Selasa, 03 Agustus 2010

FUEL PUMP, PERTAMINA vs SPBU KUNING

Sudah sebulan ini, para pengendara mobil direpotkan dengan kasus rusaknya fuel pump, yaitu alat pemompa bahan bakar dalam rangkaian mesin mobil. Masalahnya, rusaknya fuel pum (rotaks) ini seperti sebuah kerusakan berjamaah yang dialami oleh banyak pengendara mobil termasuk ribuan armada taksi. Persoalan rusaknya fuel pump berjamaah ini kemudian menjadi persoalan yang memicu berbagai persoalan lainnya.

Diduga, rusaknya fuel pump kendaraan disebabkan karena rendahnya kualitas premium Pertamina. Dalam beberapa kali pemberitaan di televisi sejumlah komunitas berkendara roda empat telah melakukan observasi terhadap kandungan premium Pertamina. Mereka menemukan bahwa premium buatan Pertamina mengandung unsur-unsur tertentu sehingga menyisakan ampas yang menyebabkan fuel pump harus bekerja ekstra keras hingga akhirnya jebol dan gagal memompa dan mengalirkan bahan bakar dari tangki menuju mesin.

Dalam temuan mereka terlihat ampas yang dihasilkan premium yang tersisa dalam fuel pump sangat mengejutkan. Ampas tersebut berwarna hitam dan berbentuk padat, dalam arti serbuk yang jumlahnya cukup banyak dan menghalangi kerja fuel pump. Secara teknis, fuel pump (rotaks) ini mungkin berkaitan dengan masalah filter atau penyaringan bahan bakar sebelum dialirkan ke dalam mesin.

Nah, apa persoalan selanjutnya ?
  1. Strategi pemasaran Pertamina. Masyarakat menduga, kasus kerusakan fuel pump berjamaah merupakan upaya Pertamina untuk mengalihkan pengguna premium, sebagai bahan bakar bersubsidi kepada bahan bakar yang non subsidi, yaitu pertamax. Masalahnya, pada beberapa kasus, pertamax pun ternyata idak sebaik yang diharapkan. Artinya, walaupun telah mengunakan pertamax, masih saja fuel pump jebol. Pada beberapa kasus, fuel pump telah dibersihkan seharusnya mampu bertahan sedikitnya hingga 5 (bulan). Kenytaannya, walau telah diisi pertamax, tetap saja fuel pump-nya jebol kurang dari 3 (tiga) minggu;
  2. Keuntungan SPBU Kuning. Gejala di lapangan, yang terlihat justru adalah hal yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Akibat rendahnya kualitas premium Pertamina, masyarakat bukan beralih kepada pertamax namun justru membeli bahan bakar merek lain milik kompetitor, misalnya SPBU Kuning. Saat ini, tingkat kunjungan pengendara di SPBU Kuning relatif meningkat. Walaupun harganya lebih mahal dibandingkan premium, namun bahan bakar termurah si SPBU Kuning kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kualitas pertamax. Itulah yang dirasakan para pengendara;
  3. Spare part fuel pump langka, harga melangit. Sudah menjadi hukum pasar, saat barang sedikit, maka harga akan melangit. Begitulah, akibat begitu banyaknya kendaraan yang fuel pump-nya jebol, maka permintaan akan fuel pump pun meroket. Padahal, harga fuel pump orisinil untuk sebuah kendaraan buatan jepang 1000 cc saja mencapai Rp. 1 juta lebih ! Bila ditambahkan dengan ongkos, bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian yang ditanggung oleh pengendara mobil karena kerusakan tersebut ?
Analisa :
Sayangnya, dalam perkembangan masalah ini, sebagaimana umumnya kesalahan yang seringkali dilakukan para praktisi humas, mereka tidak merespon dan mensupply informasi secara intens kepada publik. Selain itu, seringkali mereka juga bersikap defensif. Ingat kasus insiden patwal Presiden SBY di pintu tol Cibubur, sang jubir pun bersikap defensif. Sementara Ibu Ani Yudhoyono dalam hitungan seminggu langsung menyampaikan permohonan maafnya, dan kasus pun selesai, menjadi antiklimak.

Secara teknis, belum tentu Pertamina terbukti bersalah. Namun sebagai operator milik nasional, seharusnya Pertamina dapat bersikap lebih agresif dalam merespon situasi ini. Karena akibatnya, masyarakat justeru beralih kepada SPBU Kuning atau SPBU Biru, dan bukan ke pertamax. Bila skenario seperti yang diduga masyarakat adalah benar, bahwa insiden ini merupakan strategi Pertamina untuk mengalihkan pembeli kepada bahan bakar yang tidak bersubsidi, setidaknya Pertamina melakukan 2 (dua) kekeliruan. Pertama, Pertamina melakukan strategi pemasaran yang tidak etis. Kedua, Pertamina kehilangan pasar.

Artinya, dalam sebuah kasus, besar kemungkinan terjadi kronologi atau perkembangan di luar perkiraan yang berpotensi merugikan sebuah institusi. Dalam hal ini Pertamina harus berhati-hati menyikapi kasus yang kini telah menjadi isu nasional ini. Bila humas tidak tanggap dan mampu mengendalikan kasus ini dengan baik, maka dapat menimbulkan krisis dan memburuknya reputasi institusi yang bersangkutan.

Apalagi, kalau ternyata Pertamina sesungguhnya tidak pernah menskenariokan kejadian ini. Seharusnya Pertamina secara tanggap merespon keluhan para pelanggannya. Seringkali kita melupakan hal yang sepele. Empati. Karenanya, pelanggan butuh direspon dengan cepat. Tidak harus solusi cepat secara just in time, tapi respon yang cepat itu bisa menyelamatkan larinya kepercayaan publik terhadap organisasi.

Tidak ada komentar: