Jumat, 12 Agustus 2011

"ORANG-ORANG YANG TOP ...."

Seorang praktisi humas dalam sebuah perbincangan berkomentar, katanya, "Orang-orang yang top di dunia PR di Indonesia itu bukan orang-orang yang punya background akademis komunikasi lho !"

Well, jujur saja, bila yang bersangkutan sebelumnya mengklaim bahwa dirinya merasa punya pengalaman panjang di dunia kehumasan (Public Relations) selama puluhan tahun, lantas dengan pernyataannya tersebut apakah itu mencerminkan jam terbangnya sebagai seorang profesional humas (PR) yang sesungguhnya ? Dengan sengit sesungguhnya pernyataan itu bisa saja dijawab, "Itulah bukti nyata perbedaan antara praktisi humas yang berbekal akademis komunikasi, khususnya humas yang sesungguhnya, dengan praktisi humas yang tidak punya bekal ilmu komunikasi..."

Sebagai seorang praktisi humas yang profesional tentunya anda tidak akan dengan serta merta mengkontra maupun menyetujui hal itu dengan ringannya bukan ? Apapun profesinya, bila pernyataan semacam itu disampaikan kepada orang yang notabene adalah dengan kriteria sebaliknya, maka pernyataan tersebut terasa sangat intimidatif dan melampaui etika.

PERKEMBANGAN PROFESI HUMAS INDONESIA
Profesi humas di Indonesia, mengalami perkembangan yang sangat lamban. Ada banyak faktor yang menyebabkan profesi ini tidak juga kunjung menjadi tuan rumah bagi ilmuan komunikasinya itu sendiri. Selama dua dekade lebih, ada kecenderungan menarik yang menandai perjalanan profesi humas di Indonesia selama ini. Bagaimana profesi ini bisa terisi oleh praktisi yang tidak memliki kompetensi yang seharusnya dimiliki dan disyaratkan sebagai pejabat Humas atau Public Relations.
  1. Humas fase PUBLIC FIGURE. Pada awal berkembangnya profesi humas di Indonesia, sejumlah perusahaan berlomba-lomba menempatkan tokoh publik sebagai pejabat humas. Sebut saja para artis, foto model atau peragawati adalah contoh profesi yang dulu sempat mendominasi jabatan humas pada dua dekade yang lalu. 
  2. Humas fase PEMAIN LAMA. Kalau periode ini lebih pada posisi eksekutif humas yang diduduki oleh pemain lama. Intinya sama, tidak punya bekal akademis yang relevan, tapi mereka para pegawai lama yang sudah berkecimpung di bidang humas dan belajar dengan seiringnya waktu. Yang memprihatinkan adalah para pemain lama inilah yang kerap melakukan pembenaran dengan justifikasinya yang jauh dari obyektif. Mereka pikir, jam terbang adalah satu-satunya pembuktian ketenarannya sebagai seorang praktisi humas, bukan pada kualitas pekerjaannya !
  3. Humas fase JURNALIS. Pada periode berikutnya, adalah para wartawan yang kemudian banyak direkrut sejumlah perusahaan untuk menduduki posisi sebagai Public Relations. Alasaannya mudah saja, mereka dianggap telah terlatih dan piawai dalam menulis. Maka dengan merekrut wartawan baik wartawan cetak maupun elektronik maka pekerjaan tulis-menulis, salah satu tugas pekerjaan PR dapat teratasi dengan baik. Selain itu, seorang wartawan tentu punya jaringan media juga yang cukup luas bukan ? Padahal urusan media 'kan hanyalah salah satu bentuk kegiatan humas dari peran strategis humas sebagai salah satu fungsi manajemen yang jauh lebih besar.
  4. Humas fase LULUSAN LUAR NEGERI. Periode ini tak kalah menarik. Kini, sejumlah perusahaan berlomba-lomba untuk bisa merekrut sarjana atau master yang baru lulus dari luar negeri untuk menempati posisi bergengsi, Head of Relations, begitu kurang lebihnya. Seringkali apa penguasaan ilmunya tak terlalu menjadi pertimbangan, yang penting bisa berbahasa Inggris dan lulusan luar negeri. Sejumlah perusahaan menganggap kualifikasi ini diangap mampu menaikkan reputasi perusahaan.
Demikianlah fenomena perjalanan dan perkembangan profesi humas di Indonesia hingga saat ini, masih jauh panggang dari api. Lalu apakah mereka berhasil ? Tentu saja bila mengukurnya dengan ukuran ilmiah ilmu komunikasi jelas tidak berhasil. tapi bila mengukurnya dengan rentang waktu atau ukuran-ukuran prestisius lainnya, mereka akan mengklaim diri mereka berhasil.

