahaya & sinar matahari. Para korban juga disediakan media komunikasi secara visual yang memungkinan mereka berkomunikasi dengan anggota keluarga. Keberadaan keluarga menjadi motivasi terbesar yang menjadikan mereka memiliki semangat untuk bertahan dan terus hidup. Sebaliknya, para psikolog baru mengijinkan para korban membaca surat kabar pada beberapa hari terkahir untuk menjaga kestabilan mental mereka;
  5. EVALUATING, Pinera sekali lagi menunjukkan keseriusannya dalam penanganan kasus kecelakaan kerja ini, terutama menyangkut kesehatan mental para korban. Untuk itu, dipastikan ke-33 korban tersebut akan berada dalam pengawasan psikolog selama 6 bulan ke depan ! Hal ini menjadi sangat penting, karena secara mental para pakar psikolog mengkhawatirkan bahwa para korban berpeluang mengalami perubahan mental secara ekstrim. para korban sangat mungkin berubah menjadi pribadi yang jauh lebih kuat secara mental, juga sebaliknya !
Misi penyelamatan bagi penambang Chile ini, selain telah ditangani dengan baik sesuai prosedur pengelolaan krisis (management crisis) juga tidak terlepas dari sejumlah hal penting lainnya, antara lain :
  1. LEADERSHIP, Misi penyelamatan penambang Chile ini bukan kisah mengenai Sebastian Pinera sang Presiden. Namun 'drama' penyelamatan ini tidak terlepas dari peran Pinera yang sangat menentukan. Dalam penanganan musibah ini Pinera menunjukkan kepemimpinannya secara baik dan tepat. Pinera memegang teguh komitmen dan melakukan pendekatan kemanusiaan secara menakjubkan, human relations, hubungan manusiawi. Pentingnya kepemimpinan juga telah ditunjukkan oleh para korban. Mereka telah membuktikan kepada dunia mengenai pentingnya kebersamaan, kepatuhan dan kepercayaan kepada pemimpin hingga kerja sama. Seandainya di antara ke-33 korban ada yang tidak patuh kepada Uzura sang ketua kelompok saat itu, bisa jadi ceritanya akan berbeda. Kepatuhan seluruh pekerja kepada pemimpinnya dalam mengatur porsi makan, jam kerja dan shift jaga, simulasi fasilitas penerangan layaknya siang dan malam, dll, belum tentu mereka akan terselamatkan seperti saat ini;
  2. MEDIA MASSA, kecerdasan emosional Pinera dalam menangani masalah ini segera mengundang simpati dan menjadi daya tarik luar biasa bagi media massa. Maka ibarat teori Agenda Setting, strategi dan kebijakan yang dilakukan Pinera pun menjadi agenda media yang pada gilirannya menjadikan elit dunia 'melakukan eksekusi' dengan memberikan bantuan sesuai yang dibutuhkan. Konon dram penyelamatan ke-33 korban tambang Chile ini menyaingi pemberitaan perkawinan dongeng Lady Diana, Pemakaman Lady Diana dan pemakaman Paus Yohanes Paulus II yang ditonton lebih dari jutaan penonton di seluruh dunia secara langsung ;
  3. FILOSOFI, Pemberian nama "phoenix" pada kapsul pengangkut para korban mengandung filosofi yang diyakini masyarakat Chile. "Phoenix" adalah nama burung yang konon hidup kembali dari abu hasil pembakaran tubuhnya sendiri ! Harapannya, tentu saja kapsul "Phoenix" dapat membawa kembali kehidupan para korban dengan mengangkutnya hingga selamat ke permukaan; 
  4. ACUAN-STUDI KASUS, Kasus Chile ini, bagaimanapun menjadi contoh kasus keberhasilan misi penyelamatan kecelakaan kerja khususnya di industri pertambangan. Segala hal yang menyangkut keberhasilan misi penyelamatan ini layak menjadi studi kasus bagi penanganan kasus-kasus serupa bila terjadi lagi;
  5. INSPIRASI, Tak bisa dipungkiri, tragedi Chile ini telah menginspirasi semua orang di seluruh dunia. Mengenai pentingnya niat baik, perencanaan yang matang, kerja sama, konsolidasi internal, kepemimpinan, motivasi, peran media massa dan arti kehidupan itu sendiri.

Rabu, 06 Oktober 2010

CSR

Corporate Social Responibility (CSR) dalam perkembangannya menjadi sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan humas. Ada banyak pemahaman mengenai CSR. Sebagian menganggapnya sebagai bagian dari pekerjaan humas (PR) khususnya humas eksternal. Namun tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai kegiatan tersendiri yang independen terlepas dari kegiatan humas.

Di Indonesia, secara legal keberadaan CSR pun belum memiliki keseragaman. Pada dasarnya pemerintah telah mengatur mengenai kegiatan CSR bagi perusahaan khususnya perusahaan yang berbentuk PT. Berdasarkan undang-undang tersebut maka seluruh perusahaan berbadan hukum PT wajib tunduk dan melakukan CSR sesuai ketentuan. Sementara pada perusahaan berbentuk badan usaha lain seperti BUMN maupun BUMD pun menjadi abu-abu keberadaannya menyangkut kewajibannya terhadap kegiatan CSR.

Berbeda dengan PT, pada BUMN dikenal sebagai PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) atau (PUKK) Program Usaha Kecil Kerakyatan. Pada pelaksanannya, anggaran PKBL atau PUKK pada BUMN telah ditentukan pemerintah dengan kewajiban alokasi dana anggaran sedikitnya 2% dari  keuntungan.

Untuk pelaksanaannya sendiri di lapangan, pengelolaan dana CSR baik di lingkungan PT maupun BUMN relatif sama. Bahwa pada dasarnya pengelolaan program CSR dapat berbentuk hibah dan pinjaman dengan bunga rendah atau tanpa bunga.

Sebuah contoh penerapan CSR yang dilakukan oleh sebuah badan usaha baru-baru ini adalah program laptop murah yang diluncurkan sebuah superstore asing yang kini mayoritas sahamnya dimiliki oleh TransCorp. Sebagai penjual retail raksasa, superstore ini menargetkan program CSR-nya pada bidang pendidikan khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Idenya sangat cemerlang, yaitu meluncurkan mini note (laptop) dengan harga murah.

Realisasi penjualan laptop murah ini didasari oleh riset pasar yang cukup mendalam untuk mengetahui kebutuhan pasar yang sesungguhnya tentang piranti tersebut. Berdasarkan hasil riset tersebut diketahui bahwa pasar ternyata tidak menginginkan lapotop kelas 2. Mereka tetap menginginkan produk dengan merek yang terkenal dengan kualitas yang terjamin dan spesifikasi mumpuni. Hasilnya, superstore ini pun menggaet pemain laptop besar dunia Toshiba dan software Microsoft sehingga berhasil meluncurkan sebuah mininote Toshiba 10' dengan Windows 7 original seharga Rp. 3,2 juta saja ! Fantastik !

Mekanisme pembelian mininote itu pun terbilang cukup fair. Cukup melampirkan kartu pelajar atau rapor, maka siswa dapat membeli mininote yang diidam-idamkan itu, berikut dengan penawaran modem serta gratis internet selama 1 (satu) bulan ! Terobosan yang yang sungguh sangat berani dan luar biasa ! Bagaimanapun, program CSR ala superstore ini merupakan contoh bentuk CSR yang realistis dan tepat sasaran. Sementara pada libur Ramadhan dan Lebaran lalu, sejumlah perusahaan besar lain pun tak kalah hebat dengan program mudik gratisnya ke seantero daerah menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Rabu, 01 September 2010

PELECEHAN PROFESI HUMAS

Senang rasanya mengamati perkembangan diskusi dalam mailist Perhumas belakangan ini. Para praktisi, profesional dan calon sarjana komunikasi hari-hari ini tengah ramai mendiskusikan 'pelecehan' profesi Humas (PR) dan perlunya latar belakang akademis bagi profesi menantang ini. Setidaknya, akhirnya komunitas ini pun menyadari berbagai persoalan nyata yang menghadang mereka. It would be better late than nothing.

Pada akhirnya, para ilmuwan, praktisi dan profesional Humas yang berbasis ilmu komunikasi kehumasan harus berbesar hati untuk berbagi lahan akan profesi penting mereka dengan para praktisi lain yang sama sekali tidak memiliki latar belakang akademis tentang ilmu komunikasi kehumasan.

Menyikapi akan hal ini, seharusnya, bagaimanapun, para praktisi dan profesional Humas yang berbasis ilmu komunikasi kehumasan memiliki nilai lebih dibandingkan para pelaku Humas yang sama sekali tidak memiliki bekal ilmuan atau hanya bermodalkan kursus singkat. Humas adalah sebuah profesi serius. Humas adalah pekerjaan manajerial. Humas adalah pekerjaan terencana, terkonsep dan terevaluasi. Jadi humas bukan pekerjaan pelengkap.

Dalam mailist Perhumas diketahui bahwa seorang mahasiswa ilmu humas mendapatkan pertanyaan tidak menyenangkan yang mengesankan bahwa ilmu humas adalah ilmu yang tidak penting untuk dipelajari. Kasus ini adalah kasus yang terjadi masih dalam dunia teori. Sementara pelecehan profesi humas dalam dunia empiris lebih banyak lagi.

Contoh sederhana saja, berapa lama anda menyusun konsep surat dinas internal untuk atasan anda ? Di banyak instansi bisa jadi masih ada seorang direktur muda yang masih mengerjakan sendiri surat dinas internal. Maksudnya tentu baik, tapi sekali tidak kompeten ya tetap tidak kompeten. Alhasil surat yang dibuat pun mengalir dengan tidak efisien dalam penggunaan kata, tidak teratur dalam struktur dan penuh dengan anak kalimat. Hasilnya, sebuah paragraf terdiri dari satu kalimat yang terdiri dari 2, 3, bahkan 4 anak kalimat yang memusingkan tanpa jeda !

Begitulah, yang demikian itu sangat jamak dalam dunia kerja. Para bos itu mengira, menulis itu pekerjaan sepele dan remeh temeh, padahal mereka tidak bisa. Namun karena mereka tidak tahu, bahwa seorang ilmuwan humas pun bisa sekolah hingga jadi profesor tanpa harus berkepala botak dan pikun, maka mereka pun melecehkan kompetensi SDM berbekal ilmu komunikasi-kehumasan. Tak heran, untuk membuat sebuah surat dinas internal pun akhirnya membutuhkan waktu seharian dan menghambur-hamburkan kertas hasil print-out yang dianggap tidak sesuai dengan 'keinginan' si bos !

Untuk yang kesekian kalinya, adalah para ilmuan maupun praktisi dan profesional humas yang berbasis ilmu komunikasi harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Mereka harus eksis dan menjadi tuan rumah di profesinya sendiri ! Namun, mereka tetap harus cerdas dalam berupaya. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara konservatif dengan meyakinkan top level management tentang pentingnya peran humas secara sporadis di masing-masing institusi di mana mereka bekerja.

Kemajuan keberadaan profesi humas Indonesia membutuhkan DUKUNGAN REGULASI  dan INTERVENSI PEMERINTAH secara signifikan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan akselerasi reposisi Humas Indonesia di dunia kerja. Tanpa itu semua, social dan economic cost yang terbuang sangatlah besar dan tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung, dibandingkan dengan bila lingkungan kondusif diciptakan.

Kita tunggu saja, walaupun agak lamban, tapi toh akhirnya satu demi satu persoalan itu toh mereka sadari juga. Mungkin pada saatnya mereka juga akan menyadari bahwa ternyata mereka tidak bisa berjuang sendiri untuk memajukan komunitasnya. Bagaimanapun sebagai salah satu elemen bangsa dan negara, ilmuwan, praktisi dan profesional Humas memiiliki bos besar, yaitu pemerintah yang punya tanggung jawab untuk memajukan bangsanya. Maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk andil dalam hal ini. Tinnggal, pintar-pintar saja para pelaku Humas ini untuk memanfaatkan previledges yang dimilikinya. Sekali lagi, jangan putus semangat, selamat berjuang Humas Indonesia !

Selasa, 31 Agustus 2010

HUMAS ADALAH INVESTASI !

Situasi dunia global saat ini telah memaksa setiap bidang usaha untuk melakukan re-adaptasi terhadap terpaan globalisasi yang maha dasyat ini. Sapuan globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi akhirnya membuat dunia usaha, mau tidak mau perlu melakukan transformasi di dalam organisasi / badan usahanya. Alasannya tentu, agar usaha dapat terus bertahan dalam tsunami persaingan yang ketat, dengan 'menghilangnya' koridor ruang dan waktu saat ini.

Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi kini mampu membuat sebuah isu yang muncul di belahan dunia barat bergulir dengan cepat di detik yang sama hingga belahan dunia timur. Tidak hanya itu, bahkan kemudian isu tersebut mampu menggerakan sentimen pasar yang mengguncangkan transaksi ekonomi maupun politik di seluruh dunia dalam waktu yang bersamaan.

Itulah sebabnya, banyak perusahaan di Indonesia sedikitnya dalam 5 (lima) tahun terakhir beramai-ramai mencanangkan kebijakan strategis perusahaan berani berupa transformasi organisasi. Namun yang menarik, kebijakan tersebut tidak terlalu populer dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sebaliknya, kebijakan transformasi organisasi justru banyak dilakukan oleh sejumlah instansi pemerintah atau badan usaha milik negara.

Sebut saja PERTAMINA, perusahaan migas plat merah ini termasuk pionir dalam mencanangkan gerakan transformasi. Tidak hanya itu, PERTAMINA pun tergolong matang menetapkan periode pencanangan transformasi perusahaan dalam kurun waktu sedikitnya 15 (lima belas) tahun. Tak kalah penting, komitmen PERTAMINA akan kebijakan transformasi tampak mendapat dukungan penuh dari stakeholdernya, baik publik internal maupun eksternal. Publisitas yang berkesinambungan dan terjaga, sangat membantu terbentuknya dukungan tersebut. Terbukti, betapapun PERTAMINA mengalami beberapa kali pergantian manajemen, komitmen organisasi akan transformasi tetap terjaga.

Contoh lainnya adalah KEPOLISIAN RI dengan reformasi kepolisian RI pada medio 2009 lalu. Walaupun menyebut dengan sebutan berbeda, namun pada hakekatnya KEPOLISIAN RI telah bertekad untuk melakukan perbaikan secara besar-besaran dalam organisasinya agar menjadi lebih baik. Pencanangan gerakan reformasi kepolisian RI ditandai dengan umbul-umbul bertuliskan tata nilai baru organisasi yang diusung KEPOLISIAN RI.

Berikutnya adalah PT. ANGKASA PURA, juga dengan transformasinya. ANGKASA PURA berkomitmen melakukan perombakan berbagai bidang dalam organisasi agar menghasilkan kinerja dan layanan yang lebih baik lagi. Selain ketiganya tentu masih banyak perusahaan lain yang juga melakukan transformasi saat ini.

Tak kalah seru adalah transformasi yang dilakukan oleh Dirjen Pajak. Keseriusan Dirjen Pajak dalam melakukan kampanye wajib pajak seakan tergilas dengan kehebohan kasus korupsi GT. Tapi setidaknya dalam hal ini terlihat bahwa sejak awal Dirjen Pajak cukup serius dan intens dalam mengkomunikasikan transformasinya kepada stakeholder, khususnya wajib pajak melalui media massa.

Masalahnya, kadangkala manajemen tidak menyadari bahwa transformasi pada dasarnya adalah sebuah perubahan budaya orgasasi atau korporasi. Bahwa sebuah transformasi adalah sebuah perubahan menyeluruh yang mengenai seluruh elemen organisasi dan merupakan sebuah kegiatan komunikasi dengan target tertinggi dan paling kompleks seringkali tidak dimengerti oleh pengambil keputusan.

Sebuah transformasi organisasi tentu ditujukan kepada seluruh stakeholder, baik publik internal maupun publik eksternal. Sasaran transformasi sebuah organisasi tentu bukan sekedar untuk diketahui (kognisi), tapi lebih dari itu. Transformasi organisasi butuh dukungan berupa sikap positif (afeksi) dan perilaku nyata berupa perubahan itu sendiri (behaviour). Bila menilik target yang harus tercapai dalam sebuah transformasi organisasi maka mustahil rasanya bila organisasi bertransformasi tanpa didukung oleh anggaran yang relevan !

Komitmen saja tidak cukup, organisasi harus realistis bahwa perubahan (mobilisasi) membutuhkan biaya. fenomena yang terjadi di sejumlah institusi dan perusahaan menunjukan bahwa lambannya proses transformasi bahkan gagalnya proses transformasi sangat dipengaruhi oleh terbatasnya dana secara signifikan. Sebaliknya, keberhasilan sebuah proses transformasi sangat terkait dengan itensitas komunikasi yang cukup tinggi, salah satunya melalui media massa, dan itu jelas butuh biaya. Hal ini merupakan salah satu contoh dari berbagai hal yang dibutuhkan dalam sebuah proses tarnsformasi yang berhasil dan sesuai rencana.

Humas adalah investasi ! Fenomena transformasi membuktikan hal itu. Jadi, jangan lagi berdebat apakah humas merupakan unit kerja cost centre atau provit centre ? Pertanyaan itu sungguh tidak relevan ! Namun, tidak menutup kemungkinan pada masanya, bila humas organisasi telah menjadi state of being yang profesional dan bukan sekedar methodes of communications, maka humas dapat menjadi provit centre bagi perusahaan !

Well, top level management anda belum "Melek PR" ? Kini giliran anda meng-educate mereka. Direktur juga bukan manusia super, ada banyak hal lain di dunia ini yang mereka juga tidak tahu, termasuk soal keberadaan kegiatan PR. Maka sudah menjadi tugas andalah para praktisi dan profesional PR untuk memulai itu. Tidak usah ragu berbagi dengan siapa saja, termasuk kepada top level management sekalipun. Yakinkan kepada mereka, bahwa PR mempunyai peran penting dalam memajukan organisasi, khususnya dalam menyiapkan stakeholder yang 'tailor made' alias sesuai pesanan dalam arti yang mendukung operasional perusahaan. Untuk itu, tentu harus bayar, dan anda pun layak dibayar mahal dengan profesionalisme anda untuk itu. Well, selamat berjuang !

