Rabu, 28 Juli 2010

SENSE OF BELONGING

Sebuah organisasi pemerintah, yang hampir setengah abad keberadaannya, bahkan bisa jadi lebih, bahkan bisa jadi sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaannya, bahkan besar kemungkinan negara ini tak mungkin eksis, diakui dunia, secara teknis, tanpa peran penting organisasi yang satu ini ! Subhanallah ....

Berpuluh tahun merambat, mencoba berdiri, berupaya tegak nan kokoh, bertaruh tenaga, keringat, darah dan nyawa ! Berbekal kesederhanaan, nilai-nilai tradisional, kampungan, kekerabatan, kekeluargaan tapi juga berjuta pengabdian dan loyalitas yang bisa jadi melampaui semangat tentara yang dibekali bedil dan pangkat ! Menjadi bagiannya merupakan sebuah takdir, panggilan, pilihan teramat sulit serta ujian kesabaran yang menjadi ladang amal hingga hayat dikandung badan ....

Di tengah peradaban yang maha dasyat, di tengah tornado globalisasi bersaut tsunami, ia berjuang agar tidak tenggelam, agar tidak terserak, agar tidak terkoyak, ibarat kapal sarat muatan terhantam badai di tengah lautan, di malam gelap. Tujuan perjuangannya hanya satu, adalah harkat dan martabat bangsa dan negara ini, bukan keselamatan para penumpang kapal di dalamnya ! Karena mereka tahu, tanpa keberadaan mereka, negara ini terancam marabahaya. Karena mereka tahu, para penumpang hanyalah alat belaka untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihormati seluruh bangsa di dunia.

Namun, jangankan tim SAR, sekoci penyelamat pun tak tersedia bagi para syuhada bangsa dalam 'kapal' jihadnya. Maka mereka pun harus berjuang sendiri, hingga entah kapan, karena tak satu pun di luar kapal mereka yang peduli dan terpanggil untuk memberikan pertolongan apalagi tersadar bahwa kapal para syuhada ini nyaris karam ....

Hingga suatu masa, perang melawan kemunduran pun ditabuhkan. Semangat menjulangkan nama besar pun diteriakkan !  Kekuatan membangun impian pun dikobarkan ! Cita-cita mengarungi seluruh samudera dan berkeliling dunia pun dibangkitkan ! Walau hanya berbekal nilai-nilai kesederhanaan, kenaifan, keluguan dan keyakinan. Bissmillahirrahmanirrahim, dayung kapal pun dikayuhkan lebih kencang !

Padahal kapal itu, dikayuh oleh pelaut-pelaut renta yang telah termakan usia. Pandangannya mulai kabur, kekuatannya mulai melemah, ketampanannya mulai sirna. Tapi mereka, mungkin karena kecintaannya, enggan digantikan oleh pelaut muda. Dan mereka, mungkin karena kebanggaan akan profesinya yang langka, berat hati menyerahkan tongkat estafet kepada penerusnya. Maka tak heran, akibatnya, kapal pun berjalan lambat, sangat lambat, bahkan terombang-ambing dalam pusaran yang kuat dan tak tentu arahnya.

Para syuhada tua itu lupa, mungkin karena kesetiaannya yang besar pada bangsa, bahwa sesungguhnya segala hal di dunia yang fana ini ada akhirnya, tak terkecuali keberadaan mereka. Mereka mungkin lupa, bahwa segala sesuatu itu ada siklusnya, itulah sebabnya mereka tak rela tergantikan oleh syuhada muda.

Sementara para pelaut tua yang renta tertatih berjuang, para pelaut muda yang kokoh terdiam, hanya mampu memandang tanpa sedikit pun kesempatan, seorang ahli bintang nyaris bisu tak berkawan. Sementara pula, para preman kapal leluasa menguasai seisi kapal dengan intimidasinya.

Maka dapat dibayangkan, di saat kapal sarat muatan itu sesungguhnya tengah membutuhkan kekompakan dan kerjasama seluruh syuhadanya, dan di saat kapal yang mereka naungi & tempat mereka menggantungkan hidup serta keselamatan tengah berjuang melawan badai, di antara mereka sendiri justru timbul perpecahan.

Nahkoda dan mualimnya pun bersikukuh dengan pandangan dan yakin dengan ilmunya masing-masing. Maka, para syuhada yang bertikai pun tak terpisahkan. Maka kapal yang mulai retak dan bocor di mana-mana karena lapuk termakan usia dan hantaman ganasnya ombak pun tak terperhatikan, apalagi kelihatan, kecuali air laut yang semakin deras memasuki ruang-ruang kapal. Dan hanya segelintir orang yang sadar, bahwa kapal yang mereka tumpangi bersama nyaris tenggelam !

Dan sayang sungguh teramat sayang, di saat seluruh seisi kapal berjuang mengayuh sekuat tenaga, berjuang menaklukan ganasnya badai, bahkan berjuang melawan kesangsiannya sendiri atas kemampuannya mewujudkan mimpi-mimpi mulia, sang nahkoda justru sibuk memandang, mengagumi, bahkan berusaha agar ia menjadi nahkoda di kapal lain !

Bukan hal yang aneh bila manusia menghendaki segala sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah mereka miliki selama ini. Tapi, bukankah seorang nahkoda kapal adalah seharusnya menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal, bahkan saat kapalnya terhantam badai dan mulai tenggelam ? Maka seluruh penumpang kapal adalah menjadi tanggung jawabnya, seluruhnya, hingga kapal merapat, tiba di tujuan hingga selamat. Tak bisa dibayangkan seandainya, seorang nahkoda berpindah kapal, di tengah badai lautan, menyelematkan dirinya sendiri dan meninggalkan seluruh penumpangnya dalam ketidakpastian ....

RASA MEMILIKI (SENSE OF BELONGING)  itu bukan sesuatu yang bisa direkayasa. Rasa memiliki itu ibarat cinta. Cinta itu datang dengan sendirinya. Maka betapapun pahitnya, bila cinta akan tetap cinta. Sebaliknya, betapapun indahnya, bila tidak cinta tetap tidak cinta. Tapi cinta bisa ditumbuhkan walaupun menumbuhkan cinta butuh waktu serta pembuktian. Namun cinta juga bisa terjadi kapan saja, bahkan pada pandangan pertama. Tapi cinta tidak bisa dipaksakan !

Yang demikian ini sungguh menyedihkan. Sebuah mekanisme mungkin sudah menjadi keharusan, keharusan yang dibuat oleh manusia, walaupun menimbulkan resiko maha besar. Maka tidak seluruh teori dapat diwujudkan. Maka ilmu pengetahuan pun tertunduk diam ....

Bahwa sebuah organisasi seharusnya memiliki Public Relations Officernya sendiri dan bukan konsultan, karena alasan yang mendasar adalah itu, rasa memiliki (sense of belonging). Mereka akan bekerja sekuat tenaga, sepenuh hati, dengan rasa cinta. Berbeda dengan konsultan, mereka akan bekerja karena uang, berapa besar bayarannya, itu pun belum tentu menggambarkan sebesar itu pula perjuangan bagi sebuah organisasi yang telah membayarnya.

Lalu bagaimana halnya dengan pemimpin organisasi atau perusahaan ? Bukankah seluruh kebijakan berasal dari padanya ? Semua nasib elemen organisasi tergantung padanya ? Maka bila ia bersikap layaknya konsultan profesional, ia pun tak lagi bisa diharapkan punya cinta, karena tak pernah merasakan perjuangan sejak awal.

Maka setiap makhluk hidup berdampingan dalam sebuah tataran. Bahwa manusia pun hidup dalam aturan. Bahwa etika pun merupakan salah satu aturan yang sesungguhnya memiliki kekuatan dan tuntutan pertanggungjawaban moral lebih besar. Maka sang nahkoda yang demikian itu sungguh sangat tidak beretika dan telah mengecewakan, menyakiti, bahkan menipu para penumpangnya. Tak ada jaminan keselamatan yang seharusnya menjadi hak mereka hingga tiba di tujuan ....

Kasus seperti ini membuktikan, bahwa berdasarkan teori memang demikian. Ilmu pengetahuan menyandingkan das sein dan das solen  sebagaimana adanya. Bahwa rasa memiliki hanya dimiliki oleh mereka yang menjadi bagian dari sebuah organisasi yang telah berjuang seiring usia organisasi yang bersangkutan. Itulah sebabnya, rasa memiliki perlu senantiasa dipelihara dengan cara-cara yang tepat.

Namun sebaliknya, rasa memiliki itu bukan given, bukan pemberian. Tak bisa dipaksakan. Sebuah organisasi yang menghadapi fenomena demikian secara teori jelas menanggung resiko dan mempertaruhkan nasibnya secara tidak jelas. Maka upaya untuk menyelematkan diri tentu menjadi sebuah perjuangan yang teramat berat. Ada 2 (dua) hal yang menjadi prioritas dalam kasus ini, mempertahankan organisasi dan menyelematkan diri sendiri. Tapi menyelamatkan diri sendiri adalah perkara 1 orang, paling banyak 5 - 10 orang, yaitu keluarga yang dinafkahinya. Tapi nasib organisasi yang keberadaannya menyangkut masa depan bangsa ini, tentu jauh lebih prioritas, karena menyangkut harga diri dan martabat bangsa seluruhnya !

Tidak ada komentar: