Selasa, 31 Agustus 2010

HUMAS ADALAH INVESTASI !

Situasi dunia global saat ini telah memaksa setiap bidang usaha untuk melakukan re-adaptasi terhadap terpaan globalisasi yang maha dasyat ini. Sapuan globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi akhirnya membuat dunia usaha, mau tidak mau perlu melakukan transformasi di dalam organisasi / badan usahanya. Alasannya tentu, agar usaha dapat terus bertahan dalam tsunami persaingan yang ketat, dengan 'menghilangnya' koridor ruang dan waktu saat ini.

Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi kini mampu membuat sebuah isu yang muncul di belahan dunia barat bergulir dengan cepat di detik yang sama hingga belahan dunia timur. Tidak hanya itu, bahkan kemudian isu tersebut mampu menggerakan sentimen pasar yang mengguncangkan transaksi ekonomi maupun politik di seluruh dunia dalam waktu yang bersamaan.

Itulah sebabnya, banyak perusahaan di Indonesia sedikitnya dalam 5 (lima) tahun terakhir beramai-ramai mencanangkan kebijakan strategis perusahaan berani berupa transformasi organisasi. Namun yang menarik, kebijakan tersebut tidak terlalu populer dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sebaliknya, kebijakan transformasi organisasi justru banyak dilakukan oleh sejumlah instansi pemerintah atau badan usaha milik negara.

Sebut saja PERTAMINA, perusahaan migas plat merah ini termasuk pionir dalam mencanangkan gerakan transformasi. Tidak hanya itu, PERTAMINA pun tergolong matang menetapkan periode pencanangan transformasi perusahaan dalam kurun waktu sedikitnya 15 (lima belas) tahun. Tak kalah penting, komitmen PERTAMINA akan kebijakan transformasi tampak mendapat dukungan penuh dari stakeholdernya, baik publik internal maupun eksternal. Publisitas yang berkesinambungan dan terjaga, sangat membantu terbentuknya dukungan tersebut. Terbukti, betapapun PERTAMINA mengalami beberapa kali pergantian manajemen, komitmen organisasi akan transformasi tetap terjaga.

Contoh lainnya adalah KEPOLISIAN RI dengan reformasi kepolisian RI pada medio 2009 lalu. Walaupun menyebut dengan sebutan berbeda, namun pada hakekatnya KEPOLISIAN RI telah bertekad untuk melakukan perbaikan secara besar-besaran dalam organisasinya agar menjadi lebih baik. Pencanangan gerakan reformasi kepolisian RI ditandai dengan umbul-umbul bertuliskan tata nilai baru organisasi yang diusung KEPOLISIAN RI.

Berikutnya adalah PT. ANGKASA PURA, juga dengan transformasinya. ANGKASA PURA berkomitmen melakukan perombakan berbagai bidang dalam organisasi agar menghasilkan kinerja dan layanan yang lebih baik lagi. Selain ketiganya tentu masih banyak perusahaan lain yang juga melakukan transformasi saat ini.

Tak kalah seru adalah transformasi yang dilakukan oleh Dirjen Pajak. Keseriusan Dirjen Pajak dalam melakukan kampanye wajib pajak seakan tergilas dengan kehebohan kasus korupsi GT. Tapi setidaknya dalam hal ini terlihat bahwa sejak awal Dirjen Pajak cukup serius dan intens dalam mengkomunikasikan transformasinya kepada stakeholder, khususnya wajib pajak melalui media massa.

Masalahnya, kadangkala manajemen tidak menyadari bahwa transformasi pada dasarnya adalah sebuah perubahan budaya orgasasi atau korporasi. Bahwa sebuah transformasi adalah sebuah perubahan menyeluruh yang mengenai seluruh elemen organisasi dan merupakan sebuah kegiatan komunikasi dengan target tertinggi dan paling kompleks seringkali tidak dimengerti oleh pengambil keputusan.

Sebuah transformasi organisasi tentu ditujukan kepada seluruh stakeholder, baik publik internal maupun publik eksternal. Sasaran transformasi sebuah organisasi tentu bukan sekedar untuk diketahui (kognisi), tapi lebih dari itu. Transformasi organisasi butuh dukungan berupa sikap positif (afeksi) dan perilaku nyata berupa perubahan itu sendiri (behaviour). Bila menilik target yang harus tercapai dalam sebuah transformasi organisasi maka mustahil rasanya bila organisasi bertransformasi tanpa didukung oleh anggaran yang relevan !

Komitmen saja tidak cukup, organisasi harus realistis bahwa perubahan (mobilisasi) membutuhkan biaya. fenomena yang terjadi di sejumlah institusi dan perusahaan menunjukan bahwa lambannya proses transformasi bahkan gagalnya proses transformasi sangat dipengaruhi oleh terbatasnya dana secara signifikan. Sebaliknya, keberhasilan sebuah proses transformasi sangat terkait dengan itensitas komunikasi yang cukup tinggi, salah satunya melalui media massa, dan itu jelas butuh biaya. Hal ini merupakan salah satu contoh dari berbagai hal yang dibutuhkan dalam sebuah proses tarnsformasi yang berhasil dan sesuai rencana.

Humas adalah investasi ! Fenomena transformasi membuktikan hal itu. Jadi, jangan lagi berdebat apakah humas merupakan unit kerja cost centre atau provit centre ? Pertanyaan itu sungguh tidak relevan ! Namun, tidak menutup kemungkinan pada masanya, bila humas organisasi telah menjadi state of being yang profesional dan bukan sekedar methodes of communications, maka humas dapat menjadi provit centre bagi perusahaan !

Well, top level management anda belum "Melek PR" ? Kini giliran anda meng-educate mereka. Direktur juga bukan manusia super, ada banyak hal lain di dunia ini yang mereka juga tidak tahu, termasuk soal keberadaan kegiatan PR. Maka sudah menjadi tugas andalah para praktisi dan profesional PR untuk memulai itu. Tidak usah ragu berbagi dengan siapa saja, termasuk kepada top level management sekalipun. Yakinkan kepada mereka, bahwa PR mempunyai peran penting dalam memajukan organisasi, khususnya dalam menyiapkan stakeholder yang 'tailor made' alias sesuai pesanan dalam arti yang mendukung operasional perusahaan. Untuk itu, tentu harus bayar, dan anda pun layak dibayar mahal dengan profesionalisme anda untuk itu. Well, selamat berjuang !

Selasa, 03 Agustus 2010

FUEL PUMP, PERTAMINA vs SPBU KUNING

Sudah sebulan ini, para pengendara mobil direpotkan dengan kasus rusaknya fuel pump, yaitu alat pemompa bahan bakar dalam rangkaian mesin mobil. Masalahnya, rusaknya fuel pum (rotaks) ini seperti sebuah kerusakan berjamaah yang dialami oleh banyak pengendara mobil termasuk ribuan armada taksi. Persoalan rusaknya fuel pump berjamaah ini kemudian menjadi persoalan yang memicu berbagai persoalan lainnya.

Diduga, rusaknya fuel pump kendaraan disebabkan karena rendahnya kualitas premium Pertamina. Dalam beberapa kali pemberitaan di televisi sejumlah komunitas berkendara roda empat telah melakukan observasi terhadap kandungan premium Pertamina. Mereka menemukan bahwa premium buatan Pertamina mengandung unsur-unsur tertentu sehingga menyisakan ampas yang menyebabkan fuel pump harus bekerja ekstra keras hingga akhirnya jebol dan gagal memompa dan mengalirkan bahan bakar dari tangki menuju mesin.

Dalam temuan mereka terlihat ampas yang dihasilkan premium yang tersisa dalam fuel pump sangat mengejutkan. Ampas tersebut berwarna hitam dan berbentuk padat, dalam arti serbuk yang jumlahnya cukup banyak dan menghalangi kerja fuel pump. Secara teknis, fuel pump (rotaks) ini mungkin berkaitan dengan masalah filter atau penyaringan bahan bakar sebelum dialirkan ke dalam mesin.

Nah, apa persoalan selanjutnya ?
  1. Strategi pemasaran Pertamina. Masyarakat menduga, kasus kerusakan fuel pump berjamaah merupakan upaya Pertamina untuk mengalihkan pengguna premium, sebagai bahan bakar bersubsidi kepada bahan bakar yang non subsidi, yaitu pertamax. Masalahnya, pada beberapa kasus, pertamax pun ternyata idak sebaik yang diharapkan. Artinya, walaupun telah mengunakan pertamax, masih saja fuel pump jebol. Pada beberapa kasus, fuel pump telah dibersihkan seharusnya mampu bertahan sedikitnya hingga 5 (bulan). Kenytaannya, walau telah diisi pertamax, tetap saja fuel pump-nya jebol kurang dari 3 (tiga) minggu;
  2. Keuntungan SPBU Kuning. Gejala di lapangan, yang terlihat justru adalah hal yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Akibat rendahnya kualitas premium Pertamina, masyarakat bukan beralih kepada pertamax namun justru membeli bahan bakar merek lain milik kompetitor, misalnya SPBU Kuning. Saat ini, tingkat kunjungan pengendara di SPBU Kuning relatif meningkat. Walaupun harganya lebih mahal dibandingkan premium, namun bahan bakar termurah si SPBU Kuning kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kualitas pertamax. Itulah yang dirasakan para pengendara;
  3. Spare part fuel pump langka, harga melangit. Sudah menjadi hukum pasar, saat barang sedikit, maka harga akan melangit. Begitulah, akibat begitu banyaknya kendaraan yang fuel pump-nya jebol, maka permintaan akan fuel pump pun meroket. Padahal, harga fuel pump orisinil untuk sebuah kendaraan buatan jepang 1000 cc saja mencapai Rp. 1 juta lebih ! Bila ditambahkan dengan ongkos, bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian yang ditanggung oleh pengendara mobil karena kerusakan tersebut ?
Analisa :
Sayangnya, dalam perkembangan masalah ini, sebagaimana umumnya kesalahan yang seringkali dilakukan para praktisi humas, mereka tidak merespon dan mensupply informasi secara intens kepada publik. Selain itu, seringkali mereka juga bersikap defensif. Ingat kasus insiden patwal Presiden SBY di pintu tol Cibubur, sang jubir pun bersikap defensif. Sementara Ibu Ani Yudhoyono dalam hitungan seminggu langsung menyampaikan permohonan maafnya, dan kasus pun selesai, menjadi antiklimak.

Secara teknis, belum tentu Pertamina terbukti bersalah. Namun sebagai operator milik nasional, seharusnya Pertamina dapat bersikap lebih agresif dalam merespon situasi ini. Karena akibatnya, masyarakat justeru beralih kepada SPBU Kuning atau SPBU Biru, dan bukan ke pertamax. Bila skenario seperti yang diduga masyarakat adalah benar, bahwa insiden ini merupakan strategi Pertamina untuk mengalihkan pembeli kepada bahan bakar yang tidak bersubsidi, setidaknya Pertamina melakukan 2 (dua) kekeliruan. Pertama, Pertamina melakukan strategi pemasaran yang tidak etis. Kedua, Pertamina kehilangan pasar.

Artinya, dalam sebuah kasus, besar kemungkinan terjadi kronologi atau perkembangan di luar perkiraan yang berpotensi merugikan sebuah institusi. Dalam hal ini Pertamina harus berhati-hati menyikapi kasus yang kini telah menjadi isu nasional ini. Bila humas tidak tanggap dan mampu mengendalikan kasus ini dengan baik, maka dapat menimbulkan krisis dan memburuknya reputasi institusi yang bersangkutan.

Apalagi, kalau ternyata Pertamina sesungguhnya tidak pernah menskenariokan kejadian ini. Seharusnya Pertamina secara tanggap merespon keluhan para pelanggannya. Seringkali kita melupakan hal yang sepele. Empati. Karenanya, pelanggan butuh direspon dengan cepat. Tidak harus solusi cepat secara just in time, tapi respon yang cepat itu bisa menyelamatkan larinya kepercayaan publik terhadap organisasi.