Selasa, 03 Agustus 2010

FUEL PUMP, PERTAMINA vs SPBU KUNING

Sudah sebulan ini, para pengendara mobil direpotkan dengan kasus rusaknya fuel pump, yaitu alat pemompa bahan bakar dalam rangkaian mesin mobil. Masalahnya, rusaknya fuel pum (rotaks) ini seperti sebuah kerusakan berjamaah yang dialami oleh banyak pengendara mobil termasuk ribuan armada taksi. Persoalan rusaknya fuel pump berjamaah ini kemudian menjadi persoalan yang memicu berbagai persoalan lainnya.

Diduga, rusaknya fuel pump kendaraan disebabkan karena rendahnya kualitas premium Pertamina. Dalam beberapa kali pemberitaan di televisi sejumlah komunitas berkendara roda empat telah melakukan observasi terhadap kandungan premium Pertamina. Mereka menemukan bahwa premium buatan Pertamina mengandung unsur-unsur tertentu sehingga menyisakan ampas yang menyebabkan fuel pump harus bekerja ekstra keras hingga akhirnya jebol dan gagal memompa dan mengalirkan bahan bakar dari tangki menuju mesin.

Dalam temuan mereka terlihat ampas yang dihasilkan premium yang tersisa dalam fuel pump sangat mengejutkan. Ampas tersebut berwarna hitam dan berbentuk padat, dalam arti serbuk yang jumlahnya cukup banyak dan menghalangi kerja fuel pump. Secara teknis, fuel pump (rotaks) ini mungkin berkaitan dengan masalah filter atau penyaringan bahan bakar sebelum dialirkan ke dalam mesin.

Nah, apa persoalan selanjutnya ?
  1. Strategi pemasaran Pertamina. Masyarakat menduga, kasus kerusakan fuel pump berjamaah merupakan upaya Pertamina untuk mengalihkan pengguna premium, sebagai bahan bakar bersubsidi kepada bahan bakar yang non subsidi, yaitu pertamax. Masalahnya, pada beberapa kasus, pertamax pun ternyata idak sebaik yang diharapkan. Artinya, walaupun telah mengunakan pertamax, masih saja fuel pump jebol. Pada beberapa kasus, fuel pump telah dibersihkan seharusnya mampu bertahan sedikitnya hingga 5 (bulan). Kenytaannya, walau telah diisi pertamax, tetap saja fuel pump-nya jebol kurang dari 3 (tiga) minggu;
  2. Keuntungan SPBU Kuning. Gejala di lapangan, yang terlihat justru adalah hal yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Akibat rendahnya kualitas premium Pertamina, masyarakat bukan beralih kepada pertamax namun justru membeli bahan bakar merek lain milik kompetitor, misalnya SPBU Kuning. Saat ini, tingkat kunjungan pengendara di SPBU Kuning relatif meningkat. Walaupun harganya lebih mahal dibandingkan premium, namun bahan bakar termurah si SPBU Kuning kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kualitas pertamax. Itulah yang dirasakan para pengendara;
  3. Spare part fuel pump langka, harga melangit. Sudah menjadi hukum pasar, saat barang sedikit, maka harga akan melangit. Begitulah, akibat begitu banyaknya kendaraan yang fuel pump-nya jebol, maka permintaan akan fuel pump pun meroket. Padahal, harga fuel pump orisinil untuk sebuah kendaraan buatan jepang 1000 cc saja mencapai Rp. 1 juta lebih ! Bila ditambahkan dengan ongkos, bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian yang ditanggung oleh pengendara mobil karena kerusakan tersebut ?
Analisa :
Sayangnya, dalam perkembangan masalah ini, sebagaimana umumnya kesalahan yang seringkali dilakukan para praktisi humas, mereka tidak merespon dan mensupply informasi secara intens kepada publik. Selain itu, seringkali mereka juga bersikap defensif. Ingat kasus insiden patwal Presiden SBY di pintu tol Cibubur, sang jubir pun bersikap defensif. Sementara Ibu Ani Yudhoyono dalam hitungan seminggu langsung menyampaikan permohonan maafnya, dan kasus pun selesai, menjadi antiklimak.

Secara teknis, belum tentu Pertamina terbukti bersalah. Namun sebagai operator milik nasional, seharusnya Pertamina dapat bersikap lebih agresif dalam merespon situasi ini. Karena akibatnya, masyarakat justeru beralih kepada SPBU Kuning atau SPBU Biru, dan bukan ke pertamax. Bila skenario seperti yang diduga masyarakat adalah benar, bahwa insiden ini merupakan strategi Pertamina untuk mengalihkan pembeli kepada bahan bakar yang tidak bersubsidi, setidaknya Pertamina melakukan 2 (dua) kekeliruan. Pertama, Pertamina melakukan strategi pemasaran yang tidak etis. Kedua, Pertamina kehilangan pasar.

Artinya, dalam sebuah kasus, besar kemungkinan terjadi kronologi atau perkembangan di luar perkiraan yang berpotensi merugikan sebuah institusi. Dalam hal ini Pertamina harus berhati-hati menyikapi kasus yang kini telah menjadi isu nasional ini. Bila humas tidak tanggap dan mampu mengendalikan kasus ini dengan baik, maka dapat menimbulkan krisis dan memburuknya reputasi institusi yang bersangkutan.

Apalagi, kalau ternyata Pertamina sesungguhnya tidak pernah menskenariokan kejadian ini. Seharusnya Pertamina secara tanggap merespon keluhan para pelanggannya. Seringkali kita melupakan hal yang sepele. Empati. Karenanya, pelanggan butuh direspon dengan cepat. Tidak harus solusi cepat secara just in time, tapi respon yang cepat itu bisa menyelamatkan larinya kepercayaan publik terhadap organisasi.

Jumat, 30 Juli 2010

SKKNI Bidang Kehumasan goes to BUMN !

Dalam Konvensi Nasional Humas 21 - 22 Juli 2010 lalu di Jakarta, penerapan sertifikasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Kehumasan menjadi sebuah materi yang sangat krusial dibicarakan pada setiap sesi. Sejak awal diluncurkan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. 039/Menakertrans/II/2008, SKKNI Bidang Kehumasan nyaris menjadi dokumen tak termanfaatkan karena tidak tersosialisasi lebih dari 2 (dua) tahun lamanya sejak KepMen itu diluncurkan.

Kabar baiknya, Mustafa Abubakar, Menteri Negara BUMN, selaku pembicara kunci dalam KNH 2010 mendukung penuh realisasi penerapan SKKNI Bidang Kehumasan dalam dunia kerja, khususnya di jajaran kementrian BUMN. Artinya, dalam kurun waktu tidak terlalu lama, BUMN akan menerapkan SKKNI Bidang Kehumasan bagi pekerja kehumasan di setiap BUMN di bawahnya melalui SKB 3 (tiga) Menteri, yaitu Menteri BUMN Negara BUMN, Menteri Kominfo & Menakertrans.

Harus diakui bahwa keseriusan Meneg BUMN akan hal ini menjadi breaktrough bagi kemajuan kehumasan di jajaran instansi pemerintah khususnya di BUMN. Maka, tak lama lagi para pelaku humas di jajaran BUMN mau tidak mau harus memiliki sertifikasi atas kompetensinya di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih dari itu, pelaku humas di jajaran BUMN akan mengetahui seberapa jauh kompetensi individu dalam tim humasnya berdasarkan 4 (empat) kategori.

Sesuai Kep Menakertrans no. 039/Menakertrans/II/2008, sertifikasi kehumasan Indonesia terbagi dalam 4 kategori meliputi :
  1. Sertifikasi III (Humas Junior)
  2. Sertifikasi IV (Humas Madya)
  3. Sertifikasi V (Humas Ahli)
  4. Sertifikasi VI (Humas Manajerial)
Sementara kompetensi Bidang kehumasan itu sendiri terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, meliputi :
  1. Kompetensi Umum (7 kompetensi)
  2. Kompetensi Inti (55 kompetensi)
  3. Kompetensi Khusus (9 kompetensi)
Bila jajaran BUMN telah melakukan sertifikasi bagi seluruh pelaku humasnya, mereka dapat memperoleh banyak manfaat, antara lain ;
  1. Mengetahui peta kekuatan kompetensi individu jajaran humas di masing-masing BUMN. Artinya, bila para pelaku humas di jajaran BUMN telah mengikuti sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan, dengan sendirinya akan diketahui kecenderungan kompetensi SDM humas secara umum, apakah sebagaian besar merupakan humas junior, madya, ahli atau manajerial;
  2. Mendorong pelaksanaan Satuan Kerja Individu (KPI)- Key Performance Indicator (KPI) secara obyektif. Saat ini, Kementerian Negara BUMN tengah mendorong seluruh BUMN di bawahnya untuk menjadi perusahaan berkelas dunia yang mengglobal. Salah satunya adalah dengan perombakan sistem manajemen SDM dengan memberlakukan SKI atau KPI. Nah, bila jajaran BUMN telah melakukan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan bagi para pelaku humasnya, tentu ini akan membantu pelaksanaan KPI secara lebih obyektif dengan standar yang jelas dan berlaku nasional serta profesional. Bahwa belum semua profesi memiliki standar kompetensi yang telah berlaku secara nasional dan diakui secara sah oleh pemerintah, maka SKNNI Bidang Kehumasan merupakan bukti nyata, bahwa profesi humas merupakan sebuah profesi yang serius bukan profesi pelengkap yang dapat dilakukan oleh sembarang orang, atau bahkan oleh orang-orang buangan ;
  3. Acuan Job Description. SKKNI Bidang Kehumasan dengan sedikitnya 71 (tujuh puluh satu) kompetensinya, jelas menggambarkan tanggung jawab pekerjaan humas yang sesungguhnya. Dengan demikian, SKKNI Bidang Kehumasan ini dapat menjadi acuan bagi pelaku humas di jajaran BUMN. Bukan rahasia lagi, jajaran BUMN dan instansi pemerintah pada umumnya selama ini memiliki pemahaman yang sangat sempit mengenai profesi humas. Akibatnya, peran humas di berbagai instansi dan badan pemerintah ini tidak lebih dari peran administrasi, seremonial dan segala hal yang remeh temeh dan tidak penting sama sekali. Peran humas seperti itu sama sekali tidak mencerminkan peran humas yang sesungguhnya sebagai fungsi manajemen yang berpikir strategis dan visioner;  
  4. Membangun karir dan persaingan sehat. Pemberlakukan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan di jajaran BUMN tentu akan menjamin terselenggaranya kaderisasi dan pembangunan karir di antara pelaku humas secara obyektif berdasarkan persaingan yang sehat. Sertifikasi ini akan merontokkan sistem kenaikan pangkat berdasarkan senioritas yang selama ini berlaku di jajaran BUMN yang seringkali menafikkan kompetensi dan profesionalisme. 
Pada dasarnya, pemberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan di jajaran BUMN yang dicanangkan Meneg BUMN, Mustafa Abubakar merupakan sebuah terobosan yang sangat fenomenal dan layak disikapi secara positif. Persoalannya kemudian adalah pemerintah pun perlu melakukan pengawasan terhadap jalannya proses sertifikasi itu sendiri agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Intinya, pemeberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan ini menjamin terwujudnya obyektivitas dan reposisi profesi humas secara menyeluruh, baik secara organisatoris maupun individu. Bagaimanapun, produk SKKNI Bidang Kehumasan ini sudah dapat diandalkan dan membatasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam realisasinya dengan uraian-uraian yang lengkap.

Namun, euforia pemeberlakuan SKKNI Bidang Kehumasan, harus diimbangi dengan pengawasan beberapa aspek menyangkut pelaksanaan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan ini, antara lain meliputi :
  1. Komitmen terhadap jaminan profesionalisme sesungguhnya. Sekali lagi, berdasarkan fenomena, gejala yang sering terjadi dalam instansi pemerintah, bahwa beragam fungsi termasuk sertifikasi dalam instansi pemerintah tidak lebih dari formalitas belaka. Artinya, semoga badan sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan nantinya tidak melakukan 'jual beli' sertifikasi dengan nilai tertentu;
  2. Penyempurnaan. Ilmu pengetahuan dan profesi berjalan selaras dan terus mengalami perkembangan. Demikian halnya dengan SKKNI Bidang Kehumasan. Tentunya di masa yang akan datang SKKNI ini akan mengalami penyempurnaan terhadap kompetensi-kompetensi lain yang belum terakomodir dalam SKKNI Bidang Kehumasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kep Menakertrans no : 039/Menakertrans/II/2008;  
  3. Keterwakilan. Sebagai sebuah profesi yang terbuka, maka keterwakilan dari berbagai kalangan atas penyususnan SKKNI dan sertifikasi profesi ini harus terpenuhi. Artinya, dalam pelaksanaan SKKNI Bidang Kehumasan ini perlu melibatkan kalangan akademisi, profesional serta pemerintah secara proporsional agar legitimasi atas sertifikasi profesi ini menjadi kuat dengan dukungan penuh seluruh pihak;
  4. Pengawasan Sertifikasi. Selayaknya, penyelenggara sertifikasi adalah sebuah badan yang independen namun memiliki kewenangan yang relevan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kericuhan di masa yang akan datang;
  5. Sosialisasi. Sosialisasi pun menjadi syarat mutlak yang harus diupayakan agar pelaksanaan SKKNI Bidang Kehumasan dapat terwujud sesuai tujuan. Karenanya, sosialisasi harus dilakukan di berbagai kalangan yang berkaitan dengan profesi kehumasan, yaitu kalangan akademisi (mahasiswa), institusi pemerintah maupun swasta (pengguna) serta konsultan (penyelenggara jasa humas independen). Dengan demikian, para mahasiswa dan sarjana komunikasi khususnya calon pelaku humas dapat mempersiapkan diri terhadap penguasaan berbagai kompetensi yang akan menjadi nilai lebih atas dirinya, dan hal itu akan berbanding lurus dengan penghargaan serta pendapatan yang akan diperolehnya dalam dunia kerja. Sementara bagai institusi pengguna, sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan pun dapat menjadi filter bagi perekrutan SDM humas secara selektif namun praktis. Tak kalah penting, sertifikasi SKKNI Bidang Kehumasan bagi kalangan konsultan dapat menjadi kriteria, syarat mutlak yang tidak dapat ditawar dan menjadi nilai jual bagi penjual jasa konsultasi ini dengan para pengguna jasanya sebelum melakukan transaksi.   
Well, lega rasanya walau lambat namun SKKNI Bidang Kehumasan akhirnya bergulir juga, bahkan dimotori oleh jajaran BUMN sebagai pioner. Ini adalah kesempatan emas bagi seluruh pelaku profesional humas di mana saja, khususnya di jajaran BUMN. Ini saatnya bagi kita untuk diperhitungkan dan diapresiasi sebagaimana seharusnya. Ini saatnya bagi para pelaku humas untuk mewujudkan cita-citanya, berperan secara profesional sebagai fungsi manajemen dengan pemikiran-pemikiran strategis dan visioner ke depan bagi kemajuan organisasi dan bangsa ! Selamat !

Rabu, 28 Juli 2010

SENSE OF BELONGING

Sebuah organisasi pemerintah, yang hampir setengah abad keberadaannya, bahkan bisa jadi lebih, bahkan bisa jadi sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaannya, bahkan besar kemungkinan negara ini tak mungkin eksis, diakui dunia, secara teknis, tanpa peran penting organisasi yang satu ini ! Subhanallah ....

Berpuluh tahun merambat, mencoba berdiri, berupaya tegak nan kokoh, bertaruh tenaga, keringat, darah dan nyawa ! Berbekal kesederhanaan, nilai-nilai tradisional, kampungan, kekerabatan, kekeluargaan tapi juga berjuta pengabdian dan loyalitas yang bisa jadi melampaui semangat tentara yang dibekali bedil dan pangkat ! Menjadi bagiannya merupakan sebuah takdir, panggilan, pilihan teramat sulit serta ujian kesabaran yang menjadi ladang amal hingga hayat dikandung badan ....

Di tengah peradaban yang maha dasyat, di tengah tornado globalisasi bersaut tsunami, ia berjuang agar tidak tenggelam, agar tidak terserak, agar tidak terkoyak, ibarat kapal sarat muatan terhantam badai di tengah lautan, di malam gelap. Tujuan perjuangannya hanya satu, adalah harkat dan martabat bangsa dan negara ini, bukan keselamatan para penumpang kapal di dalamnya ! Karena mereka tahu, tanpa keberadaan mereka, negara ini terancam marabahaya. Karena mereka tahu, para penumpang hanyalah alat belaka untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihormati seluruh bangsa di dunia.

Namun, jangankan tim SAR, sekoci penyelamat pun tak tersedia bagi para syuhada bangsa dalam 'kapal' jihadnya. Maka mereka pun harus berjuang sendiri, hingga entah kapan, karena tak satu pun di luar kapal mereka yang peduli dan terpanggil untuk memberikan pertolongan apalagi tersadar bahwa kapal para syuhada ini nyaris karam ....

Hingga suatu masa, perang melawan kemunduran pun ditabuhkan. Semangat menjulangkan nama besar pun diteriakkan !  Kekuatan membangun impian pun dikobarkan ! Cita-cita mengarungi seluruh samudera dan berkeliling dunia pun dibangkitkan ! Walau hanya berbekal nilai-nilai kesederhanaan, kenaifan, keluguan dan keyakinan. Bissmillahirrahmanirrahim, dayung kapal pun dikayuhkan lebih kencang !

Padahal kapal itu, dikayuh oleh pelaut-pelaut renta yang telah termakan usia. Pandangannya mulai kabur, kekuatannya mulai melemah, ketampanannya mulai sirna. Tapi mereka, mungkin karena kecintaannya, enggan digantikan oleh pelaut muda. Dan mereka, mungkin karena kebanggaan akan profesinya yang langka, berat hati menyerahkan tongkat estafet kepada penerusnya. Maka tak heran, akibatnya, kapal pun berjalan lambat, sangat lambat, bahkan terombang-ambing dalam pusaran yang kuat dan tak tentu arahnya.

Para syuhada tua itu lupa, mungkin karena kesetiaannya yang besar pada bangsa, bahwa sesungguhnya segala hal di dunia yang fana ini ada akhirnya, tak terkecuali keberadaan mereka. Mereka mungkin lupa, bahwa segala sesuatu itu ada siklusnya, itulah sebabnya mereka tak rela tergantikan oleh syuhada muda.

Sementara para pelaut tua yang renta tertatih berjuang, para pelaut muda yang kokoh terdiam, hanya mampu memandang tanpa sedikit pun kesempatan, seorang ahli bintang nyaris bisu tak berkawan. Sementara pula, para preman kapal leluasa menguasai seisi kapal dengan intimidasinya.

Maka dapat dibayangkan, di saat kapal sarat muatan itu sesungguhnya tengah membutuhkan kekompakan dan kerjasama seluruh syuhadanya, dan di saat kapal yang mereka naungi & tempat mereka menggantungkan hidup serta keselamatan tengah berjuang melawan badai, di antara mereka sendiri justru timbul perpecahan.

Nahkoda dan mualimnya pun bersikukuh dengan pandangan dan yakin dengan ilmunya masing-masing. Maka, para syuhada yang bertikai pun tak terpisahkan. Maka kapal yang mulai retak dan bocor di mana-mana karena lapuk termakan usia dan hantaman ganasnya ombak pun tak terperhatikan, apalagi kelihatan, kecuali air laut yang semakin deras memasuki ruang-ruang kapal. Dan hanya segelintir orang yang sadar, bahwa kapal yang mereka tumpangi bersama nyaris tenggelam !

Dan sayang sungguh teramat sayang, di saat seluruh seisi kapal berjuang mengayuh sekuat tenaga, berjuang menaklukan ganasnya badai, bahkan berjuang melawan kesangsiannya sendiri atas kemampuannya mewujudkan mimpi-mimpi mulia, sang nahkoda justru sibuk memandang, mengagumi, bahkan berusaha agar ia menjadi nahkoda di kapal lain !

Bukan hal yang aneh bila manusia menghendaki segala sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah mereka miliki selama ini. Tapi, bukankah seorang nahkoda kapal adalah seharusnya menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal, bahkan saat kapalnya terhantam badai dan mulai tenggelam ? Maka seluruh penumpang kapal adalah menjadi tanggung jawabnya, seluruhnya, hingga kapal merapat, tiba di tujuan hingga selamat. Tak bisa dibayangkan seandainya, seorang nahkoda berpindah kapal, di tengah badai lautan, menyelematkan dirinya sendiri dan meninggalkan seluruh penumpangnya dalam ketidakpastian ....

RASA MEMILIKI (SENSE OF BELONGING)  itu bukan sesuatu yang bisa direkayasa. Rasa memiliki itu ibarat cinta. Cinta itu datang dengan sendirinya. Maka betapapun pahitnya, bila cinta akan tetap cinta. Sebaliknya, betapapun indahnya, bila tidak cinta tetap tidak cinta. Tapi cinta bisa ditumbuhkan walaupun menumbuhkan cinta butuh waktu serta pembuktian. Namun cinta juga bisa terjadi kapan saja, bahkan pada pandangan pertama. Tapi cinta tidak bisa dipaksakan !

Yang demikian ini sungguh menyedihkan. Sebuah mekanisme mungkin sudah menjadi keharusan, keharusan yang dibuat oleh manusia, walaupun menimbulkan resiko maha besar. Maka tidak seluruh teori dapat diwujudkan. Maka ilmu pengetahuan pun tertunduk diam ....

Bahwa sebuah organisasi seharusnya memiliki Public Relations Officernya sendiri dan bukan konsultan, karena alasan yang mendasar adalah itu, rasa memiliki (sense of belonging). Mereka akan bekerja sekuat tenaga, sepenuh hati, dengan rasa cinta. Berbeda dengan konsultan, mereka akan bekerja karena uang, berapa besar bayarannya, itu pun belum tentu menggambarkan sebesar itu pula perjuangan bagi sebuah organisasi yang telah membayarnya.

Lalu bagaimana halnya dengan pemimpin organisasi atau perusahaan ? Bukankah seluruh kebijakan berasal dari padanya ? Semua nasib elemen organisasi tergantung padanya ? Maka bila ia bersikap layaknya konsultan profesional, ia pun tak lagi bisa diharapkan punya cinta, karena tak pernah merasakan perjuangan sejak awal.

Maka setiap makhluk hidup berdampingan dalam sebuah tataran. Bahwa manusia pun hidup dalam aturan. Bahwa etika pun merupakan salah satu aturan yang sesungguhnya memiliki kekuatan dan tuntutan pertanggungjawaban moral lebih besar. Maka sang nahkoda yang demikian itu sungguh sangat tidak beretika dan telah mengecewakan, menyakiti, bahkan menipu para penumpangnya. Tak ada jaminan keselamatan yang seharusnya menjadi hak mereka hingga tiba di tujuan ....

Kasus seperti ini membuktikan, bahwa berdasarkan teori memang demikian. Ilmu pengetahuan menyandingkan das sein dan das solen  sebagaimana adanya. Bahwa rasa memiliki hanya dimiliki oleh mereka yang menjadi bagian dari sebuah organisasi yang telah berjuang seiring usia organisasi yang bersangkutan. Itulah sebabnya, rasa memiliki perlu senantiasa dipelihara dengan cara-cara yang tepat.

Namun sebaliknya, rasa memiliki itu bukan given, bukan pemberian. Tak bisa dipaksakan. Sebuah organisasi yang menghadapi fenomena demikian secara teori jelas menanggung resiko dan mempertaruhkan nasibnya secara tidak jelas. Maka upaya untuk menyelematkan diri tentu menjadi sebuah perjuangan yang teramat berat. Ada 2 (dua) hal yang menjadi prioritas dalam kasus ini, mempertahankan organisasi dan menyelematkan diri sendiri. Tapi menyelamatkan diri sendiri adalah perkara 1 orang, paling banyak 5 - 10 orang, yaitu keluarga yang dinafkahinya. Tapi nasib organisasi yang keberadaannya menyangkut masa depan bangsa ini, tentu jauh lebih prioritas, karena menyangkut harga diri dan martabat bangsa seluruhnya !

Selasa, 27 Juli 2010

HUMAS itu "RUMAH MODE"

Pada perhelatan Konvensi Nasional Humas (KNH) 2010 lalu hadir sebagai pembicara salah satunya adalah mantan Wapres RI, Jusuf Kalla, yang kini menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia. Tentulah, sebagai seorang negarawan dan tidak memiliki bekal akademis soal humas, JK punya pandangan tersendiri mengenai humas.

Pada hari Kamis, 22 Juli 2010, JK pun menyampaikan pandangannya tentang humas. Ada banyak hal menarik menyangkut pandangan JK tentang humas, antara lain :
  1. Humas yang terbaik adalah pengambil keputusan itu sendiri. Dalam hal ini, JK benar. Tapi menurut JK pemimpin adalah mengambil keputusan, humas tidak mungkin melakukan hal itu. Pemimpin memutuskan, humas yang melakukan. Well, untuk hal yang ini, JK tentu salah besaaaaaaaaaar !!! Ha3x ... wajar, beliau bukan cendekiawan humas, apalagi pakar komunikasi, namun beliau ahli berdebat & berpidato, itu pasti !
  2. Humas adalah "salon". Mengapa ? Katanya, humas memberikan sentuhan sehingga segala sesuatu menjadi bagus. Humaslah yang mengubah sesuatu yang tampaknya jelek jadi bagus, yang memang jelek jadi tidak terlalu jelek, yang sudah bagus jadi semakin bagus. Ha3x ... penggambaran sederhana yang ada benarnya. Tapi tentu, ada banyak hal lain yang lebih mendasar dari sekedar mempercantik bukan ?  
  3. Humas adalah "Rumah Mode". Ha3x ... kalau saat di awal pembukaan presentasinya beliau bilang humas adalah salon, di akhir presentasinya beliau katakan humas adalah rumah mode. Benang merah keduanya adalah, mempercantik, memperindah penampilan. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, walaupun ada benarnya namun masih ada hal lain yang lebih utama yang perlu diluruskan;
  4. Apapun yang dijual tidak akan berhasil bila tanpa tindakan. Betul, di sini JK bicara actuating, pelaksanaan. Secara ilmiah, humas adalah fungsi manajemen yang proses kerjanya diawali dengan perencanaan hingga evaluasi. Hebat, dengan pengalamannya yang seabrek JK paham soal itu;
  5. Buatlah langkahnya, baru juallah langkah itu ! Ha3x .. walaupun agak tidak runut, tapi JK tahu, bahwa memulai segala sesuatu adalah dari ide, rencana, program, baru dilaksanakan. Well, terasa bukan, bahwa humas merupakan salah satu fungsi manajemen !
JK juga menggambarkan keberhasilan kerja humas dalam kasus Bom Bali 1. Saat itu, pemerintah melakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut :
  1. Wujudkan rasa aman. Caranya dengan penempatan petugas polisi secara lebih proporsional sehingga menimbulkan rasa tentram di antara masyarakat dan wisatawan di Bali. Intinya, sesungguhnya adalah PROPAGANDA dengan maksud menjamin rasa aman;
  2. Menyediakan alat bagi personil keamanan secara tepat guna.Caranya dengan menambah alat komunikasi (HT), senjata api hingga kendaraan patroli. Intinya, ALAT;
  3. Bentuk Tim Krisis. Tepat, dalam setiap situasi genting, mutlak dibentuk tim krisis yang dapat berkomunikasi dan menyediakan informasi kapan saja 24 jam. Intinya, AKSES;
  4. Mengembalikan pasar. Caranya, meningkatkan wisatawan domestik sebagai daya tarik dengan kebijakan libur kejepit. Intinya, PROMOSI. Ibarat dagang, buy one get one. Satu hari libur nasional, berhadiah satu hari libur yang lain. Cemerlang !
  5. Liputan. Semua hal tersebut harus terekspos media dalam dan luar negeri sehingga proses recovery berjalan sesuai dengan harapan. Intinya, MEDIA RELATIONS, EKSPOS MEDIA
Berikutnya, JK menegaskan bahwa humas bertugas bagaimana hal baik dimengerti dengan baik, tidak disalahartikan. Menurutnya, humas memiliki tugas 3 (tiga) hal :
  1. to convince (meyakinkan)
  2. to persuade (mempengaruhi)
  3. to change (mengubah)
Secara teori, fungsi komunikasi memang meliputi 3 (tiga) tingkatan :
  1. Kognisi, memberitahu
  2. Afeksi, membentuk sikap
  3. Behavioural, mengubah perilaku
Ha3x ... ! Hebat 'kali bapak yang satu ini. Tak mengherankan beliau begitu cerdas dalam setiap debat capresnya beberapa waktu lalu, meskipun tidak berhasil memenangkan pilpres !

Kasus berikutnya yang dikupas oleh JK adalah kebijakan kenaikan harga BBM hingga 125% yang terhitung aman tanpa gejolak ! Kuncinya dalam setiap mengambil keputusan adalah 2 (dua) hal :
  1. Tahu betul background, latar belakang masalah
  2. Tahu betul kebijakan itu sendiri
Kembali lagi, bila mengacu pada teori, kedua alasan itulah sesungguhnya yang mendasari mengapa posisi humas harus berada pada TOP LEVEL MANAGEMENT ! Artinya, karena dalam posisi itulah humas dapat mengetahui setiap latar belakang keputusan yang diambil dan menguasai permasalahan itu sendiri.

Selanjutnya, JK berpendapat bahwa humas harus mampu menyampaikan hal baik tapi berdampak buruk, dengan cara yang tepat sehingga dapat dimengerti dan diterima dengan baik oleh publik. Strateginya :
  1. Kurangi resikonya;
  2. Buat kebijakan yang tepat;
  3. Kuasai teknologi;
  4. Kuasai masalah dan berani berdebat !
Sebagai penutup, JK menyampaikan 3 (tiga) hal penting yang harus diperhatikan para pelaku humas :
  1. Jangan berbohong !
  2. Convince berasal dari trust ! (Keyakinan timbul dari kepercayaan yang berhasil dibangun sebelumnya)
  3. Mengurangi effect (dampat) !
Demikianlah, pandangan seorang negawaran tentang humas. Dengan pengalamannya dalam dunia usaha dan sebagai politikus serta pejabat negara, pemahaman JK tentang humas tentu tidak terlalu buruk. He knows public relations by practice but not in science.

Kenyataannya, humas sebagai salah satu fungsi manajemen perannya tentu sangat berbeda dengan apa yang telah diungkapkan JK. Peran humas pada dasarnya adalah sangat strategis. Jadi, humas bukanlah pelaksana keputusan para pemimpin, tapi humas memang pengambil keputusan.

Selayaknya keberadaan humas secara organisatoris sebagai state of being, yaitu sebagai bagian yang telah melembaga dalam sebuah struktur organisasi maka humas memiliki syarat mendasar bagi optimalisasi kinerjanya, yaitu keberadaan pada pucuk pimpinan. Itulah sebabnya, keberadaan humas selayaknya adalah pada Top Level Management.

Persyaratan keberadaan humas secara keilmuan, saat ini telah terakomodir dalam SKKNI Bidang Kehumasan melalui Kep Menakertrans Nomor : 039/Menakertrans/II/2001 dengan klasifikasi jabatan humas meliputi :
  1. Humas Junior
  2. Humas Madya
  3. Humas Ahli
  4. Humas Manajerial
Keempat strata tersebut mensyaratkan tingkat penguasaan keahlian dari yang paling teknis sederhana hingga kemampuan konseptual yang kompleks. Jadi pekerjaan humas bukan sebatas pada kegiatan seremonial belaka tapi hingga proses pengambilan keputusan dan lobbying.

Artinya, peran humas bukan hanya mempercantik diri dari luar, tapi juga ibarat jamu yang mempercantik diri dari dalam dengan penguasaan berpikir strategis, terkonsep dan visioner.

Hikmah dari presentasi JK ini adalah, setidaknya para pelaku humas memiliki gambaran nyata tentang keberadaan humas yang sesungguhnya. Bila di mata negarawan sekelas mantan Wakil Kepala Negara saja, peran humas belum terlalui diketahui dengan baik, artinya pelaku humas Indonesia punya banyak hal yang harus dipikirkan ke depan.

Di satu sisi, bisa jadi kondisi tersebut menjadi early warning dan pelaku humas boleh merasa kecewa dengan minimnya pemahaman para pemimpin bangsa ini tentang peran humas yang sesungguhnya sangat besar. Namun di sisi yang lain, para pelaku humas menjadi tahu hal sebenarnya, seberapa serius permasalahan yang dihadapi oleh profesional humas selama ini sehingga dapat memotivasi para pelaku humas untuk lebih mengupayakan keberadaannya agar lebih diakui dengan peran yang jauh lebih strategis. Nah, semua ini kini berpulang pada Anda bukan ? Selamat berjuang !!!

Senin, 26 Juli 2010

HUMAS & NETWORK

Saat menghadiri sebuah luncheon talk menyoal kehumasan, seorang kawan bertanya "Apa sih manfaatnya mengikuti kegiatan-kegiatan atau organisasi-organisasi kehumasan seperti ini ?". Waduh, ya apa ya ? Pertanyaannya sederhana, tapi kok ya ga' ada jawabannya yang ... gimana gitu.

Seringkali, saat kita menghadiri atau mengikuti berbagai seminar, konvensi atau bergabung di organisasi, apa yang kita peroleh selama beraktivitas di sana memang tidak seberapa signifikan. Bisa jadi secara akademis, kita jauh lebih menguasai ilmunya, secara jam terbang, pengalaman kerja kita lebih senior, secara organisatoris keberadaan kita sudah eksis, lalu untuk apa, apa manfaatnya ? Mungkin itu sebabnya sahabat tadi bertanya ....

Network. Kadangkala kita lupa, bertemu dengan banyak orang hebat di waktu yang sama, seharian, atau berhari-hari, itu ... sebuah kesempatan yang langka ! Makanya, kalaupun berbagai manfaat yang disebut di atas itu tidak seberapa besar dapat diperoleh, tapi sesungguhnya menghadiri sebuah pertemuan profesional dalam kegiatan seminar, konvensi atau berorganisasi itu sangat berguna bagi pelaku humas untuk membangun jaringan (network) kerja.

Materi pertemuan bisa jadi tak seberapa, namun lobbying yang berhasil kita bangun selama acara berlangsung itulah nilainya ! Saat-saat seperti inilah para pelaku humas berpeluang untuk mempelajari banyak hal lain di luar dirinya sendiri, tanpa harus repot-repot menelepon, beranjang sana ke berbagai rapat (meeting) formal, berkirim surat resmi untuk menyanyakan informasi tertentu, yang semuanya itu makan waktu dan tidak praktis. Sebaliknya, dengan hadir dalam seminar satu - dua hari saja, kenalan baru bertambah, informasi mengenai banyak hal dari rekan sejawat yang hanya bisa ditemui melalui ajang seperti ini pun ter-up-date.

Sayangnya, banyak sekali di antara kita, saat memiliki kesempatan bagus ini justru berkumpul dengan koloninya sendiri dan sibuk be'reuni' dan bukan membicarakan sesuatu yang proggresif. Alhasil ya ... jaringan pun tidak bertambah. Bahkan ada kalanya peserta saat rehat pun menyendiri dan tidak berusaha membuka diri untuk mengenal peserta lain.

Don't judge the book by it cover, jangan menilai buku dari sampulnya, demikian pepatah mengatakan. Nah, itu pulalah yang sering terjadi saat kita berada dalam komunitas baru, sering terburu-buru menilai orang lain dari penampakan luarnya saja. Tidak terkecuali pelaku humas. Merasa diri sendiri sudah eksis, bekerja di perusahaan multi nasional, pertambangan, perminyakan, dst. dengan jabatan sudah oke, maka ga' mau lagi berinteraksi dengan orang lain.

Namun, fenomena seperti itu sangat lazim terjadi. Bahkan dalam lingkungan organisasi sendiri saja, seringkali saat kantor kita menerima tamu, para pejabat atau pemimpin perusahaan kita lebih memilih ngariung dengan koleganya sesama perusahaan ketimbang berbaur dengan para tamu dan tim-nya ! Maka, hal yang demikian itulah yang akhirnya kita pelajari, akibatnya kita jadi ga' gaul deh.

Membangun jaringan dalam tataran teknis itu adalah sebuah soft skill. Jadi mungkin tak ada pelajarannya selama di sekolah. Namun bukan orang humas namanya kalau tak mampu membangun jaringan. Jadi, jangan takut untuk out of box ! Kenalilah komunitas lain di luar sana. Ada banyak hal berharga yang perlu kita tahu dan pelajari di sana. Siapa tahu, dengan keberhasilan kita membangun jaringan, pada saatnya akan membawa kita kepada keberhasilan pula dalam berkarir.

Tips dalam membangun jaringan, antara lain :
  1. Lakukan ice-breaking, cairkan suasana dengan perkenalan dan dilanjutkan dengan topik pembicaraan yang universal;
  2. Segera bertukar identitas, siapkan kartu nama, bertukar nomor telepon, berteman dalam jejaring sosial dengan teman yang baru dikenal;
  3. Terus berhubungan, keep in touch, ini tidak mudah, tapi sangat penting diupayakan. Kenal saja tapi tidak dijaga silaturahminya, maka menjadi tak mesra !
  4. Bertukar pengalaman, pelajari kemajuan apa saja yang dimiliki kawan baru. Sebaliknya, cari tahu problema apa yang ditemuinya. Siapa tahu, pengalaman mereka dapat menjadi referensi kita dalam bekerja;
  5. Ingat baik-baik nama teman baru kita, wajarlah kalau manusia pengen ngetop. Serasa diri sendiri paling eksis sehingga lupa nama teman. Namun mengingat dengan baik nama teman adalah resep jitu mereka tetap menghargai anda !
  6. Bersikap ramah, bersahabat, toleran, pokoknya semua yang baik-baik dah ! 
  7. Hindari topik pembicaraan yang sensitif seperti SARA, politik dan penyakit/sakit;
Well, bukan hal yang sulit 'kan ? Pada dasarnya tips di atas merupakan tips yang sangat biasa. Tapi kadang kita terlupa bagaimana caranya. Jadi, selamat membangun jaringan sebanyak-banyaknya !

Senin, 19 Juli 2010

OKNUM PATWAL

Pertengahan Juli 2010 lalu, media masa diramaikan oleh tulisan pembaca di salah satu surat kabar nasional yang mengeluhkan oknum pengawal presiden. Sebuah insiden dialami oleh si penulis surat saat baru meninggalkan pintu tol Cibubur, bersamaan dengan iring-iring kendaraan Presiden SBY saat melewati kawasan yang sama dan tengah dalam perjalanan menuju Cikeas.

Intinya, dalam hiruk-pikuk itu si penulis yang ternyata adalah seorang pekerja media mengalami intimidasi dari salah satu oknum pengawal akibat kesalahpahaman. Intimidasi itu berlangsung selama sepuluh menit dan telah mengakibatkan anak sang jurnalis mengalami trauma. Padahal, insiden terjadi karena perkara kecil, kesalahpahaman, akibat perintah yang datang lebih dari satu orang oknum yang memerintah secara tumpang tindih, bertubi-tubi, ditujukan kepada si wartawan, dalam waktu yang bersamaan sehingga menimbulkan kebingungan. Wajar, siapapun yang mengalaminya tentu akan bingung dan panik. Akibat respon si penulis dengan kendaraannya atas aba-aba yang diperintahtahkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka sang petugas pun naik pitam dan terjadilah intimidasi itu dengan berbagai kata-kata kasar disertai ancaman.

Intinya dalam permasalahan ini, si wartawan merasa tidak nyaman dengan perlakuan si oknum karena telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan dengan intimidasinya tanpa memberikan kesempatan padanya untuk memberikan penjelasan. Sang wartawan pun dalam tulisannya menghimbau agar Presiden SBY lebih banyak tinggal di istana sehingga tidka menimbulkan hal demikian di kemudian hari.

Bagaimana respon istana ? Juru bicara presiden merespon secara normatif dan malah membeberkan prosedur protokoler pengawalan presiden secara teknis di berbagai kesempatan wawancara di televisi. Lalu, apa kata Presiden ? Masih menurut keterangan juru bicara Presiden, Presiden menginstruksikan untuk dilakukan investigasi lebih lanjut tentang insiden tersebut. Jadi, menyikapi hal ini tak usahlah bicara lagi kemuliaan hati presiden bahwa selama ini beliau sudah bangun cukup pagi untuk menyiasati kemacetan jalan raya, beliau sudah meminta agar prosedur waktu penutupan ruas jalan tidak terlalu lama, dan sebagainya. Bukannya rakyat tidak menghargai upaya yang sudah dilakukan Presiden. Tapi bukan dari sudut pandang atau pendekatan itu harapan akan penyelesaian masalah ini sebaiknya diupayakan. Akibatnya wacana yang muncul kini, adalah agar Presiden menggunakan helikopter, tapi bukankah itu menjadi biaya ? Dan, wacana itu tjelas idak populis di tengah persoalan ekonomi yang dihadapi bangsa selama ini.

Yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah ini adalah permohonan maaf dan empati, itu saja. Rakyat tidak mungkin memeras presidennya 'kan ? Lagi pula, rakyat pun tahu bahwa di negara manapun merupakan hal yang wajar bila presiden memiliki prosedur protokoler pengawalan. Persoalan dalam hal ini, yang utama adalah perlakuan oknum pengawal, bukan prosedur protokolernya. Bahwa persoalan ini telah memicu berbagai persoalan lainnya untuk segera diupayakan solusinya seperti kemacetan, transportasi publik, dll., silakan saja. Namun, jangan menggeser atau menafikan persoalan yang sebenarnya, yaitu intimidasi yang telah dialami sang wartawan.

Selain itu, sang penulis dengan besar hati dan sabar dalam tulisannya pun telah mencarikan jalan keluar, yaitu dengan himbauannya agar Presiden lebih banyak beraktivitas di istana, supaya tidak mengganggu perjalanan warga masyarakat di sekitar kediaman pribadi sang presiden. Artinya, juru bicara presiden pun sebaiknya tidak perlu bersikap defensif dalam penjelasannya. Apalagi dengan gestur atau mimik muka yang nyaris datar tanpa empati sama sekali.

Mungkin, inilah yang menarik dari bangsa ini. Seperti ungkapan sinis yang kita kenal selama ini, "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah ?" Begitulah, alhasil dalam penyelesaian masalah yang sesungguhnya tidak perlu berplolemik berkepanjangan pun menjadi ... lebay. Iya gak ?

BERKUNJUNG KE ISTANA MERDEKA


Persis sebulan sebelum perayaan hari kemerdekaan RI yang ke-65, saya berkesempatan mengunjungi Istana Merdeka. Seperti yang telah dipublikasikan di sejumlah media massa, Istana Merdeka pada setiap akhir pekannya membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkunjung dan mengenal situasi Istana Merdeka secara lebih dekat.

Berikut ini adalah tahapan penyelenggaraan Open House ala Istana :
  1. Pendaftaran, setiap pengunjung diwajibkan mendaftar dan menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP). Meja pendaftaran berada di halaman istana sisi barat yang menghadap jalan raya ke arah Harmoni, di sebuah tenda bujur sangkar berwarna putih, tidak jauh dari pintu masuk komplek Istana; 
  2. Sterilisasi, setelah mendaftarkan diri dan menyerahkan KTP calon pengunjung diminta menunggu giliran. Beberapa tenda dan kursi disediakan di halaman parkir tak jauh dari meja pendaftaran. Bila nama Anda telah dipanggil, calon pengunjung akan dipersilakan masuk ruang tunggu. Di ruang ini, seluruh calon pengunjung diminta menitipkan semua barang bawaannya di loker yang telah tersedia. Pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera, telepon seluler dan makanan-minuman juga tas. Jadi semua pengunjung hanya diperkenankan berjalan melenggang tanpa bawaan apapun;
  3. Perjalanan menuju istana, setelah melalui pintu pemindai meninggalkan ruang sterilisasi atau ruang tunggu, seluruh pengunjung berangkat menuju Istana Merdeka dengan menumpang bis berpendinging udara yang telah disediakan, khusus untuk mengangkut para pengunjung dari dan menuju Istana Merdeka;
  4. Ruang Audio Visual, adalah area pertama yang disambangi pengunjung. Di Gedung Serba Guna yang memuat sekitar 300 orang ini, sejumlah pengunjung dari berbagai kelompok maupun individu dikumpulkan untuk menyaksikan profil audio visual atau film dokumenter mengenai Komplek Istana Merdeka & Istana Negara.
  5. Menyusuri halaman serambi barat, Pengunjung meninggalkan Gedung Serba Guna dalam beberapa kelompok berbeda masing-masing dipandu oleh seorang pemandu dengan berjalan kaki. Diawali dengan berbaris seluruh pengunjung menyusuri halaman serambi barat menuju pintu utama Istana Merdeka dengan 16 anak tangga.
  6. Foto Kabinet, seluruh pengunjung berkesempatan untuk berfoto dengan posisi layaknya foto kabinet para menteri yang selalu berfoto di tangga istana. Riuh rendahlah suara para pengunjung tentang khayalanannya, itu pasti ! Dan semua pun merasa senang ....  
  7. Red Carpet, Pengunjung memasuki Istana melalui pintu masuk tengah istana di atas gelaran karpet merah khusus pengunjung, yang diletakan di atas & membelah hamparan karpet besar yang memenuhi sebagian besar lantai ruang Istana bagian depan. Sepanjang red karpet pengunjung 'berpagar' untaian rantai berbungkus beludru. Di dalam Istana Merdeka, pengunjung berjalan menyusuri ruang depan, ruang tengah hingga ruang belakang yang lebih seperti 'foye' menuju pintu keluar. Di atas red karpet yang sempit inilah pengunjung dapat menimati setiap detil isi istana, baik ruang-ruang kerja yang pintunya sengaja dibuka lebar-lebar agar dapat disaksikan keanggunannya oleh pengunjung, maupun berbagai koleksi cenderamata yang dimiliki istana dari dalam maupun luar negeri. Selama dalam Istana Merdeka, bagi yang membawa anak kecil sebaiknya ekstra hati-hati karena banyak terdapat barang pecah belah yang mudah pecah juga lukisan pelukis-pelukis terkenal yang diletakan bersandar di dinding di atas lantai;
  8. Menyusuri Taman, Pengunjung berjalan dalam koridor panjang yang mengelilingi taman dan menghubungkan Istana Merdeka dengan Istana Negara. Di sepanjang koridor tersebut terpampang gambar-gambar ukuran besar yang memperlihatkan kegiatan Presiden dan sedikit dokumentasi tentang berbagai kemajuan yang telah dicapai Bangsa ini hingga foto keluarga Presiden.
  9. Kunjungan berakhir, perjalanan di koridor berujung hingga pintu keluar sekaligus titik awal saat pengunjung memulai perjalanan napak tilasnya di kompleks istana. Di sebuah meja di pintu keluar telah disediakan air mineral dalam gelas bagi setiap pengunjung yang melewatinya. Pengunjung pun kembali ke ruang sterilisasi menumpang bis yang bergantian menurunkan dan menaikan pengunjung, di tempat berbeda saat pengunjung mengawali rangkaian kunjungungan;
  10. Pemandu, pemandu yang bertugas adalah pemandu wanita yang berasal dari kepolisian. Berbaju batik, bertopi anyam dan berpenampilan kasual, setiap petugas memandu lebih dari 60 orang. Pemandu dilengkapi toa yang digantungkan di bahu. 
  11. Dokumentasi, disediakan oleh pihak istana.

DISKUSI
Secara umum, prosedur penyelenggaraan open house ala Istana Merdeka cukup normatif, dalam arti selain faktor sterilisasi bagi keamanan istana terjamin, kenyamanan bagi para pengunjungnya pun cukup layak. Namun tidak ada salahnya mendiskusikan dan membandingkan prosedur penyelenggaraan open house di berbagai tempat lainnya demi penyempurnaan pelayanan bagi para pengunjung yang notabene adalah pemilik bangsa ini, termasuk pula istananya.
  1. Ruang Audio Visual, Di ruang ini, barisan kursi terbagi dalam 3 kelompok baris besar dan sebuah layar lebar sebagai medium untuk menyaksikan film dokumenter. Uniknya petugas lebih mengarahkan pengunjung untuk mengisi penuh setiap baris terlebih dulu, bukan mengisi bagian paling depan di setiap barisnya. Lazimnya, siapa yang datang paling awal adalah menempati posisi paling depan. Memang, bagi mereka yang berkunjung dalam suatu kelompok dapat melanjutkan kegiatan senantiasa dalam kelompoknya. Tapi di sisi lain alhasil, pengunjung yang datang lebih awal belum tentu mendapatkan posisi terbaik atau paling belakang. Permasalahannya adalah pada ketersediaan media tayang yang layak baik secara kualitas maupun kuantitas bagi pengunjng yang jumlahnya cukup besar & memenuhi Gedung Serba Guna. Jumlah kursi yang berderet hingga lebih dari sepuluh dan sebuah layar lebar tentu membuat pengunjung tidak merasa nyaman dalam menyaksikan film dokumenter yang ditayangkan. Kuncinya adalah pada pembagian kelompok dalam jumlah yang mengutamakan kenyamanan dan efisiensi proses kunjungan;
  2. Pemandu, Seorang petugas memandu sekelompok pengunjuk berjumlah lebih dari 50 orang tentu tidak efisien, apalagi nyaman. Terlebih lagi saat memasuki dalam gedung Istana Merdeka dengan area gerak sangat sempit & terbatas, membuat informasi yang disampaikan pemandu hanya dapat disimak secara baik oleh mereka yang berada di depan. Artinya, perbandingan jumlah pengunjung dengan jumlah pemandu harus dicermati dan diperhitungkan dengan baik agar penyelenggaraan open house dapat memuaskan dan tidak sia-sia bagi pengunjung. Petugas yang berasal dari kepolisian menyebabkan pendekatan personal yang dilakukan tidak seluwes bila petugas yang memandu berasal dari kalangan profesional. Pengunjung yang datang dari berbagai kalangan tentu tidak pas bila diminta berbaris di cuaca panas Kota Jakarta yang terik;
  3. Alat Bantu, Di tengah kemajuan teknologi saat ini, tentu alat komunikasi yang lebih canggih sangat membantu kelancaran dan kenyamanan penyelenggaraan kegiatan open house. Tidak saja bagi pemandu, utamanya tentu bagi pengunjung. Dengan alat pengeras suara model toa, pemandu terpaksa berjalan dengan cara mundur. Sementara saat di dalam gedung Istana sejumlah pengeras suara ukuran besar ditempatkan di berbagai titik. Bila, pemandu dibekali dengan alat pengeras suara wireless dengan bantuan frekuensi atau modulasi tertentu, tentu akan jauh lebih mudah. Sementara alat pengeras suara terpasang secara permanen di dinding atau langit-langit istana secara aman. Alat semacam ini sudah sangat lazim digunakan oleh PR (public relations) di berbagai perusahaan saat menghelat open house;
  4. Dokumentasi, bila pengunjung tidak diperkenankan membawa kamera tentu akan bijaksana bila tuan rumah menyediakan gantinya. Minimal, jumlah petugas dokumentasi yang sesuai dengan jumlah pengunjung, dalam arti mampu melayani pengunjung. Selain itu, hasilnya pun dapat segera dicetak di tempat sehingga pengunjung dapat memiliki kenang-kenangan saat berkunjung ke istana yang tidak dapat disambangi setiap hari. Di jaman teknologi maju saat ini, langsung mengkopi gambar secara digital mestinya bukan perkara sulit lagi. Lagi pula, pengunjung tidak perlu mengeluarkan biaya mahal ntuk membeli foto hasil cetak yang belum tentu awet;
  5. Foto Kabinet, jumlah pengunjung dalam kelompok yang terlalu besar menyebabkan hasil foto kabinet tentu tidak menarik karena berdesak-desakan. Kuncinya, sekali lagi pengelompokan pengunjung dalam jumlah yang tepat sangat menentukan kenyamanan dan kepuasan pengunjung serta kemudahan petugas dalam mengatur kelompoknya;
  6. Minuman & Kudapan, Lazimnya, perusahaan yang menyelenggaran open house menyediakan kudapan dan minuman bagi para pengunjungnya. Bahkan ada pula perusahaan yang berbaik hati menyediakan makan siang. Mengapa, karena tidak semua pengunjung berasa dari kawasan dekat istana. Bisa jadi pengunjung datang dari tempat yang jauh, sebagai etika tentu menyediakan kudapan dan minuman bagi anggaran istana bukanlah sesuatu yang berlebihan;
  7. Cenderamata, tidak harus mahal yang penting berkesan. Walaupun di ruang sterilisasi juga tersedia penjualan cenderamata, tentu akan berbeda bila istana juga memberikan cenderamata sederhana bagi setiap pengunjungnya, misalnya sticker bergambar istana yang dapat menimbulkan kebanggaan dan menumbuhkan lagi rasa nasionalis bagi setiap pengunjung sebagai warga negara; 
  8. Evaluasi, tak ada salahnya melakukan evaluasi terhadap kegiatan open house yang telah dilakukan. Salah satu proses evaluasi yang mudah adalah melakukan audit humas. Dengan melakukan audit di setiap kelompok pengunjung dan dalam periode tertentu, maka istana dapat mengetahui respon & penilaian pengunjung atas penyelenggaran open house selama ini.
Bagaimanapun penyelenggaraan sebuah kegiatan humas dalam hal ini open house memerlukan anggaran. Maka seyogyanya memang direncanakan dengan baik dan matang, diatur dengan selaras pada setiap tahapannya, diselenggarakan dengan tertib dan profesional, serta dievaluasi untuk melakukan perbaikan. Kegiatan Humas sekali lagi bukan bicara cost centre, tapi investasi. Ya, public relations merupakan sebuah investasi. Sebagai sebuah investasi, kegiatan public relations tentu dapat diperhitungkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila organisasi anda belum bisa melakukan perhitungan atas kegiatan public relations di organisasi anda, pertanyaannya adalah, "Apakah organisasi anda sudah menempatkan orang yang tepat dan kompeten tentang profesi serius ini ?" Well, tidak ada kata terlambat. Selamat berbenah diri !