APA KABAR SKKNI Bidang KEHUMASAN ?
Walaupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menerbitkan Kepmen mengenai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Kehumasan sejak 2008 lalu, namun Kepmen itu tak lebih hanya menjadi dokumen yang tidak bermanfaat. Kondisi ini semakin bertambah runyam, manakala sosialisasi untuk itu pun nyaris purba. Tragis bukan ?

Di lingkungan akademis, Kepmen ini tidak juga menjadi sebuah panduan yang seharusnya dikuasai oleh para mahasiswa jurusan humas agar dapat membekali dirinya sesuai kualifikasi yang diharapkan. Kepmen ini bahkan tidak dikenal oleh banyak para dosen komunikasi di banyak universitas di Indonesia.

Di lingkungan empiris atau dunia kerja, SKKNI bahkan berpotensi mendapat penolakan sengit dari para praktisi humas itu sendiri. Karena apa ? Karena mereka, notabene adalah para pejabat humas yang tidak mempunyai bekal akademis kehumasan ! Apa hubungannya ? SKKNI Bidang Kehumasan mensyaratkan sedikitnya 77 kompetensi yang banyak diantaranya hanya dapat dikuasi hanya melalui pendidikan formal di perguruan tinggi, bukan dari kursus singkat 3 (tiga) bulan mengenai ke-PR-an ! Maka bila SKKNI ini diberlakukan, bisa-bisa para pejabat humas ini kehilangan lapaknya dan terkena seleksi alam.

Tak heran, bila pameo itu pun menjadi angkuh berkumandang, bahwa "Orang-orang yang top di bidang Humas bukan orang-orang yang punya bekal pendidikan akademis komunikasi khususnya kehumasan !"

KAPAN SARJANA KOMUNIKASI MENJADI TUAN RUMAH BAGI PROFESINYA SENDIRI ?
Mungkin, saat ini para sarjana komunikasi belum bisa merasakan menjadi tuan rumah bagi profesinya sendiri. Namun tak usah berkecil hati. Kecenderungan yang terjadi dengan perkembangan profesi humas itu sendiri sesungguhnya menunjukkan kecenderungan yang menarik. Artinya, dalam proses tersebut terjadi peningkatan kriteria atau kualifikasi yang semakin relevan. Pada saatnya, pasar akan menyadari kebutuhannya sendiri, bahwa peran PR sebagai salah satu fungsi manajemen bukanlah merupakan sebuah profesi mudah yang dapat di-plug and play oleh profesi lainnya.

Walaupun profesi humas merupakan profesi yang berbasis ilmu sosial dan berpotensi sebagai profesi yang multientry, namun tetap akan ada perbedaan nyata antara profesional PR yang berilmu dan berpengalaman dengan profesional PR yang hanya bermodal 'pengalaman'.

Entah analogi apa yang pas untuk menggambarkan situasi ini. Intinya bahwa profesi ini akan maju bila para pelakunya sendiri mampu membuat profesinya sebagai profesi miliknya dan dihargai pasar. Ketidaktahuan pasar adalah pekerjaan rumah yang menjadi tanggug jawab para akademisi ilmu komunikasi khususnya humas bila ingin profesi ini menjadi profesi prestisius miliknya. Para sarjana komunikasi harus mampu menunjukkan perbedaan nyata yang menjadi kualifikasi dirinya bila dibandingkan dengan profesional lainnya yang tidak memiliki latar belakang akademis komunikasi. Persoalannya, mampukan para sajana komunikasi itu menjual profesionalisme dirinya secara layak ? Kita lihat saja nanti ....

Tidak ada komentar: